Menyelami spiritualitas Raden Ajeng Kartini (1879-1904), tidak akan lengkap tanpa menelusuri pencarian Raden Mas Panji Sosrokartono. Nama yang terakhir, merupakan kakak kandung Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai ahli bahasa, wartawan perang, sekaligus generasi awal orang Nusantara yang belajar di Eropa. Memahami Spiritualitas Kartini dan pencarian Sosrokartono, merupakan upaya saling melengkapi.
Dalam diri Kartini dan Sosrokartono, tersimpan identitas sebagai santri: murid Kiai Saleh Darat al-Samarani. Lewat Kiai Saleh Darat, Kartini menyelami pengetahuan Islam sekaligus belajar nilai-nilai dasar agama. Dari pertanyaan-kegelisahan Kartini, Kiai Saleh Darat menuliskan kitab tafsir berbahasa Jawa pegon: Faidlur Rahman. Kitab ini untuk menjangkau publik awam yang ingin belajar Islam, dengan keterangan yang ringkas tanpa kehilangan bobotnya.
Spiritualitas Kartini tampak dari bagaimana ia merefleksikan ayat min adz-dzulumati ila annur: dari kegelapan menuju terang. Dari ayat ini, muncul ungkapan Kartini yang terkenal: ‘habis gelap terbitlah terang’. Surat-surat Kartini mengguratkan kegelisahan bagaimana dirinya terus berusaha mendobrak sekat pembatas kejumudan dengan mencari pengetahuan.
Kartini menulis bagaimana ia mengidamkan pencarian pengetahuan, di negeri Eropa. “Banyaklah sebabnya, mengapa dengan sepenuh hati dan jiwa aku mendambakan pergi ke Negeri Belanda; pertama, karena di sana, aku dapat menyiapkan diri dengan lebih baik sebelum aku menunaikan tugas yang ingin sekali kutunaikan. Kedua, aku ingin menghirup udara Eropa agar dapat melepaskan sisa-sisa purbasangka yang masih melekat pada diriku; purbasangka itu memang tidak banyak, namun ia tetap menghambat. Negeri Belanda harus dan pasti menjadikan diriku benar-benar seorang perempuan merdeka.”
Dalam suratnya yang ditujukan kepada teman-temannya dari Belanda, jelas Raden Ajeng Kartini menginginkan belajar di Eropa tidak sekedar bersenang-senang. Surat-surat Kartini dihimpun oleh J.H Abendanon, pada 1911: Door duisternis tot licht, gedachten over en voor het Javanesche volk van wiljen Raden Adjeng Kartini (Menembus Kegelapan Menuju Terang, Renungan tentang dan untuk Bangsa Jawa dari Raden Ajeng Kartini).
Melalui pendidikan, Kartini ingin meningkatkan level pengetahuannya, agar bermanfaat untuk masa depan diri serta komunitasnya, masa depan negerinya. Ia bersungguh ingin mengubah purbasangka, atau stereotype tentang ‘negeri yang dijajah’, tanah airnya. Dengan melihat, merasakan, sekaligus menyelami pendidikan di Eropa, Kartini ingin berjuang untuk warga negeri asalnya.
Selanjutnya, Kartini mengungkapkan misinya mengejar pendidikan. “Cakrawalaku pasti akan lebih luas, jiwaku pasti akan lebih kaya, dan semua itu tak sangsi lagi akan berpengaruh baik bagi pelaksanaan tugasku. Eropa akan banyak mengajarku dan memberikan kepadaku apa-apa yang tak diajarkan dan diberikan oleh negeriku sendiri”.
Raden Ajeng Kartini sebagai santri, dapat ditelisik dari surat-suratnya, dari impresi bahasa maupun ungkapan yang digunakannya. Sisi inilah yang tidak banyak diungkap dalam riset-riset, maupun pelajaran di sekolah-sekolah negeri ini. Melihat Kartini dan Sosrokartono dalam upaya pencarian spiritualitas, merupakan ziarah pengetahuan yang menarik.
Sosrokartono, mendapat sentuhan spiritual ketika menjadi santrinya Kiai Saleh. Sentuhan inilah, yang menjadikan Sosrokartono kembali ke akar spiritualitas setelah berpetualang selama puluhan tahun di Eropa. Ia menepi di kota Bandung, mengabdikan hidupnya untuk berderma dan mengobati orang sakit: jalan salik yang ditempuh Sosrokartono.
Sosrokartono lahir pada 1877 di Jepara. Hidupnya penuh petualangan. Setelah belajar di ELS dan HBS Semarang, putra Bupati Jepara ini meneruskan perjalanan menuju negeri Belanda, menaklukkan tanah Eropa.
Pada awalnya, Sosrokartono belajar di Sekolah Politeknik di Delft, namun ia mengubah orientasi belajarnya dengan mempelajari beberapa bahasa Timur di Universitas Leiden. Di kampus ini, Sosrokartono berkenalan dengan H. Kern, seorang guru besar yang berpengaruh. Lewat bimbingan H Kern, kakak kandung Kartini ini dicalonkan menjadi anggota KITLV.
Harry A Poeze, menulis betapa Sosrokartono menguasai beberapa bahasa asing dan bahasa Timur. Tidak kurang 24 bahasa asing, dan 10 bahasa Nusantara yang dikuasai Sosrokartono. Keahlian ini, membuka peluang bagi Sosrokartono untuk membantu GP Rouffaer dan HH Juynboll, menyusun karya penting: De batik-kunst in Nederlandsch-Indie en haar geschiedenis (Seni batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya), yang dipublikasikan pada 1914. Catatan Poeze, terekam dalam karya riset ‘Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950.
Sosrokartono menolak menjadi Eropa, berusaha keras melawan sistem penjajahan. Ia berjuang untuk mensejajarkan martabat orang Nusantara dengan bangsa Eropa. Dengan pengetahuan, pengalaman, sekaligus kekuatan bahasa, Sosrokartono mampu menjelajahi Eropa, menyelami modernitas. Sebagai wartawan internasional pada Perang Dunia I, Sosrokartono hidup dengan gaji berlimpah. Namun, ia meninggalkan kesempatan itu, Sosrokartono memilih menepi dalam sunyi.
Di akhir hidupnya, Sosrokartono mewariskan ilmu berderma: ilmu kanthong bolong, dan mewartakan filosofi spiritualitas dalam simbol Alif. Ilmu kanthong kosong-kanthong bolong mendorong orang untuk berderma, bermanfaat bagi liyan. Filosofi Alif-nya Sosrokartono menyiratkan pencarian spiritualitasnya: tetap mengakar di bumi, sekaligus tunduk pada Pencipta Semesta (Munawir Aziz).