Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan cocokologi Al-Quran yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya sebagai seorang ustadz, sebut saja Sugik Nur. Ia mencomot nama orang kemudian dihitung hurufnya berdasarkan urutan abjad. Setelah itu, semua hitungan berdasarkan urutan abjad dari nama orang itu di cocokkan dengan urutan ayat yang ada dalam Al-Quran.
Padahal menerjemah dan menafsirkan bahasa yang berbeda tidak bisa sembarangan. Misal, ketika menerjemahkan kata Arab “wujud” ke dalam bahasa Indonesia, tentu kita harus tahu setidaknya dua hal: makna denotatif dan konotatif dari bahasa asli, dan padanan dalam bahasa terjemahan yang tepat dan mewakili makna dari bahasa asalnya.
Tetapi jika kata itu sumbernya dari kalam Ilahi, atau setidaknya dari perkataan orang yang dikaruniai anugerah wahyu (nabi dan rasul), atau anugerah ilham rabbani (wali Allah) yang hidup pada zaman tertentu, maka kita butuh paling tidak dua pemahaman lagi: konteks sosial-budaya dan konteks ruhani dari kata itu.
Sekarang, kalau syarat itu begitu sulit, apakah lantas kita tak boleh menerjemahkan? Tentu absurd jika ayat Al-Quran tak diterjemahkan, karena akan banyak sekali orang yang akan kesusahan dalam memahaminya. Karenanya, ulama yang benar dan menguasai semua ilmu alat dan kapasitas akhlak yang dibutuhkan, tidak perlu ragu untuk menyebarkan pemahamannya dan mengajarkan kepada orang yang mau belajar.
Yang perlu disadari adalah bahwa pemahaman atas suatu ayat tidak akan selalu sama dan sebangun dengan pemahaman yang dimaksudkan oleh Zat Yang Menfirmankannya. Karenanya, menerjemahkan dan menafsirkan ayat pada hakikatnya adalah sebentuk interpretasi atas teks asli. Ini lantas membuka ruang untuk perbedaan, dan perbedaan itu akan menjadi rahmat selama syarat-syarat untuk menerjemahkan dan menafsirkan ayat itu terpenuhi.
Ulama yang saleh tentu mengetahui bahwa setidaknya ada belasan ilmu alat yang harus dikuasai untuk mempelajari dan menafsirkan Al-Quran dan hadis. Karena alasan ini, tidak semua orang boleh berijtihad terutama dalam masalah hukum atau fikih.
Di kalangan umat kita bisa bagi menjadi dua kategori: pertama, ada yang mendapat informasi dari orang yang lebih ahli dan beramal berdasarkan informasi ahli tersebut; kedua, ada yang memperoleh informasi sekaligus mewarisi ilmu, pemahaman, akhlak dan amaliah nabi. Yang kedua ini adalah para ulama yang layak disebut pewaris nabi. Jadi, saya, dan orang awam pada umumnya, termasuk kategori pertama, yang mendapat informasi agama, tetapi tidak punya cukup ilmu, pemahaman dan amaliah untuk menjadi mufasir atau fuqaha.
Lalu, siapa yang berhak menjadi pewaris nabi? Tentu keluarga nabi. Tetapi, sebagai umatnya, dengan perantara agama Islam yang kita anut, kita juga bisa menjadi keluarga nabi. Mungkin lebih tepatnya bukan keluarga secara biologis, tetapi secara rohani. Oleh karenanya, bisa disebut “pewaris”, sebab wilayah rohani tidak mengenal sekat ruang dan waktu.
Lalu, bagaimana bisa menjadi “keluarga rohani” nabi? Ada banyak cara, tetapi pertama-tama tentu harus mencintai Rasulullah, kemudian mengikuti jejaknya, sampai ke tingkatan di mana kesadaran kita mampu menangkap sebagian cahaya murni Kanjeng Rasul Saw (Nur Muhammad). Oleh karenanya, kita harus mampu memasuki “cetak biru” risalah kenabian. Inilah peran dari silsilah ilmu dan kerohanian (sanad keilmuan dan, terutama dalam bidang tasawuf, sanad tarekat).
Cetak biru itu dijaga melalui transmisi rohani yang sahih dari satu generasi ke generasi. Jika silsilah tak sambung sampai ke Rasul, maka ia putus dan tertolak, dan tak bisa diikuti. Jadi dalam ilmu agama, dari ilmu syariat sampai tariqah, orang harus belajar dari guru yang berada dalam jalur silsilah yang jelas dan sah.
Karena ilmu Allah tiada batasnya, maka setiap silsilah merupakan fragmen yang membatasi, dan karenanya orang yang berada dalam satu jalur keilmuan (silsilah sanad) belum tentu memiliki kedalaman ilmu yang sama persis dengan orang lain yang berada dalam jalur keilmuan lain.
Pengakuan akan keterbatasan pengetahuan, walau sebenarnya memiliki pengetahuan yang mumpuni, adalah cerminan sikap tawadhu (rendah diri) dan rasa hormat pada otoritas keilmuan. Hal semacam ini semakin langka di zaman sekarang.
Jadi secara commonsense, mana yang lebih bisa dipercaya? Penafsiran ulama yang belajar dari, dan menghormati, ulama terdahulu dengan sanad keilmuan yang terjaga, ataukah penafsiran orang yang bahkan tidak paham ilmu alat, hingga lancang melakukan penafsiran sesuai nafsunya dengan melakukan “togelisasi ayat” seperti orang yang tak faham ilmu agama tapi mendaku sebagai ustadz seperti Sugik Nur?