Apakah suara perempuan itu aurat? Ulama fikih tidak memiliki pandangan tunggal perihal suara perempuan. Ulama berbeda pendapat perihal ini. Sebagian ulama memandang suara perempuan termasuk aurat. Sedangkan ulama lain memandangnya bukan aurat.
Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal suara perempuan. Sebagian ulama mengatakan, suara perempuan bukan aurat karena para istri Rasulullah SAW meriwayatkan hadits kepada para sahabat atau tabi’in laki-laki. Sebagian ulama mengatakan bahwa suara perempuan termasuk aurat. Perempuan ketika berbicara dilarang untuk meninggikan suaranya sekira terdengar oleh laki-laki yang bukan mahram. Pasalnya, suaranya lebih mendekati fitnah daripada suara gemerincing gelang kakinya. Allah berfirman, ‘Janganlah mereka berjalan dengan mengentakkan kaki agar perhiasan mereka yang tersembunyi dapat diketahui,’ (Surat An-Nur ayat 31). Allah melarang laki-laki untuk mendengarkan suara gemerincing gelang kaki perempuan karena itu menunjukkan perhiasan mereka. Keharaman suara perempuan tentu lebih daripada keharaman (mendengarkan) suara gemerincing perhiasannya. Karena itu ahli fiqih memakruhkan azan perempuan karena azan membutuhkan suara yang keras. Sementara perempuan dilarang mengeraskan suaranya. Atas dasar ini, perempuan diharamkan bernyanyi dengan suara keras bila terdengar oleh laki-laki bukan mahram, sama saja nyanyi diiringi alat musik atau tidak diiringi. Keharaman itu bertambah bila nyanyian perempuan itu mengandung unsur yang dapat mengobarkan syahwat seperti menyebut cinta, rindu dendam, deskrispsi perempuan, mengajak pada maksiat, dan lain sebagainya,” (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘ala Madzhahibil Arba‘ah, [Tanpa keterangan kota dan tahun], juz V, halaman 26).
Mayoritas ulama memandang suara perempuan tidak termasuk aurat. Hanya saja sekiranya dapat menimbulkan fitnah, mendengarkan suara perempuan yang dilagukan atau dibuat mendayu dan sebagainya bisa menjadi haram sebagaimana keterangan berikut ini:
Artinya, “Suara perempuan menurut mayoritas ulama bukan aurat karena para sahabat mendengarkan para istri Rasulullah SAW untuk memahami hukum agama. Tetapi (laki-laki) diharamkan mendengarkan suara perempuan dengan merdu dan lagu meskipun hanya membaca Al-Quran karena khawatir fitnah. Ulama Hanafiyah mengungkapkan, suara perempuan bukan aurat,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz, halaman 595).
Keharaman mendengarkan suara perempuan dalam bentuk apapun baik itu tadarus, tilawah, nyanyian, atau sendandung, terletak pada kemunculan fitnah.
Kalau seorang laki-laki mendengarkan perempuan yang bukan mahramnya bernyanyi sambil berkhalwat (hanya berdua dalam satu ruangan), tentu saja ini diharamkan. Di sini letak fitnahnya yang melahirkan keharaman, bukan karena mendengarkan suaranya.
Artinya, “Perempuan merendahkan suaranya ketika shalat di dekat laki-laki yang bukan mahram sekira laki-laki tidak dapat mendengar suaranya untuk menghindari fitnah sekalipun menurut pendapat yang shahih suaranya bukan aurat. Mendengarkan suara perempuan tidak diharamkan sekalipun suara biduanita atau penyanyi perempuan kecuali bila dikhawatirkan menimbulkan fitnah, yaitu misalnya seorang laki-laki bukan mahram menyendiri bersama perempuan tersebut, tentu hal ini diharamkan,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz, halaman 747).
Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa suara perempuan bukan bagian dari aurat. Kaum laki-laki, menurut mereka, boleh mendengarkan suara perempuan yang bukan mahram sekalipun sebagai keterangan berikut ini:
Artinya, “Suara perempuan bukan aurat menurut Ulama Syafiiyah. Ketika aman dari fitnah, (kita) boleh mendengarkan suaranya. Mereka mengatakan, perempuan dianjurkan untuk ‘menyamarkan’ suaranya. Bila pintu rumahnya diketuk, ia tidak menjawab dengan suara gemulai,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz 31, halaman 47).
Secara eksplisit Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa suara perempuan bukan bagian dari aurat sehingga kita tidak diharamkan untuk mendengarkan suaranya.
Artinya, “Informasi, suara perempuan bukan aurat menurut pendapat yang shahih. (Kita) tidak haram mendengarkan suaranya. Shalat seorang perempuan tidak menjadi batal sekiranya ia mengeraskan suara. Kedudukan (hukum) banci setara dengan perempuan baik ia sebagai budak maupun merdeka,” (Lihat Syihabuddin Ahmad Al-Barlisi/Umairah, Hasyiyah Umairah, [Mesir, Syirkah Musthafa Al-Babi Al-Halabi: 1956 M/1375 H], cetakan ketiga, juz I, halaman 177).
Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat mengambil simpulan bahwa ulama berbeda pendapat perihal suara perempuan.
Hanya saja mayoritas ulama mengatakan bahwa suara perempuan tidak termasuk aurat sehingga orang yang bukan mahram boleh mendengarkan suara perempuan dalam bentuk bicara, orasi, ceramah ilmiah, tilawah, tadarus, nyanyi, atau senandung sejauh aman dari fitnah. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, kita dapat menyimpulkan bahwa perempuan dapat mengambil profesi atau membangun karier yang berkaitan dengan tarik suara atau menggunakan suaranya.