Di Manakah Suara Perempuan Selama 75 Tahun Indonesia?

Di Manakah Suara Perempuan Selama 75 Tahun Indonesia?

Ini cerita dari perempuan

Di Manakah Suara Perempuan Selama 75 Tahun Indonesia?

Tampaknya hari kemerdekaan menjadi hari yang paling syahdu untuk kita semua sebagai rakyat Indonesia merefleksi sejumlah hal-hal yang kerap terjadi di Indonesia. Salah satunya, merefleksi suara perempuan dalam membangun kemerdekaan yang berlanjutan. Kita sadar bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang di mana masyarakatnya memeluk beragama Islam. Melihat keadaan ini, bisa saja suara perempuan ini akan menemukan tantangan untuk membangun kemerdekaan yang berkelanjutan.

Kita bisa mereflesikan kondisi teks keagamaan di kalangan masyarakat muslim yang dikenal sebagai hadist. Misalkan, tentang menempatkan perempuan di dalam rumah untuk menutupi keburukan perempuan, lalu tentang shalat perempuan yang harus di rumah bukan di masjid, berikutnya tentang perempuan terbaik yang tidak melihat dan terlihat laki-laki. Hadist-hadist ini menunjukan jika pandangan dan keberadaan perempuan tidak penting dan tidak perlu diikuti. 

Selain keadaan-keadaan tersebut, ternyata masih banyak pandangan yang menganggap laki-laki lebih superior dan unggul daripada perempuan. Menurut K.H Husein Muhammad, pandangan superioritas laki-laki atas perempuan masih dipegang oleh banyak ulama tafsir klasik. Di saat yang sama, para ulama tafsir klasik ini menyadari jika Siti Aisyah Ra jauh lebih baik daripada banyak laki-laki. 

Nampaknya kita perlu perlu mengutip perkataan Joan Scott dalam Gender and Politics of History untuk mencerminkan sosok Siti Aisyah yang mana jauh lebih baik daripada banyak laki-laki. Joan Scott menyadari jika memang harus ada tawaran suara baru menurut suara perempuan. Suara perempuan ini bisa dikatakan sebagai HAM Perempuan. Dalam praktik kenegaraan, Perjuangan HAM perempuan ini tidak terlepas dari perjuangan hak-hak perempuan. Misalkan pada 1993 pada sebuah konferensi menyatakan jika hak-hak perempuan harus dimengerti sebagai hak asasi manusia. 

Pada akhirnya hukum internasional telah menyadari pentingnya sebuah struktur untuk mencegah diskriminasi. The Convention og the Elimination of All Forms of Discrimination Agains Women (CEDAW) menjadi langka maju hukum yang memihak HAM Perempuan. Bahkan, ketika pemerintah telah meratifikasi CEDAW, artinya pemerintah telah melakukan kontrak sosial dengan perempuan. Serta CEDAW menjadi alat yang selalu menagih pemerintah berada di dalam jalur HAM sekaligus HAM Perempuan. 

Indonesia sendiri telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-undang No.7 Tahun 1984. Artinya di Indonesia sendiri, CEDAW telah diratifikasi selama 36 tahun. Namun, dalam praktiknya peraturan daerah terkadang gagap mengadopsi hal tersebut. Misalkan : 

  1. Persentase perempuan di badan legislatif daerah masih kurang mencapai 10 persen. Bahkan, jumlah legislatif perempuan di pusat saja masih belum mencapai 30 persen. Penempatan 30 persen partisipasi perempuan, hanya untuk posisi calon legislatif. Sehingga, pada saat pemilihan legislatif angka partisipasi perempuan tidak akan mencapai 30 persen. 
  2. Interpretasi Islam membatasi peranan Perempuan. Hal yang paling tergambar jelas di wilayah Padang dan Parahyangan di Jawa Barat. Di Padang pada 2001 dikeluarkan Ranperda Pekat dengan alasan untuk untuk membatasi praktik prostitusi yang sering dilakukan oleh perempuan dan untuk melindungi perempuan dari tindakan kriminalitas dan kemaksiatan termasuk perkosaan. Serta di wilayah Parahyangan di Jawa Barat telah membuat peraturan-peraturan daerah untuk menjadikan Islam sebagai visi pemerintahannya. Alasannya pun hampir sama dengan kasus di Padang, di mana untuk menghapus segala bentuk kemaksiatan. Di Parahyangan perda tersebut disertai dengan sweeping yang dilakukan sekelompok masyatakat dengan identitas Islam. 
  3. Budaya patriarki ternyata masih cukup kental di banyak daerah di Indonesia. Hal ini berimbas pada penyusunan program yang tidak menggunakan perspektif gender. Hal ini juga berimbas pada penyusunan anggaran yang tidak berperspektif gender. Salah satu contoh Wonosobo yang menganggarkan kurang dari 10 persen APBD untuk program perempuan. Bukan hanya daerah, penanganan covid-19 di Indonesia, setelah dilakukan analisa ternyat tidak menggunakan perspektif gender. 

Dalam refleksi kemerdekaan dan refleksi ratifikasi CEDAW di Indonesia, menjadi refleksi yang sangat penting agar negara bisa benar-benar hadir dan mendengar suara perempuan. Di saat yang bersamaan, ratifikasi CEDAW harus melakukan pengarus gender yang menyangkut perencanaan dan keputusan kebijakan publik, perencanaan budget dengan perspektif gender dan struktur serta proses institusional.