Bukan Bodoh, Ini Makna Kata Jahiliyah yang Sebenarnya

Bukan Bodoh, Ini Makna Kata Jahiliyah yang Sebenarnya

Jahiliyah sebenarnya bukan berarti bodoh, karena mereka sejatinya pada saat itu adalah orang-orang yang sangat cerdas.

Bukan Bodoh, Ini Makna Kata Jahiliyah yang Sebenarnya
Ilustrasi berhala.

Jahiliyah seringkali diartikan sebagai ketidaktahuan akan ilmu pengetahuan. Bukan hanya itu, kata yang berakar kata jahala yang artinya bodoh itu juga dikaitkan dengan tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang buruk seperti membunuh anak perempuan dan menyembah berhala. Kesalahan memaknai Jahiliyah ini berdampak pada fatalnya memahami muatan ideologis yang ingin alquran sampaikan.

Jahiliyah tidak bisa diartikan sebagai konsep masyarakat Arab pra-Islam yang bodoh dalam segi ilmu pengetahuan. Faktanya, masyarakat Arab pra-Islam atau yang kita sebut jahiliyah itu memiliki setidaknya tiga kecerdasan. Pertama, kecerdasan verbal-linguistik. Ini adalah jenis kecerdasan yang khas dimiliki masyarakat Arab pada saat itu. Mereka pandai sekali dalam membuat syair dan mengolah kata-kata. Sehingga mukjizat (pelemahan/yang melemahkan) yang diberikan kepada Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an yang berupa syair-syair indah.

Kedua, kecerdasan logika matematika. Komoditas utama masyarakat Arab pra-Islam adalah berdagang. Sehingga mereka sudah pasti pandai dalam hitung-hitungan. Jika kita teliti alquran sering menggunakan kata timbangan (contoh: Yaumul Mizan) atau neraca karena ada hubungannya dengan konteks masyarakat Arab yang pandai berdagang. Sebagai pusat perdagangan di semenanjung Arab, pasar Ukaz yang berada di Mekkah kemudian menjadi faktor utama penentu hubungan sosial penduduk saat itu. Makkah pun disebut sebagai Ummul Quro, yaitu sebuah pusat perniagaan besar.

Ketiga, kecerdasan astronomi atau perbintangan. Bangsa Arab memang ahlinya dalam hal astronomi. Hal itu dikarenakan keadaan mereka yang hidup di gurun pasir mengharuskan mereka mempelajari alam untuk mengetahui pergantian musim. Ilmu astronomi sangat dibutuhkan bagi masyarakat Arab karena mereka sejatinya adalah para pedagang.

اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ

(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. (Q.S. Quraisy [106] : 2)

Jika musim dingin tiba, mereka akan pergi berdagang ke negeri Yaman yang hangat. Jika musim panas tiba, mereka akan berniaga ke negeri Syam yang sejuk.

Jadi tidak ada alasan yang bisa menjadikan dasar bahwa masyarakat Arab pra Islam bodoh dalam ilmu pengetahuan. Justru sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang cerdas.

Namun, apakah benar bahwa jahiliyah itu dinilai dari tradisi mereka yang buruk? Dikatakan bahwa mereka memiliki kebiasaan merendahkan perempuan sehingga perempuan dianggap sebagai properti yang bisa diwariskan. Karena keunggulan mereka ada pada suku atau kelompok, maka seberapa banyak kemenangan perang di antara suku itu berdampak pada kemuliaan suku.

Perempuan dianggap tidak bisa diajak berperang sehingga melahirkan perempuan dicap sebagai aib. Itulah mengapa banyak versi sejarah mengatakan bahwa gadis perempuan zaman itu banyak yang dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Tradisi masyarakat Arab lain yang negatif adalah penyembahan terhadap berhala. Mereka sering mengundi nasib, bermabuk-mabukan, dan berzina.

Tapi tradisi itu tidak bisa dikatakan sebagai salah satu alasan masyarakat Arab pra Islam disebut Jahiliyah. Karena beberapa negara lain di masa yang sama ada juga tradisi-tradisi yang menyeleweng dari fitrah manusia dan menabrak batas-batas kemanusiaan. Jika setiap negeri saat itu memiliki kecenderungan tradisi yang buruk, karena tidak adanya pedoman atau standar kebaikan di antara mereka, mengapa hanya masyarakat Arab pra Islam yang disebut dengan Jahiliyah? Mestinya banyak tempat di beberapa negara juga yang dicap sebagai Jahiliyah karena tradisinya. Berarti tradisi bukanlah aspek yang menyebabkan masyarakat Arab pra Islam disebut Jahiliyah.

Jahiliyah itu bukanlah ketidaktahuan bukan pula tradisi. Tapi Jahiliyah lebih kepada sikap seseorang yang menutupi kebenaran. Hal ini dapat kita simpulkan dari suatu kisah yang lumayan populer. Kisah yang menceritakan kesaksian Abu Jahal dan argumentasi mengapa ia tidak beriman kepada Nabi Muhammad Saw.

Amr bin Hisyam (nama asli Abu Jahal) dulunya dikenal sebagai orang yang sangat cerdas. Bahkan di kalangan Quraisy, ia dijuluki Abu al-Hakam (bapak kebijaksanaan). Bahkan pada awalnya Rasulullah mendoakan Amr bin Hisyam supaya Allah memasukkannya ke dalam Islam. Melalui doanya yang terkenal, “Ya Allah muliakanlah Islam dengan salah satu di antara kedua lelaki ini, Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab.” Tapi karena satu hal, Rasulullah menjulukinya sebagai Abu Jahal (bapak kebodohan). Atau bisa diartikan juga sebagai tokohnya orang Jahiliyah. Padahal dulunya Rasulullah berharap Islam mulia karenanya.

Hal itu disandarkan pada kisah saat al-Miswar bin Makhramah yang bertanya kepada pamannya, Abu Jahal, perihal sosok Nabi Muhammad SAW. Abu Jahal berkata dan bersaksi bahwa Muhammad adalah orang yang jujur bahkan dijuluki al-Amin (yang terpercaya). Kemudian al-Miswar bertanya kepada Abu Jahal kalau Muhammad tidak pernah berbohong, mengapa ia tidak beriman kepada Muhammad?

Abu Jahal menjawab, “Keponakanku, kami (Bani Makhzum) dan bani Hasyim selalu bersaing dalam masalah kemuliaan. Jika mereka (Bani Hasyim) memberi makanan, kami juga memberi makanan. Jika mereka menjamu dengan minuman, kami juga demikian. Jika mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Sampai-sampai kami sama-sama duduk di atas hewan tunggangan untuk berperang, kami (Bani Makhzum dan Bani Hasyim) sama dalam kemuliaan. Kemudian mereka mengatakan, ‘Di kalangan kami ada seorang Nabi yang mulia’. Lantas, kapan kabilahku bisa menyamai kemuliaan ini?”

Bahkan kepada al-Akhnas bin Syiraiq pemimpin Bani Zuhrah, Abu Jahal juga berkata kalau Muhammad tidak pernah berdusta. Tapi jika anak-anak Qushay (kakek buyut Nabi Muhammad) mulia dan berperan dengan al-liwa’ (mengatur urusan perang), hijabah (memegang kunci Ka’bah dan pengaturannya), siqayah (memberi jamaah haji minum), dan juga nubuwwah (kenabian), lantas Quraisy yang lain kebagian apa?”

Dari kisah ini jelaslah bahwa Abu Jahal mengakui kebenaran Nabi Muhammad SAW. Yang membuat ia tidak beriman adalah karena fanatisme kelompok atau suku. Ia menginginkan kemuliaan ada pada sukunya (Bani Makhzum) tapi justru yang mendapatkan kemuliaan bukan hanya lebih banyak tapi juga lebih besar yakni Bani Hasyim, karena nubuwwah (kenabian).

Sikap menutupi kebenaran itulah yang membuat Amr bin Hisyam dijuluki Abu Jahal. Iri dengki karena kelompoknya tidak lebih baik dari kelompok Nabi Muhammad membuatnya menjadi orang kafir (menutup. Inggris: cover). Berarti, Jahiliyah dimaksudkan kepada masyarakat yang tahu akan kebenaran Muhammad mendapatkan Wahyu dari Allah, tapi mereka menutupinya.

Fanatisme kelompok seringkali membuat orang menutupi kebenaran. Ia akan berusaha semaksimal mungkin agar seolah olah tidak melihat kebenaran atau menutup agar orang lain tidak melihat itu sebagai suatu kebenaran. Sikap seperti ini sering kita temui di kalangan umat Islam saat ini. Kadang kita lihat elit Islam saling menyenggol dan berantem hanya karena tidak ingin kehilangan pengaruh dari kelompoknya. Akhirnya menyebabkan perpecahan. Pada dasarnya, bila ada kelompok yang fanatik buta terhadap apa yang ia lakukan dan menutupi kebenaran yang ada di kelompok lain, itulah makna Jahiliyah sesungguhnya. (AN)

Wallahu ‘alamu bi al-shawab