Beberapa waktu lalu seorang ulama, anggaplah begitu, mengeluarkan pernyataan yang cukup mengagetkan. Terutama dalam kaitannya dengan hubungan antara lelaki dan perempuan, dalam konteks ini adalah suami dan istri. Di sebuah media TV nasional, dengan penuh percaya diri, ia menyebut bahwa suami memiliki hak penuh atas istri. Termasuk saat suami sedang ingin melakukan hubungan seksual dengan istri.
“Kalau hasrat sudah mau, ya mesti (mau melayani berhubungan seks dengan suami, red). Si istrinya diam saja, tidur saja. Nggak sakit, kok!” demikian ungkapnya.
Pernyataan di atas tentu sangat menganggu. Selain tak lagi sesuai dengan konteks jaman, Islam juga tidak pernah mengajarkan laki-laki untuk merendahkan perempuan dengan sedemikian rupa. Termasuk terhadap istri sendiri.
Laki-laki dan perempuan memang tidak sama, tetapi keduanya setara. Allah menegaskan hal ini dalam banyak ayat di Quran. Beberapa di antaranya adalah (QS. An-Nahl [16]: 97), “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Sementara di QS. An Nisa [4]: 124, Allah juga menegaskan narasi yang serupa. “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” Di banyak tempat lain di al Quran, Allah menyatakan hal yang sama.
Allah tidak membeda-bedakan laki-laki dengan perempuan, selama keduanya beriman dan berbuat baik, maka doa dan ibadahnya akan diterima.
Lantas bagaimana dengan kedudukan suami dan istri? Islam menjamin keharmonisan hubungan ini dengan berbagai panduan. Salah satunya adalah yang diungkap oleh Imam Ghazali dalam Al-Adab fid Din . Ulama ini menjelaskan perihal adab yang harus dimiliki oleh suami terhadap istri.
Ada total 12 jumlahnya. Yakni: berinteraksi dengan baik, bertutur kata yang lembut, menunjukkan cinta kasih, bersikap lapang ketika sendiri, tidak terlalu sering mempersoalkan kesalahan, memaafkan jika istri berbuat salah, menjaga harta istri, tidak banyak mendebat, mengeluarkan biaya untuk kebutuhan istri secara tidak bakhil, memuliakan keluarga istri, senantiasa memberi janji yang baik dan selalu bersemangat terhadap istri. (Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 442])
Adab di atas tidak sedikitpun menyinggung tentang kebolehan memperlakukan istri laiknya budak atau tawanan; harus bersedia melayani kapanpun suami minta. Model hubungan seperti demikian, suami berlagak laiknya juragan sementara istri diperlakukan laiknya tawanan, adalah ciri utama masyarakat Jahiliyah; bodoh dan terbelenggu dalam kegelapan. Karenanya tak heran, masyarakat Jahiliyah memandang dan memperlakukan perempuan tak lebih sebagai obyek seksual saja.
Kembali kepada 12 adab suami terhadap istri, Islam mengajarkan setiap suami untuk hormat terhadap istri. Jangankan untuk melakukan pemaksaan berhubungan badan –yang tentu sarat dengan kekerasan—, untuk berkomunikasi sehari-hari saja, suami diperintahkan untuk menggunakan kata-kata yang lembut. Suami juga tidak boleh menunjukkan amarah di depan istri, itu sebabnya mereka diminta untuk lebih mengedepankan kasih sayang terhadap pasangan hidupnya.
Jika terhadap istri saja kita diperintah untuk hormat, apalagi terhadap perempuan-perempuan lain yang tak memiliki hubungan langsung; kita diminta untuk tetap menjaga harga diri, salah satunya dengan menjaga pandangan. Jangan sampai perilaku kita membuat mereka risih dan terganggu.
Semoga kelaki-lakian kita tak dimaknai sebagai kebolehan untuk berbuat sesuka hati terhadap perempuan. Astaghfirullah.