Sudah sering kita dengar, agama digunakan sebagai komoditas politik. Di Pilkada DKI Jakarta misalnya, agama digunakan secara massif untuk mempengaruhi pilihan warga terhadap calon tertentu. “Muslim pilih pemimpin muslim”, “Jangan pilih penista agama”, “Jangan shalati jenazah pendukung penista agama”, dan lain sebagainya.
Sebenarnya hal ini bukan gejala baru. Jauh sebelumnya, saat Orde Lama maupun Orde Baru, jualan agama telah terjadi. Contoh yang paling mudah adalah kampanye PPP saat Pemilu tahun ’70-an yang menyitir banyak ayat Al-Quran. Salah satu yang paling populer adalah Surat Al-Baqarah, 35:
“Dan janganlah kamu dekati pohon ini agar kamu tidak tergolong orang-orang yang dhalim”.(Q.S. Al-Baqarah: 35)
Kata “pohon” yang dalam makna sesungguhnya adalah “pohon khuldi” dipelesetkan oleh para juru kampanye PPP dengan “pohon beringin” alias Golkar. Sehingga terjemahannya menjadi,”Dan janganlah kamu dekati Golkar agar kamu tidak tergolong orang-orang yang dhalim”.
PDI pun tak lepas dari serangan ayat para jurkam PPP. Kali ini mereka mengutip Surat Al Baqarah; 67:
“Dan ketika Musa berkata kepada kaumnya: sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menyembelih sapi”. (Q.S.Al-Baqarah; 67)
Kata “sapi” di sini disalin menjadi “banteng” yang tak lain adalah lambang PDI. Maka terjemahannya menjadi, “…sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menyembelih PDI”, alias tak memilih partai jelmaan PNI itu.
Tentu saja sebagian umat Islam karena keterbatasan mereka dalam pengetahuan agama mempercayai “tafsir nakal” dari para jurkam itu. Apalagi yang menyampaikan adalah jurkam top yang biasanya berpredikat sebagai ulama kondang.
Apakah pihak yang diserang dengan ayat lalu diam saja? Tentu saja tidak. Golkar yang juga mampu menggait beberapa jurkam dari kalangan da’i muslim pun melancarkan balasan. Mereka berulang-ulang mengutip Q.S. An-Nisa’ ayat 59:
“Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah pada rasul, dan ulil amri di antara kalian.”
Kata “ulil amri” kemudian ditafsirkan sebagai pemerintah yang tak lain adalah Golkar. Maklum kala itu sulit membedakan antara pemerintah dengan Golongan Karya. Kata anak muda sekarang: mereka sebelas dua belas.
Tapi benarkah politisasi agama hanya dilakukan oleh politisi atau jurkam Islam? Tak diragukan lagi, contoh-contoh di atas adalah salah satu praktek politisasi agama, atau jualan agama untuk kepentingan politik. Tapi benarkah kelompok lain (baca: kaum nasionalis) steril dari praktek tersebut?
Bahwa kelompok nasionalis adalah kaum beragama itu sudah menjadi pengetahuan umum. Namun benarkah mereka (terutama para elitnya) benar-benar loyal/taat menjalankan ajaran agama (baik Islam, Kristen, Katholik atau yang lainnya) seperti mereka tampakkan di hadapan publik?
Di TV, koran, majalah, medsos kita sering melihat tokoh politik dari partai non agama shalat berjamaah (bahkan menjadi imam), menghadiri pengajian, menggandeng ulama, mencium tangan kiai, dan seterusnya. Benarkah itu mewakili realitas keseharian mereka? Atau hanya tampilan di muka publik saja?
Jika yang ditampilkan itu memang mewakili keseharian hidup mereka, maka itu tak bisa disebut politisasi agama. Namun, jika semua itu hanya citra di depan kamera yang berbeda 180 derajat dengan dengan kehidupan nyata mereka, bukankah itu sama juga dengan praktek politisasi agama?
Di depan kamera mereka menunaikan shalat tapi di keseharian meninggalkannya. Di muka publik mereka mencium tangan kiai, tapi di kehidupan nyata mereka lebih mempercayai nasehat dukun. Di depan khalayak mereka mengikrarkan kesetiaan kepada ajaran-ajaran Islam Rahmatan lil alamin, tapi dalam kebijakan, mereka sepele dengan kelestarian lembaga pendidikan agama seperti pesantren dan majelis-majelis taklim.
Mereka tampil alim dan shaleh demi meraup simpati dari pemilih muslim, bukan berangkat dari dorongan murni hati mereka.
Jika para jurkam Islam ‘zaman old’ mempolitisasi ayat suci untuk kepentingan agama, maka bukankah tokoh nasionalis di atas juga beragama untuk motif politik? Jangan-jangan saat tak punya kepentingan politik dia tak loyal kepada ajaran agama selayaknya yang dipertontonkan di depan kamera.
Jadi siapakah sebenarnya penjual agama?
Wallahu A’lam.