Apakah semua film kartun berorientasi pada hiburan? Ternyata tidak. Keputusan salah satu televisi swasta menayangkan sebuah film kartun serial berjudul “Nussa”, sebagai tayangan menjelang berbuka dan sahur, menarik untuk diulik.
Dari sekian banyak film kartun, malah Nussa yang mendapatkan jatah di “prime time” saat Ramadhan. Alasannya jelas, waktu pemirsa menonton paling banyak. Selain itu bisa saja alasan tentu Nussa memiliki dua makna sekaligus, antara edukasi agama dan hiburan.
Lihat saja setiap channel televisi berlomba-lomba membuat konten sahur dan berbuka semenarik mungkin. Semuanya dikemas rapi dalam dua nilai tersebut sekaligus. Tapi, sekali lagi, mengapa Nussa?
Diambil dari nama sosok utamanya, Nussa adalah seorang anak laki-laki. Hidup bersama dengan adik dan Ibunya. Walau sebenarnya keluarga mereka lengkap namun sang ayah tidak begitu sering ditampilkan secara jelas di setiap episodenya.
Sebelum masuk televisi untuk kedua kalinya, Nussa telah tayang secara reguler setiap jumat siang. lewat Kanal Youtube dengan nama akunnya “Nussa Official”. Cerita yang diangkat juga beragam namun selalu dikemas dalam durasi yang tidak lama, kisaran antara 2-3 menit setiap episodenya.
Langkah tim kreatif “Nussa” tersebut sebenarnya keputusan cerdas dan waktu yang tepat. Apalagi jika melihat dinamika pemirsa di era media sosial sekarang ini. Nussa berbeda dengan film kartun lain. Ketika hadir pertama kali di jagat maya lewat kanal Youtube beberapa waktu lalu, Nussa mengolah informasi dan cerita yang ingin disampaikan pada pemirsa dengan cepat dan efisien.
Saya baru menyadari hal ini saat melihat keponakan saya yang sedang keranjingan menonton aneka konten di Youtube, saat mereka sudah tidak begitu nyaman jika film kartun sudah lebih dari kisaran 3 menit. Mengapa?
Rupanya Nicholas Carr, penulis The Shallow, yang menulis banyak terkait relasi manusia dan internet itu, sudah memperingatkan akan adanya perubahan pola penerimaan informasi baru di otak manusia. Ketika manusia sedang online, maka informasi tersebut bukan saja menjejali memori aktif kita namun di saat bersamaan, kita juga semakin sulit untuk memusatkan perhatian pada satu hal.
Kondisi tersebut menyebabkan otak kita semakin mudah melupakan dan sulit mengingat. Kita telah ketergantungan dengan informasi yang dihadirkan dengan mudah di aneka laman yang begitu mudah kita akses.
“Ketika pemanfaatan internet yang kita lakukan malah membuat kita lebih sulit memasukkan informasi ke dalam memori biologis kita. Kita semakin dipaksa untuk lebih bersandar pada memori buatan yang luas dan mudah dicari di internet, sekalipun efeknya membuat kita menjadi pemikir yang dangkal,” tulis Carr dalam buku tersebut.
Keadaan ini tentu berdampak, bagaimana tim kreatif Nussa yang menginginkan menghadirkan kehidupan anak yang ideal (baca: islami) dikemas, sekaligus diwartakan secara efisien dalam pesan dan fokus khalayak sebagai konsumen.
Nah, jika kita mendengar misi mereka yang disampaikan saat peluncuran “Nussa” menyebutkan yakni menyasar penghadiran pendidikan nilai pada anak-anak, sekaligus bisa menjadi ajang belajar bagi orang tua. Tentu bisa dibilang misi tersebut berat dan memiliki konsekuensi yang besar. Walau selama ini mereka berhasil memproduksi konten berjumlah puluhan, konten “Nussa” yang bermuatan Islam, tentu menguntungkan karena mengambil segmen yang potensial disukai oleh mayoritas penduduk Indonesia, terutama jika kita melihat menggeliatnya keberislaman di masyarat Indonesia.
Namun ada konsekuensi konten keislaman yang harus dikemas secara singkat dan ringkas adalah persoalan materi, baik agama dan kebangsaan. Tampaknya, hal ini kurang disadari atau memang secara sadar dilakukan oleh tim Nussa, mereka ternyata berusaha untuk mencoba menggeser imaji anak-anak Indonesia soal nilai kehidupan.
Tampaknya, mereka menganggap selama ini anak-anak Indonesia mendapatkan asupan yang “salah” dari beberapa cerita lokal. Kisah “Kancil” misalnya, yang dianggap menyamakan cerdik: menipu atau cerita Jaka Tarub dan 7 bidadari yang selama ini kita konsumsi di taman kanak-kanak atau sekolah dasar dianggap bermasalah. Oleh sebab itu, tim kreatif menghadirkan narasi moral Islam lewat sosok Nussa sebagai pengantinya.
Cita-cita “manis” itu rentan sekali terjebak pada narasi komunal dan mengabaikan keragaman hukum fikih dalam ajaran Islam, terlebih agama yang diajarkan pada anak-anak biasanya sangat lunak sekaligus menyenangkan. Tidak percaya?
Di beberapa episode Nussa, Islam dihadirkan secara sangat kaku terutama urusan moral. Kita tentu saja bisa berdebat soal ini, seperti yang terlihat dalam episode “Bukan mahram”. Di serial itu, Nussa diceritakan tidak bersalaman dengan orang asing yang datang ke rumahnya, setelah dijelaskan bahwa tamu tersebut adalah tantenya atau adik ibunya, baru Nussa mau bersalaman.
Anda bisa juga melihatnya episode“Toleransi”. Rara digambarkan enggan bersalaman juga dengan orang lain, padahal orang lain itu ia bantu di tengah jalan. Hal itu belum soal standarisasi pakaian untuk anak-anak sebagai bagian dari visual untuk menggeser cara berpakaian yang baik sebagai muslim maupun Muslimah, baik di rumah, apalagi di luar.
Kartun Nussa kental sekali menggambarkan simbol formalistik itu. Baik ditampilkan secara semiotis dari segi gestur dan tampilan, termasuk juga konten, sebagaimana dijelaskan di atas. Padahal penting kiranya bagaimana keluwesan hukum fiqih yang selama ini ada di masyarakat Muslim, terutama pada anak-anak agar tidak kaku dalam memahami ajaran Islam di kemudian hari.
Islam anak-anak yang ditampilkan tersebut seiras dengan model keberIslaman masyarakat kelas menengah yang sedang mendominasi diskursus Islam di Indonesia. Kesalehan masyarakat kelas menengah tersebut kemudian didorong dan menjadi ukuran “Islam yang sebenarnya” yang menjadi ukuran atau penanda keimanan bagi mayoritas masyakat muslim.
Celakanya, dinamika kesalehan ini sangat mengandalkan simbol-simbol formalistik dalam mengidentifikasi atau mengukur keimanan seseorang. Model pakaian seperti hijab, niqab hingga baju koko atau gamis, ritual umrah hingga kegiatan filantropi atau amal, adalah simbol-simbol yang sering digunakan kalangan kelas menengah atau urban untuk mengukur keimanan ditampikan cukup apik di Nussa.
Secara logika pasar, sesuatu yang disengaja sebab dalam ukuran demografi saja sudah sangat menjanjikan. Bagaimana tidak, kelas menengah (middleclass) di Indonesia menurut data BCG (Boston Consulting Group) jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 141 juta jiwa. (Ali dan Purwandi, 2019).
Tentu ini merupakan pasar yang besar dan menggiurkan sehingga bukan hal yang sulit bagi tim produksi “Nussa” mengikuti selera keberislaman kelas menengah tersebut, dengan memproduksi konten yang dekat dengan mereka. Lihat saja konten “Nussa” selalu saja mencapai angka paling minimal ratusan ribu hingga puluhan juta viewers. Saat irisan antara hiburan dan pedagogi ajaran agama dipadu apik dalam film kartun tersebut, kemilau monetisasi “Nussa” juga tak kalah menggiurkan menggiurkan.
Jadi tayangan ini tidak saja bernafaskan agama saja, namun cukup kental unsur bisnis di dalamnya. Tapi persoalan tidak berhenti di sana saja, narasi kebangasaan yang beragam masih digambarkan secara minim.
Andai saja kita mau belajar dari kartun milik tetangga, walau rumput tetangga tidak sebagus milik kita, “Ipin-Upin” yang masih dibilang cukup sukses dalam menggambarkan keragaman di tanah Malaysia.
Eksistensi yang berbeda cukup terakomodasi dengan beragamnya agama dan kultur yang direpresentasikan ke dalam beberapa tokoh di kartun tersebut, bahkan mereka juga menghadirkan kejailan khas anak-anak di tokoh utama, yakni Ipin dan Upin.
“Nussa” yang ditampilkan dengan narasi dominan Islam dan rentan sekali mendangkalkan pemahaman akan kebangsaan kita yang memiliki keragaman, baik agama, etnisitas termasuk pilihan mazhab. Bahkan bisa melunturkan permainan dan kebahagian dari dunia anak-anak.
Di tengah tuntutan pasar dan durasi, tentu catatan di atas menambah pekerjaan rumah bagi tim produksi. Mereka harus berpikir keras mengemas keseluruhan nilai-nilai yang tercecer selama ini di episode “Nussa” berikutnya.
Lebih-lebih sekarang sudah tayang di televisi nasional tentu memiliki daya resonansi lebih kuat lagi, sehingga jika gagal menampilkannya maka rentan menghasilkan kedangkalan dalam keberislaman, kebangsaan dan kebahagiaan anak-anak.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
*Analisis ini hasil kerjasama islami.co dengan RumahKitab