Tradisi membaca shalawat sudah sangat akrab ditengah masyarakat kita, biasanya tradisi ini dilakukan ketika memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW, saat menyambut tujuh bulan kelahiran anak, sampai aqiqah. Bahkan hampir satu dekade ini tradisi ini sudah semakin semarak diadakan di ruang publik yang masif diikuti oleh banyak orang. Padahal dulunya tradisi ini hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dari masyarakat di pedesaan.
Hal ini jelas dipengaruhi oleh maraknya gelombang arus keagamaan baru yang dibawa oleh para habib keturunan nabi Muhammad SAW dari Hadramaut ataupun Yaman yang memperkenalkan bentuk tradisi baru melalui pembacaan shalawat. Tidak asing ditelinga kita nama Habib Syeh bin Abdul Qadir Assegaf dari Solo dengan Jamaah Ahbabul Musthofanya, kemudian juga kita menggenal Habib Munzir dengan Majelis Rasullah di Jakarta dan banyak lagi yang lainya.
Dalam hal ini bukan berarti corak bershalawat baru yang diperkenalkan oleh para keturunan nabi ini buruk, namun dalam konteks masyarakat Nusantara, ada yang terlewat dari pandangan kita, bahwa ada banyak tradisi shalawat yang juga mempengaruhi corak keagaman kita selama ini.
Salah satu tradisi shalawat yang sampai sekarang masih ada dan dipraktekkan oleh masyarakat salah satunya adalah tradisi Shalawat Emprak yang berada di daerah Piyungan Yogyakarta, tepatnya di Pesantren Budaya Kaliopak. Shalawat Emprak sendiri yaitu paduan antara seni, vokal sastra, musik, dan tari untuk menggambarkan sosok Nabi Muhammad dan perjuangannya, kemudian ajaran etik agama Islam dan nilai-nilai oral masyarakat Jawa juga berada di dalamnya. Seni ini merupakan perkembangan dari tradisi lisan yang diturunkan secara turun temurun.
Secara bentuk Shalawat Emprak hampir mirip dengan pagelaran wayang kulit, dimana ada dalang yang bertugas membaca rawen (rawi/riwayat) alur cerita, kemudian ada penabuh gamelan yang meliputi gong, kempul, dan kendang sebagai pakem. Kemudian juga ada penari di depan yang mempragakan gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan naskah yang dinyanyikan. Menariknya kesenian ini dipentaskan oleh hampir semua laki-laki dewasa, bahkan lanjut usia.
Menurut pemaparan Mbah Hadi sesepuh Shalawat Emprak di Piyungan, Shalawat Emprak zaman dulu sering dipentaskan semalam suntuk untuk memperingati hari-hari penting bagi masyarakat Jawa. Sementara itu menurut dugaan Kiai Jadul Maula pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, tradisi ini sebenarnya sudah ada semenjak zaman Kesultanan Demak dan berkembang sampai zaman Sultan Agung dan masih dapat dilihat bentuknya sampai hari ini. Seperti yang tertera di kitab Telodho pembuat dari naskah ini diinisiasi oleh Gusti Yudhonegoro dari kraton Yogyakarta.
Lebih jauh lagi, sebenarnya tradisi shalawat Jawi ini menyebar hampir di DIY dan Jawa Tengah. Kita bisa lihat seperti di daerah Imogiri ada Montro, kemudian di daerah Kulonprogo ada Janen dan banyak lagi yang lainya yang namanya berbeda namun bentuk dan nilainya sama. Walaupun setiap daerah tentunya mempunyai karakteristiknya masing-masing.
Terlepas dari itu semua, yang menarik dan membedakan Shalawat Emprak dengan bentuk shalawat Jawi yang ada di daerah lainya adalah adanya tarian yang memperlengkap sisi pertunjukan dari Shalawat Emprak itu sendiri. Menurut pelaku penari dari Shalawat Emprak, Yono menyatakan bahwa adanya tari dari kesenian ini sebenarnya bentuk kreativitas dari almarhum Mbah Mitro, salah satu seniman wayang orang di kampung Klenggotan, Piyungan, yang memasukan unsur tarian ke dalam Shalawat Emprak. Adanya tari ini secara pertunjukan memperindah pementasan Shalawat Emprak yang berangsur-ansur eksis kembali.
Selain itu originalitas teks asli juga menjadi daya tarik sendiri dari Shalawat Emprak, karna seperti bentuk shalawat Jawi yang lainya, rata-rata sudah tidak menggunakan teks asli bahkan gubahan. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh tidak adanya proses transliterasi, karna hanya menggandalkan ingatan dalam tradisi lisan. Sedangkan Shalawat Emprak masih menggunakan naskah asli sehingga masih dapat kita pahami makna yang terkandung di dalamnya.
Walaupun begitu seni tradisi Shalawat Emprak yang ada di Pesantren Kaliopak ini sendiri, juga pernah mengalami fase kritis beberapa dekade sebelumnya. Akibat regenerasi yang tidak berjalan dan pengaruh polemik politik 65, yang membuat para penggiat seni tradisi ini menepi, tidak berani mementaskan dan berangsur hilang.
Namun atas inisiatif Kiai Jadul Maula dan beberapa penggiat sepuh yang masih tersisa seperti Mbah Hadi, almarhum Mbah Mitro, dan Mbah Kadi, Shalawat Emprak mulai diajarkan kembali kepada generasi lebih muda. Hal ini dimulai kira-kira sejak tahun 2011. Apa yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Kaliopak akhirnya menuai hasil, berkat konsistensi dan dedikasi dari semua penggiatnya tradisi leluhur ini bisa terus lestari bahkan makin berkembang. Ketika pada masa awal hanya sekitar masyarakat dekat pondok, hari ini sudah merambah satu kecamatan Piyungan bahkan sampai ke kecamatan Dlingo dan kecamatan lainnya di kabupaten Bantul.
Bahkan dalam beberapa kesempatan Shalawat Emprak sudah bisa tampil sejajar dengan Shalawat yang sedang ngetren seperti yang kita ulas sedikit di atas tadi, ketika pentas berbarengan dengan rombongan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf di Kota Yogyakarta. Hal itu menunjukan bahwa Shalawat Emprak sudah dapat di terima kembali di tengah masyarakat.
Bahkan tidak hanya itu Shalawat Emprak beberapa kali berkolaborasi dengan seni musik modern seperti okestra saat di pentaskan di Muktamar NU di Jombang Tahun 2015. Hal itu dilakukan agar eksistensi Shalawat Emprak dapat menarik perhatian generasi muda hari ini.
Makna Dan Ajaran Shalawat Emprak
Setelah di atas kita panjang lebar membahas perkembangan bentuk dan awal munculnya, kiranya juga penting kita membahas sedikit makna yang terkandung dalam Shalawat Emprak ini. Karena bagaimanapun tradisi Shalawat Emprak ini diakui atau tidak, merupakan bagian penting dari ekspresi keberislaman masyarakat Jawa terlebih kecintaanya pada Nabi Muhammad.
Dalam hal ini keberadaan tradisi Shalawat Emprak tidak lagi menjadi aktivitas keberagamaan saja, namun juga bertransformasi menjadi sebuah tontonan, tatanan, dan tuntunan yang dikemas secara menarik dan estetik. Tontonan sebagai media hiburan bagi masyarakat, tatanan sebagai pembelajaran akan adanya aturan-aturan yang sudah ditetapkan, dan tuntunan Shalawat Emprak mengajak penonton untuk selalu berintropeksi diri, berserah pada Allah dan memupuk cinta kasih pada Nabi Muhammad SAW.
Dari sanalah sebenarnya dapat kita lihat bagaimana agama Islam menjadi rahmatalilalamin bagi setiap manusia. Ketika ajaran/nilai-nilai agama tidak menggerus tatanan tradisi yang sudah ada, namun menguatkan dan memberikan spirit bahkan men-create tradisi yang mampu menjawab tantangan zaman, namun tetap tidak meninggalkan identitas tradisi yang sudah ada.
Hal inilah sebenarnya yang ada dalam tradisi Shalawat Emprak ini, dengan semangat lokalitasnya dari bentuk dan ajaran yang disampaikan dengan bahasa Jawa, ingin membangun pemahaman luas atas ajaran yang universal yaitu ajaran cinta kasih dari Nabi Muhammad SAW.
Dari hal itu juga akhirnya berkembangnya model bentuk seni shalawat yang ada hari ini, tidak lantas menggerus bahkan menyingkirkan bentuk shalawat yang lahir dari identitas bangsa kita sendiri. Sebab bagaimanapaun juga, sebagai bangsa yang besar sudah selayaknya menjaga dan mengembangkan tradisi dari leluhur menjadi tugas kita bersama bukan.