Ketika diajak Reuni 212, PP Muhammadiah dengan santainya menyatakan “Maaf, saya sibuk”. Simpel, padat, unik. Jujur saya sangat mantep dan tertawa terpingkal-pingkal saat membaca pernyataan tersebut. Pernyataan ini kiranya perlu saya copy paste dalam kondisi ketika KH. Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) mendapat cercaan dan bullyan dari kelompok-kelompok yang–mungkin–merasa dirinya paling islami.
Bagi saya, kejadian ini sebetulnya hal yang tak begitu penting diurus berlebihan, apalagi sampai membabibuta. Biasa saja. Tak perlu baper. Mengapa? Ya memang sangat biasa saja. Diakui atau tidak, inilah wajah politik kita. Sebab bagi Gus Dur, politik itu sekedar mainan. Namanya juga mainan. Tak perlu disikapi secara serius. Tak perlu kaget.
Yang perlu disorot dan paling luar biasa justru bagaimana sikap Gus Muwafiq, di saat kondisi politik dikerumini yang namanya ujaran kebencian, saling adu simbol antara satu dan yang lain, pun para dai-dai yang lazim enggan meminta maaf saat meresahkan publik, sosok Gus Muwafiq justru menyatakan kerendahhatian dengan tampil meminta maaf kepada publik. Inilah sebuah sikap kesatria. Jelas sikap begini ini yang mulai langka di kalangan para dai-dai kekinian.
Lebih menariknya, Video permohonan maaf Gus Muwafiq dilakukan secara pribadi dengan pola selfi. Keren, bukan? Dari raut mukanya, bisa jadi beliau baru bangun tidur, pun saya haqqul yakin beliau belum ngopi, barangkali. Tapi yang jelas, Gus Muwafiq telah mengajarkan kita semua bahwa mengakui keterbatasan sebagai manusia biasa dan mengutamakan stabilitas publik adalah sejatinya esensi dari kemanusiaan itu sendiri–Mahallul khoto wan nisyan. Buktinya saat merekam pernyataannya, beliau enjoy-enjoy saja.
Kenapa kita ikut-ikutan heboh? Sekali lagi, inilah wajah politik kita. Sikap Gus Muwafiq sudah sangat solutif.
Jadi begini, di panggung depan, Politik selalu dikemakan seserius mungkin untuk mendapatkan citra. Urusan bantai membantai soal biasa. Sebagai masyarakat, menahan diri dan bersikap cuek adalah solusi. Bahwa lawan politik tentu menyerang adalah hal yang lumrah dan wajar. Jika wajar, biasa saja lah. Lawan saja dengan santai, tenang dan penuh kegembiraan.
Era Distruption telah mengajarkan kita bahwa kebenaran belaka persepsi. Siapapun berhak menyatakan benar atas dasar persepsinya. Implikasinya, seolah semuanya benar. Benar semakin sulit dibedakan. Jelas membingungkan. Tapi sekali lagi, biasalah. Inilah politik. Kemasannya saja yang bombastis, padahal isinya biasa saja.
Baca juga: Pola Hatespin yang Menimpa Gus Muwafiq
Politik yang mestinya menjadi proses mempertemukan berbagai pikiran, menjadi resolusi untuk menemukan reformulasi. Namun dalam praktiknya, justru berwajah menjadi siapa yang memanfaatkan siapa dan siapa yang dimanfaatkan siapa. Maka bagi Henri Adam, politik tak lebih dari sekadar pengorganisasian kebencian secara sistematis. Sekadar cara untuk mendapatkan kekuasaan duniawi. Dibikinlah ilusi untuk bagaimana saling membenci antara satu dengan yang lain dengan kemasan agama.
Namun tak sekadar di situ, politik tak belaka kekuasaan, politik juga soal prilaku manusia. Apa yang dilakukan oleh orang perorang. Maka memahami politik dengan memperluas paradigma dalam mengenali manusia dan prilakunya adalah sikap yang jauh lebih penting. Implikasinya, akan melahirkan sudut pandang yang kaya dengan balutan kebijaksanaan yang mengademkan sekitar (publik).
Lalu bagaimana semestinya kita? Sebagai masyarakat muslim-Indonesia yang sama-sama mencintai bagsa ini, kuncinya sederhana, tanggung jawab sebagai penjaga agama (islam) dan Negara (Indonesia) harus tetap beritme dalam satu tarikan nafas. Memantapkan diri untuk tidak terpancing dan ikut terlibat secara membabibuta adalah titik tekan utama. Maka biasalah.
Permohonan Gus Muwafiq sudah cukup merespon secara seksi kondisi politik kita hari ini. Hadapilah tiap realitas dengan keriang-gembiraan. Sebagaimana masyhurnya seorang Gus Dur yang sering santai menyatakan–“Gitu aja kok repot.” Jelas ringan tak berbeban, bukan?