“Siapakah sesamaku manusia?” (baca Injil Lukas 10:29), pertanyaan ini diajukan oleh seorang ahli Taurat yang hendak mencobai Yesus ketika bertanya—“apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal”. Yesus kemudian menjawabnya dengan balik mengajukan pertanyaan, “apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?”.
Orang itu lantas menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri”.
Pasca Yesus, tersebutlah Nabi Muhammad bin Abdullah yang mengatakan hal senada, “salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Lihat Bukhari No. 13 dan Muslim No. 45)
***
Jika pertanyaan “siapakah sesamaku” diajukan dalam konteks hari ini di mana sebagian orang tengah keranjingan politik identitas, sebagian orang tersebut membawa konsep “sesama” ke dalam konteks khusus seperti sesama komunitasku, sesama gerejaku, sesama golonganku, sesama agamaku dan seterusnya. Sehingga, dari sini membawa seseorang lebih condong untuk memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan lingkaran sesama yang partikular.
Walhasil, seseorang akan gagap ketika berhadapan dengan sang liyan, gagap dengan sesuatu yang dianggap di luar dari sesama atau golongannya, sehingga enggan mengasihi atau bahkan berkorban untuk mereka yang dianggap liyan. Kemudian terbentanglah garis demarkasi antara saya dan dia, atau kita dan mereka. Pandangan ini yang membuat manusia akan terus terpecah dan membelah ke unit-unit terkecil yang menebalkan dan meninggikan batas-batas satu sama lainnya.
Batas-batas itulah yang coba dilampaui oleh Paus Fransiskus menuju Uni Emirat Arab (UEA) dua tahun lalu. Inisiasi yang dilakukan oleh Sang Bapa Suci menurut beberapa pengamat, mirip dengan inisiasi seorang tokoh besar Kristiani yang hidup ketika Perang Salib tengah berlangsung, yakni Santo Fransiskus dari Assisi, Italia yang menemui seorang pemimpin umat Islam di Mesir pada waktu itu, yaitu Sultan Malik al-Kamil. Pertemuan Paus Fransiskus dan Grand Sheikh Al Azhar pada waktu itu sekaligus memperingati tepat 800 tahun pertemuan Sang Santo dan Sang Sultan tersebut yang menjadi inspirasi kunjungan Paus Fransiskus sekaligus menandatangi Dokumen Persaudaraan atau yang dikenal dengan Dokumen Abu Dhabi ini.
Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together atau Dokumen Persaudaraan Umat Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama ini akhirnya resmi ditangatangani di Abu Dhabi saat berlangsungnya Konferensi Global tentang Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama di ibu kota Uni Emirat Arab (UEA), pada 4 Februari 2019 lalu.
Dokumen ini mencoba melampaui konsep sesama yang partikular tadi menuju konsep sesama yang universal. Berangkat dari dua tradisi agama, Islam dan Kristiani, Sheikh Ahmad al-Tayeb dan Paus Fransiskus. Deklarasi ini menjadi saksi keagungan iman kepada Allah yang mempersatukan hati yang terpecah dari identitas partikular dan mengangkat jiwa manusia yang universal. Melihat semuanya bagian dari semesta ciptaan-Nya yang indah dengan ragam puspa warna di dalamnya.
Dari transendensi iman kepada Allah, meski berbeda dari sudut eksoteriknya, namun satu dalam sudut esoteriknya. Iman kepada Allah ini sebagai pendorong persatuan semua bentuk partikular yang penuh ragam untuk melihat sosok Allah yang tunggal yang menciptakan semua manusia yang setara dalam hak, kewajiban dan martabatnya.
Sheikh Ahmad al-Tayeb dan Paus Fransiskus membuka dokumen ini dengan pernyataan atas nama Allah, Tuhan Yang Esa yang mencipta segala sesuatu dan mendorong manusia untuk melihat kehidupan manusia untuk memanusiakan manusia lainnya, melihat mereka yang miskin, yang melarat, terpinggirkan. Karena mereka yang paling membutuhkan yang Tuhan perintahkan untuk dibantu sebagai tugas yang dituntut kepada semua orang.
Dalam dokumen yang dituangkan ke dalam 12 poin ini, kerja-kerja kemanusiaan menjadi penyatu dari ragam agama serta kepercayaan untuk saling bekerja sama dalam memuliakan Tuhan untuk melihat anak yatim piatu, janda, pengungsi dan mereka yang harus diasingkan dari rumah dan negaranya, serta semua korban perang, korban penganiayaan, korban ketidakadilan dan mereka yang hidup dalam ketakutan yang disiksa di berbagai belahan dunia ini.
Kedua tokoh ulama besar ini membawa nama Tuhan, bukan untuk dibela mati-mati, namun justru membela mereka yang tertindas, mereka yang menjadi korban dari banyak sekali kejahatan kemanusiaan, serta mengatasnamakan persaudaraan yang universal. Kemudian membawa nilai-nilai transendental yang berdimensi esoterik untuk mendorong pertemuan serta dialog yang ditandai dengan suasana persahabatan dan persaudaraaan di mana semua manusia dapat berbagi suka, duka dan masalah kontemporer masa kini. Lalu menyelesaikan permasalahan tersebut bersama-sama. Memulai dialog aksi yang konstruktif.
Berkomitmen menyudahi pertiakaian yang bak lingkaran setan yang notabene bersifat desktrukitf menuju kepada dialog persaudaraan dan dialog kemanusiaan yang konstruktif. Bahu-membahu melihat semuanya sebagai saudara dan saudari yang sama memuliakan Sang Pencipta dengan memuliakan segala ragam ciptaan-Nya.
Pada akhir dokumen Abu Dhabi ini, panggilan atau seruan ditujukan kepada seluruh umat manusia di seluruh dunia untuk tidak hanya beriman tidak hanya kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, namun juga beriman kepada persaudaraan manusia untuk bersatu dan bekerja sama memajukan peradaban manusia serta menjadi pedoman bagi generasi mendatang untuk terus menggerakkan penghormatan atau penghargaan dalam kesadaran akan rahmat Ilahi yang agung. Hingga pada akhirnya, manusia di masa mendatang tidak lagi mengulangi pertanyaan— “siapakah sesamaku?”. Wallahu ‘alam