Keengganan masyarakat menerima humor berjalan seiring dengan mengerasnya polarisasi di antara mereka. Di sisi lain, kedewasaan suatu masyarakat juga ditandai dengan kepiawaiannya mengolah humor. Artinya, masyarakat yang membiarkan dirinya terjebak dalam polarisasi memang membiarkan dirinya tidak dewasa.
Kalau Anda mengira bahwa saya sedang merespon riuhnya kasus Bintang Emon dan pemeriksaan seorang warganet hanya karena mengunggah humor Gus Dur, anda memang tepat. Karena saya memang sedang gundah dengan kedewasaan kita dalam berbangsa. Seminggu yang lalu, kita digoyang dua kali oleh orang yang tersinggung atas humor. Humor lho ya, bukan hinaan.
Ketika kita membicarakan ketersinggungan atas humor, sebenarnya memang selalu ada potensi seseorang bisa tersinggung olehnya. Hal ini karena humor memang selalu membutuhkan “korban”. Dan karena humor selalu membutuhkan korban atau objek untuk ditertawakan, Ia bisa menjadi parameter kedewasaan seseorang.
Kenapa humor dapat digunakan sebagai parameter kedewasaan? Karena menjadi korban humor bukanlah perkara yang sederhana. Di sana dibutuhkan dimensi jiwa yang neriman sampai dimensi hati yang ikhlas, dan tentu anak-anak belum piawai mengelola dimensi-dimensi ini.
Karena sifat humor yang selalu membutuhkan korban, humor merupakan saudara kembar dari tragedi. Perbedaan dari mereka berdua hanyalah respon yang dihasilkan, satunya menghasilkan tawa dan satunya lagi menghasilkan haru biru.
Pada mulanya tren ketersinggungan atas humor dialami oleh korban humor yang merasa tidak terima atau tidak nyaman ketika dirinya dijadikan sasaran humor. Namun semakin kesini, tren ketersinggungan menjadi semakin menarik dan beragam. Saat ini orang yang tersinggung bukan hanya datang dari korban humor, tetapi juga dari fans yang tidak terima idolanya dijadikan korban humor.
Raditya Dika pernah mengalami kejadian ini. Di suatu acara TV, Ia diledek seorang komedian. Sebelum acara itu dimulai, si komedian dan Radit telah membuat kesepakatan atas humor-humor yang ingin dikeluarkan. Selepas acara, Radit merasa lega karena bisa menjadi bahan lawakan, tetapi hal itu tidak diamini oleh semua fans Radit. Sebagian fans Radit marah, mereka menghina si komedian dan mereka juga menyumpah serapahi si komedian karena mempermalukan pujaan mereka.
Selain ketersinggungan dari pemuja, saat ini ketersinggungan juga mulai berevolusi ke “alam hukum saling lapor”. Malahan bentuk ketersinggungan dengan melapor adalah bentuk ketersinggungan yang paling ngetren saat ini. Ketika suatu tokoh merasa terhina atas humor, Ia dengan sangat ringan tangan melakukan pengaduan atas nama pencemaran nama baik.
Selain itu, ungkapan ketersinggungan yang belakangan ini baru muncul adalah dengan melakukan teror, seperti yang dialami Bintang Emon.
Padahal, ketika kita gunakan komedi sebagai parameter kedewasaan, pilihan respon atas humor adalah cukup dengan tertawa atau diam saja ketika tidak menikmati. Persis seperti saudara kembarnya, tragedi, responnya cukup dengan tangis atau diam saja ketika tidak merasa tersentuh.
Nah, dari semakin beragamnya ketersinggungan orang atas humor, saya kira ada beberapa alasan yang melatarbelakangi itu semua.
Pertama, adanya rasa terlalu tinggi menghargai diri. Rasa seperti ini tentu baik ketika masih dalam koridor memotivasi diri untuk terus berkembang. Seperti memberikan hadiah atas pencapaian, juga meneliti hal-hal baik dalam diri yang perlu diolah dan diasuh. Namun ketika kadarnya berlebihan, sikap seperti ini bisa menjadi lubang jebakan atas pemujaan diri sendiri. Menganggap diri sendiri terbaik, tanpa cacat dan tak patut dijadikan bahan komedi.
Bentuk lain dari terlalu tinggi menghargai diri sendiri adalah dorongan mendaku diri sebagai seorang yang superior atau dalam bahasa sehari-hari; bukan orang sembarangan. Ketika seseorang sudah merasa bukan orang sembarangan, Ia akan gila hormat dan mudah sekali tersinggung ketika ada “orang biasa” menyentilnya. Kecenderungan ini akan dialami oleh mereka yang memiliki jabatan, posisi, atau orang tua yang punya dorongan post power syndrome.
Alasan kedua yang membuat orang gerah atas humor adalah ketika seseorang telah mengkultuskan sesuatu di dunia ini menjadi benda suci dan keramat. Pengkultusan itu berimplikasi pada dongkolnya hati ketika ada orang lain yang membuat benda suci jadi bahan lawakan. Dorongan ini lah yang membuat orang terpolarisasi dan muaranya akan menjebak dirinya dalam lingkaran sikap ketidakdewasaan.
Kecenderungan yang akan muncul ketika seseorang terseret dalam arus polarisasi adalah selalu merasa bahwa kelompoknya benar dan yang lain salah. Apalagi ditambah dengan iklim sosial media yang membuat seorang yang terpolar terjebak dalam echo-chamber. Mata dan telinga hanya akan mendengar apa yang benar dari apa yang dikultuskan itu.
Polarisasi di sini saya kira bukan hanya dalam urusan politik, namun banyak dalam hal-hal lain juga. Ketika seseorang sudah benar-benar menganggap suatu benda begitu suci, di sana Ia akan mulai terpolar.
Kata kunci yang perlu dipegang adalah pada sikap keterlaluan. Karena seyogyanya hidup, kita semua pasti memiliki suatu hal yang dianggap suci, namun keberlebihan menganggap suci suatu benda itulah yang akan menyeret dalam polarisasi yang saya maksud.
Banyak orang yang menuntut agar humor tidak usah digunakan pada sesuatu yang suci. Padahal yang perlu dihadirkan dalam diri adalah keyakinan bahwa kita semua pasti memiliki hal-hal yang dianggap suci, dan itu berbeda-beda tiap orang, bukan malah saling larang.
Misal, ada orang yang mempercayai “jangan membercandai tubuh perempuan”. Apakah kepercayaan seperti itu salah? Sama sekali tidak. Tetapi akan menjadi bermasalah kalau itu berubah menjadi tuntutan agar semua orang tidak boleh membercandai tubuh perempuan. Karena begini, tidak semua orang menganggap tubuh adalah sesuatu yang suci, di luar sana banyak juga orang-orang yang tidak menganggap tubuh sebagai sesuatu yang suci.
Banyak komedian yang dengan santainya membercandai dirinya sendiri dan mengatakan dirinya jelek. Antara komedian yang menjadikan tubuhnya sebagai korban humor adalah berbeda 180 derajat dengan orang yang menuntut liyan tidak membercandai tubuh. Di sini kita bisa melihat perbedaan dimensi suci antara satu orang dengan yang lainnya.
Buat saya, apapun yang ada di dunia ini bisa dijadikan bahan humor. Namun yang perlu kita ingat adalah setiap orang punya batas suci masing-masing. Sehingga ketika ada seseorang yang melucui benda suci versi kita, respon kita tidak perlu marah. Kita cukup sadar bahwa dimensi kesucian kita dan mereka ada pada teritori yang berbeda, pun demikian sebaliknya, biar ujungnya kita tidak mudah tersinggung saja. [rf]