Perhelatan “Hijrahfest” di kota Surabaya harus batal dilaksanakan pada tanggal yang telah ditetapkan panitia. Ditengarai permasalahan bermula saat panitia “Hijrahfest” mencatut logo Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdhatul Ulama (NU) dalam promosi kegiatan.
Bahkan, dilansir dari NU Online, publik di Jawa Timur sempat dibuat terkejut karena pernyataan utusan panitia, Arie Untung, yang menyebutkan kegiatan mereka mendapatkan “restu” dari para ulama dan kyai yang berasal dari kedua organisasi. Sayangnya, keterangan Arie Untung tidak menyebutkan dalih yang mendasari putusan mereka untuk mencantumkan logo MUI dan NU dalam media promosi mereka.
H-1 pelaksanaan kegiatan mereka harus menerima pil pahit, karena kegiatan mereka tersebut diprotes keras dan diminta meminta maaf oleh kedua organisasi tersebut. Baik MUI dan NU sepakat menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dan terkait dalam kegiatan “Hijrahfest” tersebut.
Tentu sebagian besar kita bertanya, apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa logo MUI dan NU dipakai oleh Arie Untung dan kawan-kawan?
Untuk melihat permasalahan pencatutan logo MUI dan NU dengan lebih jernih, saya mencoba menelusurinya dari dinamika antara NU dan dakwah Islam populer di masyarakat urban. Karena, permasalahan ini, menurut saya, memiliki kaitan dengan dunia dakwah kontemporer, baik itu perubahan, pertarungan, dan negosiasi.
Padahal, dalam buku Wajah Muslim Indonesia disebutkan bahwa salah satu fakta terkait keberislaman masyarakat urban, diantaranya adalah mulai memudarnya ikatan antara seorang muslim dan organisasi masyarakat berlatar agama, seperti NU dan Muhammadiyah. Akan tetapi, fakta tersebut bukan berarti posisi dua organisasi tersebut telah benar-benar kehilangan pengaruhnya di masyarakat Indonesia.
Sebab, di beberapa wilayah, posisi organisasi masyarakat tersebut masih sangat kuat, bahkan menjadi bagian identitas keislaman masyarakat setempat. Contohnya saja Jawa Timur, termasuk Surabaya, masih memiliki kaitan erat dengan wajah keislaman berlatar Tradisionalisme Islam atau lebih tepatnya NU. Hal ini tentu saja tidak hanya karena Surabaya adalah tempat kelahiran organisasi tersebut. Akan tetapi, juga disebabkan jumlah pengikut NU di wilayah tersebut sangatlah besar.
Fakta ini menjelaskan kehadiran NU dalam polemik logo ini sebenarnya sangat krusial. Sebab, pencantuman logo NU dalam media promosi “Hijrahfest” jelas sekali ingin menarik atensi dan keikutsertaan lebih luas dari kalangan Muslim Tradisionalis. Lihat saja dalih “direstui” yang disebut oleh Arie Untung sebagai perwakilan panitia, tentu hal ini adalah bagian dari upaya tersebut.
Arie Untung dan sebagian panitia “Hijrahfest” tentu menyadari dan memahami betul fakta tersebut. Dengan pencantuman logo MUI dan NU, tentu memperbesar peluang mereka mendapatkan pengunjung dan peserta dari masyarakat berlatar belakang Tradisionalisme Islam. Tapi mengapa mereka begitu tertarik dengan mengajak masyarakat NU bergabung di acara mereka?
Sebelum ke sana, kita perlu tahu bahwa relasi antara NU dan kalangan Hijrah sering mengalami pasang surut, baik diakui atau tidak. Sedikitnya, dua narasi utama di kalangan NU yang dianggap “kurang” pas dengan model keislaman oleh kalangan Hijrah. Pertama, wajah Islam yang toleran dan moderat di kalangan NU.
Lihat saja, di beberapa momentum krusial dalam relasi antar agama, seperti Natal hingga perbincangan soal Syiah dan Ahmadiyah, pandangan kedua kelompok seringkali berseberangan. Bahkan, kelompok NU seringkali dianggap “Kebablasan” oleh kelompok Hijrah.
Kedua, lokalitas dalam wajah Islam di Indonesia. Tradisi lokal yang sangat kental di kalangan NU juga cukup mendapatkan “penolakan” atau minimal kurang disukai di kalangan Hijrah. Wajar jika kemudian beberapa ritual keislaman yang sebelumnya cukup lekat dengan tradisi lokal seringkali mengalami reinterpretasi atau “dinegosiasi ulang” oleh kalangan Hijrah. Lihat saja perbedaan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. di kedua kelompok.
Model Islam lokal yang familiar di kalangan NU ini tidak “selalu” kompatibel dengan pemahaman Islam yang berwajah tunggal di kalangan Hijrah. Tentu, hal ini disebabkan model keberislaman yang populer di kalangan Hijrah cukup dekat dengan tafsiran Islam yang tunggal. Tentu, lokalitas yang sangat beragam tidak begitu diminati.
Mungkin, jika ingin ditambahkan, wacana kebangsaan di kalangan NU. Walaupun, dinamika ini cukup rumit jika ditelisik lebih dalam. Sebab, wacana soal Negara-Bangsa di kalangan Hijrah tidaklah tunggal, walaupun mereka “cukup berusaha” membuktikan kepada publik bahwa mereka tetap setia pada Indonesia, seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya di setiap kegiatan mereka. Akan tetapi, sesekali mereka juga berseberangan dengan model kebangsaan ala NU.
Pernyataan Akh Muzakki, Sekretaris NU Wilayah Jawa Timur, soal kegiatan “Hijrahfest” berafiliasi dengan beberapa tokoh yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung organisasi yang telah dilarang secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Selain itu, Hijrahfest juga dimotori oleh kelompok yang terindikasi gerakan yang cenderung mendeskreditkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila.
Terlepas dari pernyataan di atas, fakta bahwa warna glorifikasi keislaman cukup kental di kalangan Hijrah tersebut sehingga dapat berpengaruh wacana kebangsaan mereka, ditambah beberapa sosok pendakwah populer yang sering mengisi kajian mereka terindikasi apa yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi, wacana kebangsaan di kalangan Hijrah sebenarnya tidak berwajah tunggal. Buktinya, wacana-wacana ekstrimisme di kajian mereka masih belum frontal.
Tapi, mengapa NU tetap begitu “seksi” bagi penyelenggara acara Hijrah? Entahlah. Saya sendiri belum mengetahui jelas apa motif mereka, termasuk kasus logo kemarin. Tapi, untuk mendorong model keberislaman mereka semakin populer di masyarakat Indonesia, mereka tentu “mengincar” NU sebagai salah satu organisasi masyarakat terbesar dan memiliki pengaruh besar dalam keislaman di Indonesia.
Strategi konfrontatif mungkin sulit dilakukan oleh kalangan Hijrah untuk menggeser pengaruh NU di keislaman publik Indonesia. Oleh sebab itu, mereka mulai sering menunjukkan posisi mereka dengan kalangan NU. Selain itu, mereka mulai “bernegosiasi” dengan berbagai wacana dan ritual keagamaan kelompok NU, seperti Salawatan dan Maulidan, tentu dengan berbagai negosiasi dan reinterpretasi di dalamnya.
Akan tetapi, bisakah wacana Hijrah menggeser Islam tradisionalis yang sudah mengakar kuat di masyarakat Indonesia? Ini pertanyaan sebenarnya. Tapi, Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari pertarungan wacana sejak kehadiran di Nusantara. Jadi, siapa yang akan menjadi arus utama keislaman di publik Indonesia? Apakah ada yang bisa menjawab ini?