Jean Baudrillard, seorang ahli kebudayaan asal Prancis, pernah mencetuskan sebuah konsep yang disebut simulakra. Tokoh post-modernisme itu menilai bahwa manusia saat ini tidak lagi menggunakan sesuatu berdasar fungsi dan kebutuhan, tetapi hanya sebatas simbol. Realitas yang terjadi menjadi realitas palsu yang terus dilanggengkan dan menjadi komoditas bagi industri.
Sebagai contoh sederhana adalah penggunaan pakaian. Pakaian yang fungsi awalnya sebagai penutup badan telah mengalami transformasi pemaknaan karena munculnya simbol-simbol dalam pakaian. Sebuah logo brand yang menempel pada selembar kain bisa mengangkat harga berkali-kali lipat. Dampak dari simulakra ini adalah manusia tidak lagi mengonsumsi sesuatu berdasar kebutuhan, melainkan simbol-simbol yang menjebaknya menjauh dari esensi sebuah barang.
Konsep Baudrillard di atas memang tercetus karena memotret fenomena masyarakat Barat pada era post-modern. Akan tetapi simulakra ini bisa diamati di kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam kehidupan beragama hari ini. Menjamurnya berbagai simbol-simbol agama sebagai komoditas telah menjauhkan umat muslim dari esensi ibadah sesungguhnya. Walhasil, simbol agama menjadi pusat ‘pemujaan’ baru mengalahkan pemujaan pada Tuhan yang menjadi ajaran agama.
Sebagai contoh adalah cara berpakaian. Saat ini ada banyak kalangan yang mengaku berhijrah setelah ‘menyesuaikan’ diri berpakaian seperti orang-orang di Arab dengan baju kurung dan jubahnya, atau mengganti kata ‘saudara’ dengan ‘akhi/ukhti’.
Apakah berbaju kurung dan berjubah itu salah? Tentu saja tidak.
Banyak kiai saya semasa nyantri di Jawa Tengah mengenakan jubah saat menjalankan ibadah salat Jumat di masjid. Tapi mengapa tidak ada yang mempermasalahkan? Jawabannya adalah terletak pada cara pandang terhadap jubah itu sendiri.
Kiai saya mengenakan jubah untuk meniru Nabi Muhammad SAW dalam berpakaian tanpa meninggalkan sikap ketawadhuan dan kehati-hatian dalam bersikap. Dalam kesehariannya, kiai masih mengenakan pakaian seperti muslim Indonesia pada umumnya: baju koko, sarung dan peci hitam. Sementara ada banyak orang mengenakan pakaian tertentu karena menganggap paling islami dan paling sesuai sunnah Nabi, sebuah argumentasi yang tidak pernah saya dengar selama bertahun-tahun nyantri di pondok pesantren.
Pakaian yang sunnah adalah pakaian yang bersih dan patut sesuai kadar kemampuan seseorang, begitu kata salah seorang kiai saya. Karena bagi para kiai saya, esensi beragama salah satunya menghindari sifat sombong. Lalu jika karena cara berpakaian membuat seseorang menjadi sombong, maka yang dilakukan oleh seseorang tersebut adalah simulakra, memuja simbol tanpa esensi.
Bahasa pun menjadi salah satu titik di mana simulakra terjadi. Pada mulanya bahasa adalah sarana komunikasi. Akan tetapi hal ini menjadi ambigu ketika dibawa ke ranah ideologis. Sesuatu yang berasal dari Arab dianggap Islam, sementara yang berbau Barat dianggap kafir.
Saya sampai tertawa iba saat seorang teman menangkap percakapan dua orang yang menghujat sebuah stasiun televisi karena dianggap melakukan kristenisasi terselubung. Padahal stasiun TV tersebut memang milik kalangan Kristen-Arab yang memang menggunakan bahasa Arab sebagai sarana komunikasinya.
Situasi ini menjadi lebih runyam tatkala memasuki era post-truth di mana kebenaran dianggap sebuah kebenaran jika sesuai dengan minatnya. Berita bohong pun dianggap sebuah kebenaran selama sesuai dengan ‘keyakinannya’. Hal ini rentan dimanfaatkan kalangan-kalangan tertentu yang menciptakan industri bagi dirinya melalui pemujaan atas simbol-simbol agama. Karena pada dasarnya simulakra berujung pada produksi besar-besaran demi meraih keuntungan.
Produksi yang dimaksud bukan melulu soal barang, tetapi bisa juga wacana. Sebagai contoh adalah politik identitas yang saat ini menjadi awan mendung perpolitikan Indonesia. Semua yang berbau agama diproduksi sebagai simbol untuk menipu umat demi kepentingan segelintir elite yang gila jabatan. Agama menjadi alat untuk memecah belah masyarakat yang menjadikannya sangat jauh dari akhlak dan nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang diperjuangkan Rasulullah SAW semasa hidupnya.
Kembali pada simulakra-nya Baudrillard, ia berpendapat bahwa salah satu dampak simulakra adalah terjadinya jarak sosial. Jika diseret dalam politik, jarak ini yang menciptakan adalah orang-orang yang terobsesi pada kekuasaan. Ia akan memproduksi simbol-simbol melalui wacana-wacana yang membuat masyarakat terpecah dan menjadi semakin tak karuan. Sayangnya, di Indonesia penggunaan simbol agama ini terasa begitu kuat.
Di luar politik, menjamurnya layanan-layanan berbungkus agama menjadi fenomena yang luar biasa. Sampai-sampai muncul berbagai promo ibadah yang di-merger dengan paket wisata. Tak jarang paket wisata menjadi sesuatu yang ‘profetik’, sementara ibadah menjadi hal yang ‘profan’.
Di titik ini, saya teringat dengan pendapat KH Mustafa Ya’qub mengenai haji pengabdi setan untuk mengkritik para jemaah haji yang berhaji karena kepongahan dan kesombongannya, bukan karena panggilan dari Allah SWT. Seseorang beribadah hanya karena simbol, bukan karena esensi. Wallahua’lam.