SKEMA “MAKNA” DAN “SIGNIFIKANSI” SEBUAH TAFSIR
(Usaha Paradigmatis Meletakkan Tafsir Pada Tempatnya)
Persoalan interpretasi teks memang takkan pernah ada habisnya –dan justru karena alasan itulah sebuah teks menjadi penting dan berharga untuk terus ditimba maknanya. Situasi ini aslinya normal belaka, bahkan seyogianya, seiring dengan –dalam ungkapan Martin Heidegger—aksioma bahwa kerja penafsiran sebagai verstehen (pemahaman) tidak bisa dilihat semata sebagai suatu proses subyektif dari manusia ketika berhadapan dengan obyek (teks), tetapi merupakan cara berada manusia itu sendiri –tegasnya, kerja penafsiran adalah sebuah Dasein.
Watak Dasein tafsir ini akan terasa benar pengaruhnya bila kita menarik contoh-contohnya dari khazanah tafsir salaf al-Qur’an. Bagi pentaklidnya, 10 juz kitab Lubabut Tafsir Ibn Katsir mutlak “benar”, sebuah Dasein. Ia bukan lagi berposisi sebagai “karya wacana” yang berusaha menafsirkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, yang niscaya terkalit-kelindan dengan perkara-perkara metodologis, histositas, dan corak kultural-politis suatu masa. Pada tahap fanatis begini, kitab tafsir tersebut “tersakralkan” sampai kuasa mensugesti jamaahnya rela mati membelanya.
Situasi ini memang cenderung problematis. Bukan hanya dalam konteks relasi sosialnya dengan pihak-pihak yang memiliki Dasein berbeda, acuan kitab tafsir yang lain, tetapi juga pada perkara kritisisme metodologi dan kontekstualisasinya.
Bisa dibayangkan, di tangan pentaklid fanatis (umumnya bayani-tekstualis), pemaknaan sebuah ayat menjadi ternyatakan final sehingga tertutuplah semua pintu atas kemungkinan penggalian makna-makna baru yang produktif dan kontekstual dengan situasi terkini. Walhasil, relevan tak relevan, makna final itu akan digugu dengan segala keterbatasan kontekstualnya. Walhasil berikutnya, tertampaklah panorama berislam yang kaku, baku, dan out of date.
Bukti nyata atas statemen ini ialah “keterbatasan tafsir lama” terhadap surat al-Maidah ayat 51 yang secara literal menolak pemimpin dari selain muslim dengan ekspresi final. Sekalipun faktanya situasi historis masa kini telah jauh berkembang, yang seyogianya merekahkan refleksi-refleksi baru dalam merelasikan ayat itu dengan historisitas terbaru, fanatisme itu dengan tegas akan menampiknya.
Tentu saja, situasi ini kurang produktif bagi upaya kontekstualisasi ayat itu di satu sisi, dan sekaligus “berbahaya” bagi dinamika keilmuan tafsir itu sendiri.
Pertanyaannya kini ialah mengapa hal-hal sejenis itu mendesak untuk dinyatakan “berbahaya”?
Skema “Makna” dan “Signifikansi”
Nasr Hamid Abu Zayd yang dikenal luas gigih melancarkan metode interpretasi progresif-liberal terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits (dua sumber utama hukum Islam) menyatakan bahwa teks tidak bisa dilepaskan sama sekali dari konteksnya. Konteks yang dimaksud adalah aspek kesejarahan lahirnya sebuah teks dan konteks kesejarahan tradisi-tradisi penafsiran yang telah terjadi.
Jika Anda termasuk orang yang alergi pada istilah “liberal”, baiknya sedikit berdamai dulu pada sosok pemikir muslim yang fenomenal ini agar bisa mendapatkan “manfaat” darinya, khususnya dalam episteme “pembacaan kritis” atau “tafsir kritis”, yakni pembacaan kontekstual (al-qiraat al-siyaqiyyah) pada teks untuk mendapatkan “makna aslinya” –situasi awal lahirnya teks yang steril dari hegemoni pembacaan-pembacaan penafsir—lalu menuangkannya kembali kepada masa kini. Tak ayal, keterlibatan disiplin Ulumul Qur’an dan Ushul Fiqh macam Asbabun Nuzul dan Illatul Hukmi menjadi mutlak betul untuk diperhatikan, plus disiplin struktur bahasa yang bukan hanya berhenti pada ilmu alat macam Nahwu dan Balaghah, tetapi juga Analisis Wacana.
Ada dua pilar dalam skema metodologi interpretasi Nasr Hamid Abu Zayd yang sangat menarik untuk diberi ruang apresiasi. Yakni “makna” dan “signifikansi”.
Sebuah teks, kata Nasr Hamid Abu Zayd, akan memberikan hasil tafsir yang otentik dan bermanfaat bila penafsir mampu membangun terlebih dahulu peta makna dan signifikansinya. “Makna” adalah konteks kesejarahannya secara lengkap kala teks itu dilahirkan. Ia bersifat monoton. “Signifikansi” adalah konteks historis-sosiologis saat sebuah penafsiran dilakukan, yang bisa merentang jauh dalam hal ruang dan waktu dengan lahirnya teks dan antarpenafsir. Karenanya, ia bersifat heterogen dan plural.
Tegasnya, seorang penafsir yang otoritatif, bagi Nasr Hamid Abu Zayd, hendaknya memahami betul (1) makna awal teks itu (sebutlah asbabun nuzul-nya), dengan cara melihat secara jernih (2) realitas dulu yang melingkupinya (kesejarahan masa lalu), kemudian mengaitkannya dengan (3) realitas kini (sesuai dengan ruang dan waktu penafsir), untuk mendapatkan (4) signifikansinya yang relevan dengan khazanah kekitaan.
Benderang dan cerdas memang skema metodologi Nasr Hamid Abu Zayd ini –meski tampak dipengaruhi teori “double movement” Fazlur Rahman.
Jika metodologi tafsir Nasr Hamid Abu Zayd ini dicoba terapkan pada, misal, surat al-Maidah ayat 51, kita akan mengerti bahwa tugas ilmiah penafsir tidak boleh tersekat pada makna literal (tekstual) belaka, tetapi melangkah jauh melingkupi: asbabun nuzul-nya apa, latar sosio-historis masa lahirnya ayat tersebut bagaimana, kemudian realitas historis-sosiologis kita di Indonesia yang plural ini seperti apa, dan finalnya menemukan signifikansi maknanya yang telah dielaborasi. Hasilnya, “tafsir baru” ini akan menyemburatkan produktivitas pemahaman dan pandangan tentang bagaimana hukum mengangkat pemimpin non muslim bagi umat Islam Indonesia.
Cara kerja metodologi interpretasi ini sangat menjanjikan untuk tidak hanya menghantar kita merdeka dari bekapan tafsir, pandangan, dan pemahaman lama yang beku dan ahistoris, agar perspektif kita sebagai subyek pada teks sebagai obyek menjadi lebih produktif dan kontekstual, tetapi sekaligus akan memberikan posisi Dasein baru bagi umat Islam, sesuai dengan konteks khazanahnya masing-masing.
Patut buru-buru dimengerti dengan arif di sini bahwa metodologi ini tidak perlu sama sekali dituding mengancam kualitas keyakinan kita pada absolutivitas kebenaran al-Qur’an, tetapi justru akan menjadikan teks-teks al-Qur’an selalu hidup, nyala, dan memayungi dinamika hidup setiap umatnya. Metodologi ini, tentu dengan beberapa kritisinya, seperti kecenderungan Nasr Hamid Abu Zayd untuk menegasi pandangan-pandangan mufassir lama dan intensitas pelibatan hermeneutika fenomenologis yang berkarakter meniadakan “Pengucap teks”, sangat relevan dengan keyakinan esoteris kita bahwa al-Qur’an adalah rahmatan lil ‘alamin, karenanya akan selalu shalih likulli zaman wa makan.
Bukankah justru akan menjadi anomali tersendiri bila di satu sisi kita rajin memekikkan watak rahmatan lil ‘alamin, karenanya selalu shalih likulli zaman wa makan, pada al-Qur’an, tetapi di sisi lain kita bertindak ahistoris pada situasi-situasi terkini sehingga menjadikan al-Qur’an tampak ketinggalan zaman dan tidak nyambung dengan keadaan umatnya?
Tidak akan sederhana memang untuk bisa menerima penalaran kritis sejenis ini bagi umat Islam yang tidak karib dengan perkara-perkara metodologi keilmuan tafsir. Tidak gampang memang untuk memberikan pemahaman kepada khalayak bahwa pada hakikatnya kebenaran al-Qur’an adalah satu hal yang mutlak dan kebenaran tafsir al-Qur’an adalah satu hal lainnya yang relatif.
Tetapi, setidaknya, dengan menyenaraikan pemikiran-pemikiran porgresif-kontekstual pada jagat tafsir, termasuk dari Nasr Hamid Abu Zayd ini, kita bisa menitipkan harapan pada “kaum elit” agama dari segala kelompok, untuk tidak membiarkan jamaahnya terus terbelenggu fanatisme salah kaprah –fanatisme pada kebenaran mutlak tafsir. Seiring jalannya waktu, semoga watak-watak fanatis yang rentan klaim dan konflik itu akan mencair, agar kehangatan sosial-komunal kita sebagai sebuah bangsa bisa mekar dengan semerbak di bawah payung Islam .
Jogja, 16 Oktober 2016
*) Penulis adalah CEO DIVA Press Group, ketua basabasi.co, kandidat doktor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. @edi_akhiles