Kencing Unta Ditinjau dari Aspek Ilmu Hadis dan Ilmu Kedokteran

Kencing Unta Ditinjau dari Aspek Ilmu Hadis dan Ilmu Kedokteran

Kencing unta dianggap sebagai obat, bagaimana sebenarnya menurut perspektif Quran dan medis?

Kencing Unta Ditinjau dari Aspek Ilmu Hadis dan Ilmu Kedokteran

Pada suatu hari, Nabi menemui sekelompok orang menuju Madinah. Ada berbagai riwayat tentang asal orang-orang tersebut. Mereka merasa kepayahan dan kesakitan menyesuaikan diri dengan kondisi Madinah. Orang-orang ini diminta Nabi menuju gerombolan unta di dekat situ. Mereka pun meminum susu unta dan dalam riwayat lain, beserta air kencingnya. Mereka pun bugar kembali.

Tapi seusai itu, mereka menghadang salah satu penggembala unta Nabi. Mereka merampok, membunuh sang penggembala, dan mencuri unta. Rasulullah geram, dan memberi hukuman atas kekejian mereka.

Kurang lebih demikian secara singkat inti hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik terkait kencing unta, yang hari-hari ini jadi diperbincangkan. Semoga catatan opini ini tidak “menggarami lautan” tentang penjelasan perkara kencing unta yang sudah banyak dipaparkan.

Hadis di atas setidaknya terdapat dalam kutubus sittah dan kitab hadis lain, dengan beragam redaksi dari berbagai riwayat, serta dalam penempatan bab yang berbeda-beda. Sebagian ulama ada yang menggolongkan ke dalam Kitab at Thib, kitab pengobatan; dan lainnya ada yang membahasnya lebih detail dalam bab bersuci, dalam permasalahan air kencing hewan yang dimakan dagingnya. Tentang hadis kencing unta, agaknya tidak ada yang lebih sahih selain model riwayat kisah di atas.

Beberapa kitab syarah hadis menjelaskan perihal kencing unta yang cukup pelik perdebatannya. Mulanya: apakah kencing unta itu suci? Imam Malik bin Anas menyatakan segala hewan yang dagingnya bisa dimakan maka kencingnya suci, dengan analogi pada hadis riwayat Anas bin Malik atas. Pun di kalangan warga Madinah meminum kencing unta ini dilakukan, sehingga Imam Malik yang menjadikan perilaku warga Madinah sebagai salah satu metodologi penetapan hukum, menyatakan kebolehannya.

Cukup panjang hal ini didiskusikan ulama, dan Anda bisa menyimaknya di kitab syarah hadis semisal dalam ‘Umdatul Qori Syarah Shahih al Bukhari karya Syekh Mahmud Al ‘Aini (w. 855 H). Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, Imam as Syafi’i serta sekian ulama lainnya menyatakan bahwa semua kencing itu najis.

Hemat penulis, para ahli fikih tentu memiliki nalar dan metodologi penggalian hukum masing-masing. Ada yang mengambil lafal hadis secara tekstual, dan yang lain ada yang melakukan telaah kondisi masyarakat dan konteks saat itu. Keragaman nalar semacam ini perlu dimengerti terkait pemahaman agama, lebih-lebih keputusan hukum.

Menyikapi pengobatan dengan kencing unta, Syekh Mahmud al ‘Aini memilih tidak berkesimpulan sampai ada orang yang benar ahli dalam ilmu tersebut, serta memilih mengunggulkan pemahaman atas hadis “…bersihkanlah diri dari kencing, karena banyaknya azab kubur itu disebabkan olehnya…” yang secara literal sudah nyata-nyata melarang untuk mempergunakan kencing.

Menilik proses legalitas penggunaan terapi untuk masyarakat, konsumsi obat semata karena hadis sahih, terlebih yang masih kontroversi semacam kencing unta, menjadi tidak relevan. Disebutkan perlu sekian uji praklinik dan uji klinik yang dilalui sebelum sebuah obat legal dan aman, terlebih dipergunakan luas.

Ada beberapa penelitian terhadap urin unta, menyebutkan klaim atas efeknya. Kebanyakan penelitian ini bersifat in vitro, atau dalam kondisi terkendali di laboratorium, atau sekurang-kurangnya pada hewan coba. Dalam beberapa berita, termasuk yang dirilis Tirto, dikabarkan bahwa stakeholder kebijakan terkait obat dan makanan Arab Saudi, belum memberikan ekses lebih lanjut untuk penelitian pada pengonsumsi kencing unta.

Kesimpulan urin unta memiliki efek terapeutik pada tubuh manusia, masih jauh dari kata final. Klaim-klaim khasiat kencing unta yang beredar di media perlu dipertanyakan, alih-alih mendatangkan efek buruk tertentu.

Berbicara tentang kencing unta, agaknya ada beberapa catatan. Pertama, perihal beragamnya redaksi hadis tersebut. Dalam Sahih al Bukhari, yang juga terdapat dalam Sahih Muslim dan Sunan an Nasa’i, tidak disebutkan redaksi “kencing unta”. Begitupun perbedaan apakah Nabi yang menyuruh mereka, atau mereka sendiri yang melakukannya sebagai bagian dari kisah. Maka untuk memahami hadis secara utuh, mengumpulkan semua variasi riwayat tema kisah kencing unta tersebut perlu dilakukan, dan selanjutnya, dikompromikan dengan hadis lainnya.

Kedua adalah kemungkinan pernyataan tersebut dihapuskan (mansukh) oleh hadis yang datang setelahnya. Meski tidak ada data riil terkait kapan kisah tersebut dan kapan hadis terkait perintah membersihkan kencing itu disabdakan, kemungkinan ini perlu ditelaah lebih lanjut. Mengingat pada rentetan sejarah Islam, perkara-perkara menyangkut syariat secara teknis dianggap lebih longgar di masa awal Islam.

Ketiga, merujuk komentar Imam Abu Hanifah dan Imam as Syafii bahwa barang najis boleh digunakan sebagai obat dalam keadaan darurat, sejauh mana kedaruratan dan kemendesakan untuk mengonsumsi kencing unta di kalangan muslim, lebih-lebih muslim Indonesia?

Kiranya “hadis obat herbal” ini perlu dicermati lebih lanjut, secara sanad, matan, alih-alih aplikasinya. Perlu dipahami manakah hadis yang menggambarkan Nabi sebagai seorang manusia yang berbudaya, dan mana pula hadis sebagai petunjuk hukum beragama.

Pretensi kembali ke masa lampau ini tidak sejalan dengan semangat zaman. Dalam kasus jamu dan pelbagai metode terapi di Indonesia pun, meski berasal dari budaya turun temurun, tidak semua serta merta dipertahankan dan dianjurkan.

Keempat, WHO (World Health Organization) dalam salah satu rilisnya terkait penyakit MERS (Middle East Respiratory Syndrome) yang populer di kalangan jamaah haji beberapa waktu lalu, menyeru untuk menjaga kebersihan saat berinteraksi dengan unta di Arab, memasak daging dan susu unta sampai benar matang, alih-alih konsumsi kencing unta. Menurut WHO, unta dipandang dapat terkait dalam penularan penyakit MERS ke manusia.

Sebenarnya diskusi ini bisa enteng saja: mending ngopi dibanding repot membahas perkara minum kencing unta. Ora enek gawean. Membayangkan minum saja mungkin sudah tak nyaman.

Tapi sikap terhadap sumber hukum Islam yang demikian agaknya menggambarkan suatu fenomena, tentang masalah iman dan nalar akan teks khususnya terhadap Al Qur’an dan hadis. Kiranya merepotkan membincang ndakik-ndakik kerangka epistemologis soal ini.

Dengan keadaan pemahaman semacam itu, diskusi serupa agaknya akan selalu terjadi di kemudian hari. Mulai dari debat-debat perkara bacaan Al Quran, cara ibadah, perayaan hari-hari tertentu, pakaian, pengobatan, makanan, minuman, interaksi sesama manusia, jual beli, pendidikan, sejarah, politik, tafsir dan sebagainya.