Pribadi Nabi Muhammad SAW ditempa oleh sejumlah kehilangan, kemalangan, dan tantangan. Itu sebabnya, walau berasal dari klan paling utama di masyarakat Quraisy, dijuluki al-Amin oleh sebab kredibilitasnya yang tak diragukan, diangkat sebagai Nabi paling mulia, dan bahkan dinobatkan secara kultural sebagai ‘Raja Mekah’ pra-kenabian, Rasulullah selalu menganggap dirinya “hanya seorang anak yatim piatu”.
Kerendahan hati ini membuat Rasulullah menjadi pribadi yang tak mudah dibikin baper, tak mudah merasa direndahkan, dilecehkan, dan dinistakan.
Karena postulatnya begini: semakin engkau tinggi hati dan semakin engkau merasa besar, semakin dengan mudah engkau akan merasa tersinggung, merasa direndahkan, merasa dikecilkan. Orang-orang besar sejatinya tidak merasa besar dan tidak memerlukan pengakuan oranglain atas kebesarannya.
Rasulullah, alhasil, dengan ketinggiannya tetap rendah hati. Dan akhlak inilah yang mesti kita teladani.
Sayangnya, status religo-kultural, ekonomi, akademis, dan lain-lain kadang bikin seseorang merasa tinggi, merasa besar, apalagi kalau sudah mengklaim diri sebagai ulama besar, pemimpin besar, pengusaha besar, dan lain-lain bisa kausebutkan. Sehingga disentil saja semaput, marah besar, merasa direndahkanSehingga kritik dianggap serangan.
Muhammad diakbarkan oleh Allah dan tidak mengakbar-akbarkan diri. Kalau ada yang membesar-besarkan dirinya hanya karena satu dan lain faktor dan gampang kegeeran merasa direndahkan, kemuhammadan dirinya patut dipertanyakan.
Karena Islam adalah Muhammmad dan Muhammad seorang yang rendah hati.
Wallahu A’lam.