Shalat Idul Fitri di Rumah, Apakah Masih Disunnahkan Khutbah Idul Fitri?

Shalat Idul Fitri di Rumah, Apakah Masih Disunnahkan Khutbah Idul Fitri?

Apa saja persyaratan untuk mengadakan khutbah Idul Fitri di rumah?

Shalat Idul Fitri di Rumah, Apakah Masih Disunnahkan Khutbah Idul Fitri?

Bagaimanapun juga, melaksanakan shalat idul fitri hukumnya adalah sunnah muakkadah yang sunnah dilakukan di masjid, tanah lapang, atau tempat-tempat tertentu. Bahkan, pelaksanaannya dibolehkan melakukan secara mandiri di rumah bersama anggota keluarga, atau bahkan shalat sendirian. Karena mempertimbangkan syi’ar, Imam al-Ishthahari menyatakan hukumnya sebagai fardlu kifayah. Maksudnya, dalam satu desa, harus ada yang menunaikannya. Jika tidak, maka berdosa semuanya.

Namun, dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mana shalat Id dianjurkan untuk dilakukan secara mandiri di rumah dengan jumlah jamaah skala kecil, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai syarat ketentuan mendirikan khutbah. Untuk itulah maka perlu dihadirkan tulisan ini guna memerinci mengenai syarat pendirian khutbah ‘id menurut ulama empat madzhab.

Madzhab Hanafi

Menurut madzhab Hanafi, syarat ketentuan mendirikan khutbah shalat ‘id adalah minimal didengar oleh satu orang yang hadir di majelis shalat ‘id dan memenuhi kriteria ahli jum’at.

يشترط لصحة الخطبة أن يحضر شخص واحد على الأقل لسماعها بشرط أن يكون ممن تنعقد بهم الجمعة

“Disyaratkan untuk sahnya khutbah, adalah hadirnya minimal satu orang jamaah yang mendengarkan khutbah, dengan syarat ketentuan, orang tersebut merupakan orang yang ahli jum’at.” (Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 322)

Adapun batas minimal pendirian shalat id, menurut ketetapan madzhab ini, adalah minimal terdiri dari 4 orang yang terdiri dari 3 ahli jum’ah dan 1 orang menjadi Imam. Al-Sarakhshi, salah seorang ulama otoritatif dari kalangan Hanafiyah, menyatakan:

يشترط لصلاة العيد ما يشترط لصلاة الجمعة، إلا الخطبة، فإنّها من شرائط الجمعة، وليست من شرائط العيد

“Disyaratkan untuk iqamah shalat Id hal yang berlaku atas shalat Jum’at, kecuali khutbah. Karena sesungguhnya khutbah itu hanya merupakan syarat shalat Jum’at, namun tidak berlaku untuk shalat ‘id.” (Al-Mabsuth, Juz 3, halaman 37).

Adapun pihak yang bukan ahli jum’at, maka dia tidak bisa memenuhi syarat wajib shalat ‘id, sehingga hukum mendengarkannya ia terhadap khutbah, tidak dianggap sebagai penggugur syarat wajib mendengar khutbah. Ibnu al-Hathab al-Hanafi, bahwa:

وأما من لا تجب عليه الجمعة من أهل القرى الصغار، والمسافرين والنساء والعبيد ومن عقل الصلاة من الصبيان؛ فليست في حقّهم سنة، ولكنه يستحب لهم إقامتها

“Adapun bagi orang yang tidak wajib baginya melaksanakan shalat Jum’at, seperti anak-anak kecil dari ahli desa, kaum musafir, kaum perempuan, hamba, dan anak-anak kecil yang sudah berakal, tidak ada hak bagi mereka kesunahan mendirikan Id. Akan tetapi, mereka sekedar dianjurkan untuk ikut mendirikan jamaah ‘id.” (Al-Mawahib al-Jalil, Juz 1, halaman 190)

Madzhab Maliki

Dalam madzhab Maliki tidak dijelaskan mengenai berapa jumlah jamaah minimal yang wajib mendengarkan khutbah. Akan tetapi, Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam al-Fiqhu ala al-Madzahib al-Arba’ah menyatakan secara sekilas:

يشترط في خطبتي العيدين أن تكونا باللغة العربية ، ولو كان القوم عجما لا يعرفونها ، فإن لم يوجد فيهم أحد يحسن الخطبة سقطت عنهم الجمعة

“Disyaratkan dalam dua khutbah dua hari raya Idul Fitri disampaikan dengan bahasa arab. Jika kaum yang melaksanakan adalah terdiri dari orang ajam (selain Arab) yang tidak mengerti bahasa arab, maka jika tidak ada satu orang pun yang bisa khutbah dalam bahasa Arab, gugurlah pada mereka kewajiban Jum’at.” (Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 322).

Alhasil, berdasarkan ibarat ini, secara tersirat disampaikan bahwa jamaah yang mendengarkan dan mengerti khutbah yang disampaikan dalam bahasa arab, adalah minimal 1 orang. Tanpa keberadaannya, maka tidak wajib shalat Jum’at, yang berarti pula tidak wajib khutbah pada shalat idul fitri. Perlu diketahui bahwa madzhab ini menyatakan wajibnya ketentuan iqamah shalat ‘Id sebagaimana iqamah shalat Jum’at, sehingga jumlah jamaah minimal yang hadir adalah terdiri atas 30 orang. Dari 30 orang itu, 1 orang harus mengerti bahasa arab dengan baik. Sebagaimana pandangan ini merupakan yang sekilas disampaikan oleh Ibnu Habib al-Malikiyah dalam Al-Kafi li ibn Abdi al-Barr, Juz 1, halaman 249.

Madzhab Syafii

Menurut madzhab Syafi’i, ada dua pendapat dalam qaul qadim dan qaul jadid. Karena qaul qadim memiliki kriteria pendirian menyerupai madzhab hanafi, maka syarat pendirian khutbah juga sama persis dengan keterangan yang disampaikan dalam madzhab hanafi. Adapun, pendapat yang mu’tamad adalah pendapat yang tertuang dalam qaul jadid. Dalam hal ini, syarat ketentuan didirikannya khutbah adalah:

يشترط لصحة الخطية في العيدين والجمعة أن يجهر الخطيب بأركان الخطبة وحد الجهر المطلوب ، يسمع صوته أربعون شخصا؛ وهم الذين لا تنعقد الجمعة بأقل سنهم

“Disyaratkan untuk sahnya khutbah dalam dua shalat id, dan jum’ah adalah jika seorang khathib mengeraskan suaranya, tepat pada rukun-rukun khutbah, dengan batas-batas kerasnya suara yang dikehendaki yaitu didengarnya suara khatib oleh 40 orang jamaah, yang terdiri dari minimal jumlah ahli jum’at.” (Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 322).

Madzhab Hanbali

Kriteria madzhab ini rupanya sama dengan pendapat qaul jadid dari madzhab Syafi’i. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Syeikh Abdurrahman al-Jaziri:

يشترط لصحة خطبتي العيدين والجمعة أن يجهر بهما الخطيب ؛ بحيث يسمعه العدد الذي تصح به الجمعة ؛ وهو أربعون : كما يقول الشافعية ، فإن لم يسمعوا أركان الخطبتين بلا مانع من نوم أو غفلة أو صمم بطلتا

“Syarat sah dua khutbah 2 shalat id dan jum’ah adalah jika sang khatib mengeraskan kedua khutbah tersebut dengan sekira terdengar oleh jumlah minimal ahli jum’ah, yaitu 40 orang jamaah, sebagaimana ketentuan dalam Madzhab Syafii. Jika dari ke-40 orang itu tidak mendengar rukun-rukun khutbah yang  dibacakan, padahal tidak ada penghalang yang berarti, seumpama karena tertidur, atau lalai, atau tuli, maka batallah dua khutbah tersebut.” (Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 322).

Sebenarnya masih banyak ketentuan mengenai syarat sah khutbah menurut para ulama. Namun kiranya hal ini cukup untuk disimpulkan, bahwa syarat minimal sah pendirian khutbah Idul Fitri, menurut qaul mu’tabar dari qaul qadim madzhab Syafii dan Hanafi, adalah minimal didengar oleh 1 orang peserta jamaah yang hadir duluan. Akan tetapi catatan dari kedua madzhab ini adalah, bahwa 1 orang tersebut merupakan yang sudah memenuhi kriteria ahli jum’at, yaitu Islam, berakal, baligh, laki-laki merdeka, sehat, dan menetap (mustauthin).

Dengan demikian, khutbah Idul Fitri boleh dilakukan dengan syarat minimal ada satu orang yang mendengar. Karenanya, kalau shalat Idul Fitri sendirian tidak perlu melakukan khutbah. Tapi yang perlu menjadi catatan, dalam madzhab Hanafi dan qaul qadim madzhab Syafi’i, shalat Id boleh dilakukan secara berjamaah dengan syarat minimal ada empat orang: satu menjadi imam dan tiga menjadi makmum. Karenanya, dalam fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia, shalat Idul Fitri kalau kurang dari empat orang dibolehkan tetap shalat Id berjamaah dan tidak perlu khutbah Id setelahnya. Apabila lebih dari empat, dianjurkan khutbah Id setelah shalat kalau ada yang mampu untuk khutbah.