Tradisi pengobatan bangsa Arab, tidak lepas dari budaya, kepercayaan dan mitos yang berkembang. Pada era pra-Islam, banyak cara pencegahan penyakit yang aneh, mulai dari menginjak mayat, menggantung kain yang dilumuri darah menstruasi sebagai azimat, dan banyak lainnya.
Kurang lebih demikian kesuraman tradisi pengobatan Arab pra-Islam sebagaimana digambarkan oleh Manfred Ullmann dalam bukunya Islamic Medicine. Buku ini mengulas sejarah pengobatan dan kedokteran Arab maupun Islam dari perspektif filologis dan kajian manuskrip.
Pada kurun abad keenam Masehi, Nabi Muhammad lahir, dan mulai mendakwahkan Islam pada awal abad ketujuh. Nabi Muhammad disebutkan banyak mengubah tatanan dalam cara berperilaku bangsa Arab. Islam digambarkan sebagai konsep kehidupan baru yang diajarkan oleh Nabi, sehingga setiap perilaku dan tutur kata Nabi adalah bagian ajaran Islam, demikianlah adanya.
Nah, apakah perubahan tatanan melalui dakwah Islam ini juga berdampak pada tradisi pengobatan Arab?
Menarik mengutip pernyataan Manfred Ullmann, bahwa kendati aturan hidup manusia dijelaskan dalam Al Quran, tidak disebutkan suatu metode pun tentang pengobatan yang khas Islam. Kalaupun Al Quran menyebut kurma, madu, atau materi apapun yang dinilai bermanfaat, ia dinilai bukan anjuran jenis obat secara spesifik dalam Islam.
Narasi seputar cara pengobatan yang mendetail pada era Nabi Muhammad banyak dicatat dalam hadis. Hal ini direfleksikan dan dikompilasikan dalam hadis, yang bersanad pada Nabi Muhammad SAW. Kitab hadis Shahih al Bukhari maupun Shahih Muslim, maupun kitab hadis lainnya banyak menyertakan bab kitab at-thibb – bab mengenai metode-metode pengobatan.
Sebagaimana pernah dicatat oleh Jonathan Brown dalam buku The Canonization of Shahihayn, sebelum kompilasi hadis disusun dalam format Shahih maupun Sunan, ulama banyak mengumpulkan hadis berdasarkan bab fiqih, seperti Al Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas, atau berdasarkan perawi seperti dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam Al Bukhari dan para muhaddits setelahnya memperluas cakupan pembahasan kitab-kitabnya tidak hanya dalam masalah fiqih, tapi juga berbagai aspek hidup tak terkecuali pengobatan. Hadis, berdasarkan keterangan Ullmann, mampu menjadi sumber sejarah yang memberi gambaran lebih lengkap tentang tradisi pengobatan masyarakat Arab baik sebelum Islam atau masa Nabi Muhammad.
Mari kita sebut beberapa narasi cara pengobatan dalam hadis. Kencing unta adalah obat yang istimewa pada masa setelah era Nabi Muhammad, karena ia tercantum dalam Shahih al Bukhari. Harganya melejit.
Dalam Shahih Al Bukhari juga disebutkan mararatus sabu’ atau empedu hewan gurun yang buas. Ia digunakan menjadi obat kendati dalam matan hadis lain Nabi melarang konsumsi bagian hewan buas yang bertaring. Mararatus sabu’ ini disebutkan dalam hadis bersamaan dengan perihal minum susu keledai betina (labanul utun). Orang yang tertusuk duri, dianjurkan menggunakan henna (al-kuhl). Lemak cair dari ekor domba (‘irqun nasa) dalam hadis riwayat Ibnu Majah dinilai sebagai obat untuk nyeri punggung.
Kita lebih mengenal lagi habbatus sauda’ – jinten hitam. “Habbatus sauda’ adalah obat segala penyakit, kecuali mati dan tua.”, seperti dicatat dalam Shahih al Bukhari. Ada juga talbinah, bubur campuran susu, tepung dan madu. Nyeri perut diobati menggunakan wars (Memecylon tinctorium), seperti diriwayatkan Ibnu Majah. Dikenal juga kama’ah, atau truffle gurun untuk mengobati sakit mata.
Oleh Nabi, orang sakit dianjurkan berobat, dan bisa memilih apa yang paling bermanfaat baginya. Namun sejak masa Nabi, arak (khamar) dilarang meski untuk pengobatan – bahkan larangan ini berada dalam Al Quran.
Metode pegobatan populer masa itu yang dianjurkan bahkan dilakukan oleh Nabi adalah bekam. Para ulama mencatat bahwa bekam dilakukan dengan tanduk hewan atau wadah seperti cungkup. Selain bekam, kauterisasi dengan besi panas (kayy) juga marak, namun dipantang oleh Nabi kendati beliau sendiri pernah disebutkan melakukannya.
Kepercayaan akan sihir dan roh masih eksis: kejang epilepsi adalah efek roh jahat. Tha’un atau wabah hitam yang diketahui akibat bakteri Yersinia pestis – pemicu black death di Eropa sebelum Renaissance, dianggap akibat “senggolan” jin. Anjuran membunuh ular dalam hadis, disebutkan untuk mencegah keguguran maupun berbagai kesialan lainnya – sementara ulama mencatatnya sebagai amalan sunnah. Penyakit ‘ayn, atau guna-guna lewat mata, juga sering disebut dalam hadis.
Hal yang menarik, ruqyah pernah dilarang, namun dibolehkan. Ruqyah kala itu dinilai sebagai mantra yang identik dengan kemusyrikan. Di kemudian hari, Nabi membolehkan ruqyah jika terjadi ‘ayn, atau disengat kalajengking dan ular dengan syarat selama tidak ada kesyirikan di dalamnya. Nabi banyak mengajarkan doa-doa sebagai pengganti mantra. Barangkali aspek iman ini yang diubah oleh Nabi dalam perihal ruqyah masyaraat Arab sebelum Islam.
Anjuran pengobatan di atas mudah kita jumpai dalam teks-teks hadis, bahkan beberapa di antaranya familiar di era sekarang. Ullmann menilai, metode pengobatan Nabi itu toh sama saja dengan yang dilakukan masyarakat Arab. Kita lihat bahwa Nabi Muhammad tidak mengubah tradisi pengobatan kecuali dalam aspek iman, seperti dalam mantra ruqyah yang diganti doa-doa pada Allah.
Segala obat dan metode yang diajarkan atau dipantang Nabi itu dikompilasi dalam kitab hadis. Itu masih yang dinilai shahih, belum lagi jika ada hadis-hadis bermasalah yang dipercayai masyarakat muslim. Dalam perspektif sejarawan cum filolog Eropa seperti Ullmann, kriteria shahih dan bermasalah diabaikan dahulu, yang utama dikaji adalah adanya sumber teks tertulis sebagai sumber sejarah.
Ragam hadis tersebut ditelaah dan dihadapkan dengan tradisi kedokteran Yunani. Model pengobatan yang bersumber dari hadis ini dikenal sebagai Thibbun Nabawi (kedokteran ala Nabi), barangkali hingga sekarang – dan diterima luas oleh masyarakat muslim. Thibbun Nabawi, menurut Ullmann kerap digunakan sebagai kontra narasi dari budaya kedokteran Yunani, yang dipandang sebagai sesuatu yang liyan, atau kafir.
Ibnu Khaldun menyatakan dalam Muqaddimah-nya bahwa Thibbun Nabawi yang bersumber dari hadis adalah semata tradisi pengobatan orang Arab Badui. Tidak ada otoritas wahyu maupun sabda Nabi yang eksplisit menyatakan bahwa demikianlah ajaran pengobatan ala Nabi. Dari narasi ini, Thibbun Nabawi adalah sesuatu yang bermasalah, serta hanya merupakan kelanjutan tradisi pengobatan Arab pra-Islam yang klenik dan mungkin, kurang “ilmiah dan didasari pengetahuan”.
Kepercayaan masyarakat muslim akan teks hadis memang sangat kuat. Namun setelah Nabi wafat, ekspansi Islam ke banyak negeri meniscayakan dialog budaya dan peradaban. Pengobatan dari tradisi Yunani yang konon lebih “saintifik” sudah terjadi pada masa Dinasti Umayyah (661 -750). Semisal Farazdaq, penyair besar dinasti Umayyah, menyebutkan perumpamaan air untuk menggambarkan gejala katarak. Bagi pengidapnya, katarak memang membuat pandangan penderitanya berkabut seperti penampakan air terjun.
Sebuah kisah menyebutkan ketika ‘Urwah bin Zubayr bin al-‘Awwam tinggal di Syria pernah menderita luka lebar di kaki (gangrene foot). Kakinya diamputasi pada masa khalifah Al Walid I, dan konon Urwah disundut besi panas, menolak pemeberian pereda nyeri dan tidak mengerang kesakitan. Urwah hidup sampai 8 tahun setelah itu.
Juga di masa Dinasti Umayyah, tiga dokter didikan tradisi Yunani, pernah diminta bekerja untuk khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (715-717). Dalam catatan Ullmann, mereka tinggal di Basra dan bekerja untuk khalifah dan gubernur setempat. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kedokteran yang menjadi patron pada masa-masa selanjutnya dan konon lebih “saintifik” berasal dari tradisi Syria, Yunani, maupun Persia. Bimaristan, sebagai konsep rumah sakit era kerajaan Islam adalah adaptasi dari Persia. Kendati demikian bukan berarti cara pengobatan kuno Arab benar-benar sudah tidak dipakai masyarakat.
Dapat kita pahami dari paparan di atas bahwa Nabi tidak mengubah apa yang telah dilakukan bangsa Arab dalam hal pengobatan dan pengetahuan penyakit. Pada masa selanjutnya, tradisi pengobatan Yunani dan Persia yang menjadi patron dokter era kerajaan Islam. Thibbun nabawi yang dicatat dalam kitab hadis, serta dipakai luas masyarakat muslim saat ini, adalah bagian tradisi pengobatan dan kedokteran bangsa Arab pra-Islam, yang harus diakui, bercampur dengan mitos, legenda juga tradisi lama. Hemat penulis, identifikasi manfaat dan kerugiannya berada dalam koridor sains, bukan keimanan atau hukum Islam.