Terkait Kasus Gus Muwafiq, Sampai Kapan Kita Saling Lapor Polisi dan Saling Ejek?

Terkait Kasus Gus Muwafiq, Sampai Kapan Kita Saling Lapor Polisi dan Saling Ejek?

Terkait Kasus Gus Muwafiq, Sampai Kapan Kita Saling Lapor Polisi dan Saling Ejek?

Dalam beberapa hari terakhir, kita disuguhi ragam pernyataan dan komentar terkait satu kata “rembes”. Kata yang digunakan oleh Gus Muwafiq untuk menggambarkan kondisi Kanjeng Nabi Muhammad SAW waktu kecil. Pilihan diksi itu memantik kontroversi. Sebagian pihak menilai kata tersebut termasuk penghinaan kepada Nabi. Bahkan, ada sebagian yang telah melaporkan ke Bareskrim Mabes Polri Jakarta Selatan. Di laman-laman media sosial, juga ramai diunggah kecaman dan cercaan. Meskipun Gus Muwafiq telah mengunggah video singkat permohonan maaf, namun sebagian saudara kita belum berhenti membuat meme, video singkat, dan pernyataan yang berisi kecaman terhadap ceramah Gus Muwafiq di Purwodadi Jawa Tengah itu.

Pun demikian, di satu sisi, jamaah dan pengagum Gus Muwafiq tidak terima. Berbagai upaya pembelaan dilakukan. Baik melalui pernyataan, meme, gambar, atapun video singkat. Tak pelak, dalam waktu singkat, beranda media sosial dipenuhi perang pernyataan. Tentunya sah-sah saja menyampaikan pendapat dan pernyataan di akun media sosial. Hanya saja, tidak sedikit, kita mendapati ujaran-ujaran kebencian. Baik dari pihak yang mengecam ataupun pihak yang membela. Saling ejek, bully,umpat, dan sumpah serapah seakan mudah dipertukarkan.

Di titik inilah patut menjadi perhatian bersama. Akankah saling ejek dan umpat menjadi kebiasaan kita bersama. Sebagai orang tua, terkadang kita tidak rela jika terjadi saling ejek, umpat dan praktik bully di sekolah anak-anak kita. Hanya saja, tanpa kita sadari, saling ejek dan bully ternyata juga menjangkiti perilaku kita sebagai orang dewasa ataupun sebagai orang tua. Bahkan hal ini lebih sadis dan kasar lagi di media sosial.

Jika hal ini tidak segera kita sadari bersama, tentu akan menjadi batu sandungan bersama. Ikatan sosial antar sesama anak bangsa akan tersandera. Perbedaan afiliasi organisasi dan kelompok pengajian yang seharusnya menjadi wadah untuk saling silaturrahim, ujungnya menjadi ukuran untuk suka ataupun tidak suka kepada ustadz atau dai lain.

Padahal, secara sadar atau tidak, kebiasaan saling ejek dan umpat ini sebenarnya sudah banyak kita rasakan dampak negatifnya. Sebagai misal, perbedaan pilihan politik, lantas memudahkan kita untuk tidak bertegur sapa. Perbedaan ras dan golongan memudahkan kita untuk saling curiga. Perbedaan pemahaman agama mendorong kita untuk saling menyalahkan. Mulai dari saling membid’ahkan hingga saling mengafirkan. Jika hal ini kita teruskan, tentu tidak baik untuk masa depan berbangsa dan bernegara Indonesia.

 Larangan saling merendahkan

Pada prinsipnya, Islam melarang umatnya untuk saling menghina dan merendahkan. Baik antar sesama muslim ataupun dengan penganut agama lain. Dalam hubungan sesama muslim, saling mencaci ataupun merendahkan adalah perbuatan terlarang. Apalagi saling mengafirkan antar sesama muslim. Dalam hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa barang siapa mengafirkan saudaranya, maka salah satu di antara dua orang itu pasti telah kafir. Jika tuduhan seseorang tidak benar, maka ia sendirilah yang kafir.

Dalam penjabarannya, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (852 H) dalam kitab Fath al-Barimenyatakan bahwa hadis di atas oleh sebagian ulama dipahami sebagai bentuk larangan keras terhadap ujaran saling mengafirkan antar sesama muslim. Perbedaan tidak lantas harus saling mengejek ataupun mengafirkan. Tetapi untuk saling bermusyawarah dan saling menasihati.

Demikian halnya, Rasulullah saw pernah bersabda bahwa derajat seseorang bisa dilihat dari kebiasaannya. Kerendahan diri seseorang adalah ketika ia mudah merendahkan derajat orang lain. Sebaliknya, seseorang akan dinilai tinggi derajatnya jika menghormati sesama. Menghargai pendapat dan keberadaan orang lain. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan Ibni Majahkarya Imam Ibnu Majah (207-275 H) yang bersumber dari sahabat Abi Hurairah.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ حَسْبَ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ

Artinya:

Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Cukuplah keburukan seseorang jika ia menghina saudaranya sesama muslim.”(H.R. Ibnu Majah)

Karena itu, penting kiranya kita sadari bersama bahwa mengejek dan menghina adalah kebiasaan yang mesti kita hindari. Perbedaan pilihan politik, agama, ras, suku, ataupun idola ustadz jangan sampai menjadi penyebab untuk saling mengejek. Saling merendahkan dan apalagi mencari kesalahan-kesalahan pihak lain. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Keragaman Indonesia harus menjadi pangkal untuk saling erat bergandeng tangan. Bertukar ide dan gagasan untuk membangun kemajuan bangsa. Jika terdapat silang pendapat, maka harus diselesaikan dengan jalan yang bermartabat.

Jika terdapat kesalahan dan kekhilafan sesama saudara muslim, Islam mengajarkan umatnya untuk saling menasihati dan mengingatkan. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa nasihat ini harus disampaikan dengan cara yang baik dan beradab. Jangankan antar sesama muslim, nasihat dan dakwah kepana non muslim pun harus disampaikan dengan cara yang baik.

Allah ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”(Q.S. al-Nahl: 125)

Sekali lagi, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mengajak kepada kebenaran, tetapi dengan cara terbaik. Saling menasihati dan berwasiat dalam kebaikan adalah sebuah keniscayaan. Hanya saja, harus dengan jalan yang penuh adab dan sopan santun. Bukan dengan cara saling merasa benar, kemudian saling ejek dan menyudutkan.

Terkait dengan ramainya saling ejek di media sosial menyikapi ceramah Gus Muwafiq di atas, baik kiranya kita jadikan pelajaran. Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan mudahnya akses teknologi dan jejaring internet, kita secara tak sadar hampir menganggap wajar saling ejek dan mengumpat di media sosial. Baik karena perbedaan pilihan politik ataupun praktik beragama. Padahal, hal ini jauh dari ajaran agama. Sebaliknya, Islam memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menghargai. Saling mencintai dan mengasihi.

Saling hormat menghormati

Dengan sangat indahnya, Nabi Muhammad saw mengibaratkan umatnya laksana satu jasad. Jika ada salah satu bagian yang mengalami sakit, maka seluruh badan ikut merasakannya. Hal ini sebagaimana hadis shahih riwayat Imam Muslim (204-261 H) dalam kitab Shahih Muslim:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِىْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْسَهَرِ وَالْحُمَّى

Artinya:

Diriwayatkan dari al-Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang mukmin di dalam saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi itu ibarat satu jasad. Ketika ada satu bagian yang merasa sakit, maka sekujur tubuh yang lainnya juga ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur.”(H.R. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa saling hormat menghormati antar sesama muslim adalah sebuah keniscayaan. Antar sesama muslim harus saling mencintai dan mengasihi. Ibarat satu jasad yang saling menopang. Di balik perbedaan bentuk dan fungsinya, setiap bagian tubuh sangatlah berguna bagi bagian yang lain. Demikian pula sesama saudara muslim, kita harus mengejawantahkan nilai-nilai saling penghormatan ini. Meskipun tidak dapat dimungkiri bahwa kita berbeda ras, suku, budaya, ataupun pendapat.

Imam al-Nawawi (631-676 H) dalam kitab Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis di atas merupakan pijakan yang nyata bagi orang muslim untuk saling menjaga dan melindungi hak dan kewajiban sesama. Jika kita ingin dicintai orang lain, maka kita juga harus mencintai orang lain. Jika kita ingin dihargai dan dihormati orang lain, maka kita juga harus suka menghormati orang lain. Begitu pula jika kita tidak ingin diganggu dan direndahkan orang lain, maka kita jangan mudah mengganggu dan merendahkan orang lain.

Dari titik ini, dapat kita pertegas kembali bahwa saling ejek dan merendahkan adalah bukan ajaran Islam. Bahkan menjadi hal yang harus dijauhi. Sebaliknya, Islam memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menghargai. Mencintai dan mengasihi antar sesama. Maka, jika terdapat kesalahan dan kekeliruan sesama saudara muslim, harus kita ingatkan dan nasihati secara baik dan bijak. Bukan menjadi bahan untuk saling ejek dan ancam. Mari kita sudahi.

*Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di bulletin MMI