Kita memang tidak mengerti secara persis bagaimana situasi saat Rasulullah SAW lahir ke dunia. Yang kita tahu, lewat rekaman Imam Bukhari, Abu Lahab terlihat bungah manakala Siti Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Muhammad. Saking bahagianya, paman sekaligus oposan Nabi SAW paling ulung di masa depan ini sampai memerdekakan budaknya.
Kelak, kebahagiaan Abu Lahab menyambut kelahiran Muhammad itu menjadi alasan di balik dispensasi penderitaannya di alam barzah (beberapa menyebut keringanan di akhirat).
Dari sini kita jadi mengerti bahwa sekelas Abu Lahab yang kelewat sengit memusuhi dakwah Nabi saja masih mendapat “amnesti”, apalagi bagi orang-orang yang beriman kepada Nabi dan turut berbahagia menyambut kelahirannya, bukan?
Satu waktu Nabi SAW pernah bersabda, begini:
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang tidak mau…”
Lalu, para Sahabat yang hadir di majelis saat itu bertanya:
قيل ومن يأبى يا رسول الله؟
“Memangnya, siapa yang tidak mau masuk surga wahai Rasulullah?”
Nabi SAW menjawab:
قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
“Siapa saja yang taat kepadaku, maka surga adalah garansinya. Sedangkan, siapa saja yang ingkar, maka mereka itu adalah golongan yang tidak mau diajak masuk surga.”
Bagi saya, hadis ini keren sekali. Tidak saja menegaskan bahwa semua umat Nabi memiliki peluang yang setara untuk mengakses surga, tetapi hadis tersebut juga mendedahkan dengan sangat benderang logika dakwah yang lugas dan tegas.
Lebih dari itu, saya jadi optimis masuk surga. Anda pun demikian. InsyaAllah juga berhak masuk surga. Soal surga lantai berapa, nah itu bukan urusan kita.
Yang pasti, semua kita insyaAllah akan masuk surga. Mengapa? Ya, karena saya yakin betul menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad. Apakah saya taat? Tidak juga. Tapi saya sedang berusaha menuju ke sana.
Persoalannya, taat yang bagaimana?
Taat itu tidak melulu tentang meniru secara persis 100% apa yang terjadi di zaman Nabi. Bahwa kemudian ada orang yang berniat melakukannya, itu tentu boleh-boleh saja. Tapi, percayalah, kalau definisi “taat” kita mengerti secara saklek, maka rumit sekali hidup Anda.
Lain kesempatan, Nabi Muhammad meminta agar para sahabat bergegas ke, sebut saja, kampung Quraizhah. Saat itu, hari masih menunjukkan waktu siang, dan belum ada ojek online. Artinya, perjalanan menuju kampung Quraizhah itu memakan waktu yang lumayan berjam-jam.
Menariknya Nabi memberi instruksi, “barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.”
Sialnya, waktu shalat Ashar kadung tiba, sedangkan rombongan sahabat Nabi masih setengah perjalanan. Terjadilah perbedaan pendapat.
Sebagian sahabat memilih melanjutkan perjalanan dan akan melaksanakan sahalat ashar setibanya di kampung Quraizhah. Bahkan beberapa riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan shalat Ashar setelah Isya di perkampungan Bani Quraizhah.
Sementara itu, sebagian sahabat yang lain memutuskan untuk shalat Ashar saat itu juga, kendati masih setengah jalan dan belum sampai ke kampung Quraizah. Mereka meyakini bahwa sabda Nabi itu bermaksud agar rombongan bersegera menuju perkampungan Quraizhah sehingga bisa melaksanakan shalat Ashar di sana.
Uniknya, mendengar apa yang terjadi dengan perbedaan tafsir itu, Nabi Muhammad tetap biasa saja. Beliau SAW tidak memuji salah satu, dan tidak pula menyalahkan yang lain. Biasa saja. Ini baru di zaman Nabi.
Lalu bagaimana dengan hari ini? Bagaimana mungkin sebagian kita ada yang merasa paling taat, sehingga dengan gampangnya menghakimi orang lain yang berbeda tafsir?
Itulah masalahnya. Orang kadung obsesif dengan kata “taat”. Akibatnya, polisi ketaatan pun menjamur di mana-mana. Padahal, kalau mau fair, kebanyakan dari kita pada dasarnya sulit sekali untuk bisa taat seratus persen.
Seawal-waktu-awal-waktu-nya Anda shalat, misalnya, tetap saja belum bisa dikatakan taat bilamana masih suka datang jam 8 padahal janjiannya jam 7; masih suka buang sampah sembarangan; masih suka percaya sama berita hoax lalu menyebarkannya di grup-grup WA; masih suka men-dislike postingan orang yang berbeda tafsir keagamaan; dan lain sebagainya.
Jadi, sejauh Anda merasa sebagai umat Nabi Muhammad, maka abaikan saja orang-orang yang menuduh Anda sebagai sesat, kafir, bahkan mengancam masuk neraka hanya karena Anda punya pendapat yang berbeda.
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama islami.co dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.