Film Si Doel the Movie ini representasi masyarakat yang terpinggirkan dan akan tayang serentak di sejumlah bioskop Indonesia awal Agustus 2018. Film yang berasal dan kelanjutan dari tayangan sinetron Si Doel Anak Sekolahan awal tahun 1990-an ini merupakan legenda, tidak hanya bagi orang-orang yang terlibat dalam sinetron tersebut, melainkan juga orang yang menontonnya. Selain kekuatan karakter para pemainnya, aksi perannya juga natural, menjadi semacam anti tesis di tengah tumbuhnya sinetron-sinetron Indonesia yang kejar tayang.
Bagi para artis dan aktor yang terlibat, Si Doel tidak hanya sebuah karya melainkan juga bagian dari keluarga. Pengembangan cerita dalam sinetron tersebut seiring dengan kondisi yang terjadi dengan para pemainnya. Hal ini tercermin dengan saat meninggalnya Ayah Si Doel, babeh Sabeni. Hal itu diceritakan ulang dalam adegan sinetron tersebut di mana para keluarga merasa kehilangan dengan babeh yang meninggal karena kecelakaan oplet yang dikendarainya tertabrak truk. Dalam kenyataan, Benyamin Suaeb meninggal karena kecapean bermain sepakbola yang mengakibatkan serangan jantung pada 5 September 1995.
Dua kekuatan ini juga diimbangi dengan cerita yang merepresentasikan mengenai kondisi orang Betawi; tertinggal, suka jual kontrakan dan tanah, serta terpinggirkan. Si Doel Anak Sekolahan kemudian hadir sebagai upaya untuk melakukan advokasi terhadap orang betawi tersebut. Narasi cerita tersebut tidak hanya filmis melainkan menjadi semacam pengalaman visual bagi saya. Bagi saya, Si Doel merupakan pertautan antara perjalanan hidup, ketidakberterimaan sekaligus advokasi melalui studi-studi ilmu sosial yang saya terlibat dan menjadi bagian di dalamnya.
Terlahir sebagai orang Betawi dan hidup di pinggiran Timur Jakarta, saya merasakan denyut dan dinamika perubahan tanah kelahiran saya, sekaligus, sebagaimana diceritakan oleh Si Doel juga, imajinasi mengenai pendidikan tinggi sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, merupakan faktor utama yang kerap diabaikan oleh orang-orang Betawi. Di sisi lain, penghidupan semakin mahal, pola konsumsi makanan yang berlemak-santan tidak berubah dan diwariskan turun-menurun. Akibatnya, saat terjatuh sakit dan memerlukan biaya pengobatan rumah sakit, satu persatu kontrakan dan tanah warisan yang dimilikinya pun harus dijual.
Meskipun tumbuh dan besar di Jakarta, anak-anak orang Betawi ini tidak disiapkan mencecap bangku pendidikan lebih tinggi. Proses regenerasi yang tidak disiapkan berakibat pada terpaksa dijualnya tanah-tanah mereka untuk menghidupi diri dan keluarga yang berimbas pada proses kemiskinan untuk generasi selanjutnya.
Dalam konteks suku asli (indigenous people), orang betawi tidak pernah masuk dalam pembahasan ataupun diskursus akademik sebagai kelompok minoritas-adat karena letak geografisnya yang berada di jantung ibukota. Akibatnya, ia tidak memiliki semacam keistimewaan apapun kecuali identitasnya yang bisa dijual menjelang politik elektoral datang. Padahal, proses peminggiran atas etnik ini sebenarnya memiliki pola-pola yang sama, meskipun memiliki konsesi yang berbedda.
Atas nama pembangunan, mereka harus menyingkir dari tanah kelahiran mereka sejak rejim Orde Baru berkuasa. Penyingkiran yang membuat mereka berpindah hidup di luar Jakarta. Obor kekeluargaan yang dibangunnya sebagai bagian dari satu keluarga pun berangsur mati dan kehilangan api kehidupan.
Sejumlah pengalaman itulah yang membuat saya bersikeras tidak hanya harus sekolah tinggi, melainkan juga berkewajiban untuk bersuara dengan menuliskan semacam pengalaman dan pergulatan individu dalam keluarga besar saya ke panggung akademik lebih luas. Pergulatan itulah yang melahirkan dua artikel jurnal mengenai orang Betawi dan tanah kelahirannya, yaitu Stereotif Orang Betawi dalam Sinetron (Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366) dan Orang Betawi Sebagai Kelas Pekerja? Autoetnografi Transformasi Pemuda Betawi (Jurnal Analisis Sosial, Vol.1-2, Edisi khusus, Akatiga, 2016, hal. 216-229).
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur perbesaran jalan dan flyover juga berdampak tergusurnya tanah kelahiran saya di Timur Jakarta dengan tenggat waktu 3 tahun lagi, membuat saya semakin teguh bahwasanya proses advokasi dan keberpihakan pilihan untuk disuarakan.
Refleksi advokasi semacam ini sebenarnya terinspirasi dari artikel Gayatri Spivack yang terbit pada tahun 1988 mengenai kelompok-kelompok yang terpinggirkan dengan judul Can Subaltern Speak? Banyak dari akademisi, seniman, ataupun intelektual publik selalu berbicara atas nama mereka yang tertindas. Sementara mereka yang disuarakan sebenarnya tidak sepenuhnya terwakili. Apalagi, menurut Spivack, mereka tidak bisa berbicara mewakili diri mereka. Ketidakbisaan ini memiliki irisan yang panjang dengan akses pendidikan, ekonomi, dan politik oligarki dalam ekosistem mereka tumbuh dan hidup. Di sini, berbicara untuk mewakili diri sendiri sebagai komunitas yang tertindas menjadi sangat penting. Meskipun, sebagaimana dikatakan oleh Spivack subaltern tidak bisa berbicara untuk dirinya sendiri.
Berbeda dari cerita sinetron sebelumnya, Si Doel the Movie lebih bercerita mengenai pertautan cinta segitiga yang belum usai antara Si Doel, Sarah, dan Zainab, dengan menggunakan Belanda sebagai latarbelakang pengambilan gambar. Bagi saya, film ini merupakan titik balik kembali untuk melihat bahwa ada cara pandang yang salah mengenai betawi sekaligus kebetawian, di mana orang Jakarta kerapkali membicarakan mereka karena keributannya, tapi tidak pernah berpikir bagaimana pengalaman keterpinggirannya.
Di sisi lain, bagi orang betawi, identitas kebetawian kemudian menjadi dipenting-pentingkan yang kemudian terekpresikan dari organisasi-organisasi betawi yang muncul pasca rejim Orde Baru. Identitas yang dianggap “asli” ini menjadi modal satu-satunya di tengah semakin tergerusnya sumber utama mereka sebagai orang betawi di tengah arus modernisasi sekaligus pembangunan infrastruktur yang justru menjadi alat yang secara tidak langsung menyingkirkan mereka.