Terhitung sejak awal Ramadan ini sudah banyak tulisan dengan tema ngaji online, sebuah pengajian kitab kuning yang disiarkan secara langsung melalui jaringan internet. Pengajian online tentu sangat praktis dan mudah. Meskipun mungkin tak cukup murah bagi sebagian orang. Namun yang pasti pengajian online melalui beragam media sosial seperti Facebook, Youtube, hingga Instagram ini kian diminati, terutama oleh para alumni pesantren. Terlebih di tengah pandemi virus korona yang sedang melanda negeri ini.
Ada banyak alasan mengapa pengajian online semakin marak dan mendapat respons positif dari para santri dunia maya ini. Ada yang memang karena ingin ber-nostalgia, ngalap berkah, dan berbagai alasan lainnya. Tak sedikit pula pesantren mewajibkan santrinya untuk mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh pondok pesantren sebagai bagian dari “pengganti” pengajaran tatap muka karena libur sebab virus Korona ini.
Kitab-kitab yang dibaca oleh para Kiai dan Ustaz muda pun sangat beragam. Ada yang membacakan kitab-kitab tasawuf, tafsir, fikih, hadis, dan disiplin keilmuan lainnya. Jenjang atau tingkat kesulitan kitabnya pun berbeda-beda. Ada yang membaca kitab tipis dan mudah setingkat ibtidaiyyah, tsanawiyyah hingga yang tebal dan rumit dipahami oleh tingkat Aliyah atau mahasantri/mahasiswa sekalipun.
Sanad atau Cukup Keahlian?
Di awal Ramadan ini salah seorang sahabat alumni pesantren curhat. Ia cerita bahwa ia diminta oleh beberapa temannya untuk membuka pengajian secara online. Kitab yang diminta adalah kitab yang ia tidak pernah mengaji langsung kepada gurunya. Sebenarnya, sahabatku ini secara keilmuan sangat mumpuni. Akan tetapi ia bilang bahwa ia tak cukup rajin mencari makna kitab saat di pondok dulu. Kitab-kitab yang penuh makna dan bersumber dari gurunya adalah kitab yang diajarkan di kelas (materi kurikulum). Intinya ia ragu untuk membacakan kitab di luar kitab yang pernah dipelajari langsung bersama gurunya. Atau dengan kata lain, kitab yang tidak memiliki sanad keilmuan yang ‘ittishal’ (ketersambungan) kepada penganggit kitabnya.
Mengenai hal ini (membacakan kitab-kitab yang dipelajari secara ototidak) para ulama berbeda pendapat. Ada yang secara ketat melarang sebab dikhawatirkan akan terjerembab pada pemahaman yang salah dan bahkan dalam taraf tertentu menyebarkan kekeliruan kepada orang lain. Namun juga tidak sedikit pula para ulama yang membolehkannya dengan catatan: memiliki kemampuan. Pada titik ini kita boleh memilih pendapat yang mana.
Imam Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (1978: 653) mengatakan:
قال السيوطي: الْإِجَازَةُ مِنَ الشَّيْخِ غَيْرُ شَرْطٍ فِي جَوَازِ التَّصَدِّي لِلْإِقْرَاءِ وَالْإِفَادَةِ فَمَنْ عَلِمَ مِنْ نَفْسِهِ الْأَهْلِيَّةَ جَازَ لَهُ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يُجِزْهُ أَحَدٌ وَعَلَى ذَلِكَ السَّلَفُ الْأَوَّلُونَ وَالصَّدْرُ الصَّالِحُ وَكَذَلِكَ فِي كُلِّ عِلْمٍ وَفِي الْإِقْرَاءِ وَالْإِفْتَاءِ خِلَافًا لِمَا يَتَوَهَّمُهُ الْأَغْبِيَاءُ مِنِ اعْتِقَادِ كَوْنِهَا شَرْطًا. وَإِنَّمَا اصْطَلَحَ النَّاسُ عَلَى الْإِجَازَةِ لِأَنَّ أَهْلِيَّةَ الشَّخْصِ لَا يَعْلَمُهَا غَالِبًا مَنْ يُرِيدُ الْأَخْذَ عَنْهُ مِنَ الْمُبْتَدِئِينَ وَنَحْوِهِمْ لِقُصُورِ مَقَامِهِمْ عَنْ ذَلِكَ وَالْبَحْثُ عَنِ الْأَهْلِيَّةِ قَبْلَ الْأَخْذِ شَرْطٌ فَجُعِلَتِ الْإِجَازَةُ كَالشَّهَادَةِ مِنَ الشَّيْخِ لِلْمُجَازِ بِالْأَهْلِيَّةِ. انتهى.
Terjemahan bebasnya kira-kira demikian:
Imam Assuyuthi berkata, ijazah dari seorang guru bukanlah syarat mutlak atas kebolehan untuk membaca kitab atau mengais faidah darinya. Siapa yang memiliki kapasitas keilmuan atas kitab tersebut diperbolehkan untuk hal tersebut. Meskipun tak ada satu pun yang memberinya ijazah. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh para ulama salaf. Pendapat yang membolehkan ini berbeda dengan apa yang dipahami oleh kelompok (orang-orang bodoh) yang mensyaratkan ijazah guru. Diajukannya syarat ijazah ini tidak lain karena secara umum sulit untuk bagi orang yang ingin belajar kepadanya mengukur kemampuannya. Karena hal demikian merupakan bukan kapasitas mereka untuk mengukur keahlian seseorang. Oleh karena itu ijazah dari guru ibarat sebuah persaksian atas otoritas keilmuan seseorang.
Secara sederhana hal ini dapat disimpulkan bahwa yang menjadi standar dalam kebolehan mempelajari kitab secara ototidak adalah penguasaan atas dasar-dasar keilmuan. Adapun mengenai ukurannya bisa dilihat dari adanya pengakuan dari seorang guru melalui ketersambungan sanad maupun penguasaan yang diperoleh melalui cara lain seperti ketekunan belajar secara mandiri, meskipun cara yang kedua ini cukup susah untuk mengukurnya.
Di sisi lain, hal menarik yang muncul dari merebaknya pengajian online, terutama kitab-kitab level atas, adalah tidak adanya syarat atau kriteria bagi para santri. Siapa pun bebas untuk mengikutinya. Jika dilihat dari aspek tertentu, misalnya dengan menggunakan etika belajar ala santri salaf, tentu hal demikian merupakan sesuatu yang kurang baik. Sebab, pembelajaran dalam sistem pesantren salaf cukup “rigid”. Ia harus dimulai dari tingkatan paling dasar, menengah, kemudian baru menginjak level di atasnya, dan seterusnya. Sesuatu yang cukup susah untuk diterapkan dalam sistem pengajian online.
Mengenai ketatnya sistem pembelajaran yang diajarkan di pesantren salaf ini saya jadi teringat pada sebuah aturan tertulis yang kemudian seringkali disampaikan oleh para ustaz di kelas:
Santri dipun larang ngaos kitab ingkang dereng pangkatipun (santri dilarang mengikuti pengajian yang belum levelnya). Kira-kira demikian wasiat kiai sepuh di salah satu pesantren tua di Jawa Timur. Pesan ini tertulis di sebuah papan di atas pintu masjid utama. Sebuah pesan sekaligus nasihat kiai sepuh untuk para santrinya agar bisa mengukur tingkat kemampuan yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana pepatah jawa: “ojo rumongso biso, nanging biso’o rumongso” yang artinya: jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa (tahu diri).
Wallahu A’lam Bish-shawab