Seorang ibu muda memulai obrolan di antara teman-teman Buddhis. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kelelahan yang nyata meski rambutnya harum aroma sampo, wajah berias segar, tanda dia telah membasuh diri sebelum datang ke tempat itu. Dia berujar kata maaf dulu atas keterlambatannya. Karena sepulang bekerja dia tersita mengerjakan tugas domestik dan menemani suaminya makan.
“Untung saja tadi suamiku nggak minta dipijat, bisa-bisa aku nggak jadi datang,” ujarnya sambil tersenyum getir.
Cerita pun mengalir bagaimana lelahnya nine to five bekerja di kantor sekaligus mengerjakan urusan rumah tangga dan mengasuh anak dengan minimum bantuan suami. Suatu kali, dia memprotes suaminya, dijawab dengan, “Itu kan kewajibanmu sebagai istri. Terima saja!”
Ibu lain; dengan penampilannya yang justru lebih segar di usianya yang tak muda lagi menyeletuk, “Aku sudah lewati itu semua.” Sunggingan senyum di bibirnya tak bisa disembunyikan menggambarkan kelegaan. “Dulu, laki gue nggak akan mau makan, kalau nggak diambilin dan ditaruh depan mukanya. Minum air termasuk kopi juga demikian. Dan itu nggak bisa digantiin, sama anak-anak gue juga.”
Semua perempuan yang hadir menatapnya penuh perhatian. “Tapi, gimana caranya … anak Ibu kan ada sepuluh,” ujar salah satu yang hadir.
Matanya yang berselaput tipis tanda mulai diselimuti katarak itu pun menerawang.
“Nah itu, lahiran nggak selesai-selesai, terus dia musti dilayani. Nggak peduli gue sibuk menyusui, mandiin anak, masak, nyuci, dia tetep mintanya gue yang layanin,” ceritanya sambil menghela napas panjang.
“Untung anak-anak yang besar itu perempuan. Jadi bisa bantu ngempu adik-adiknya, sementara saya melayani Bapaknya,” tambahnya menutup percakapan. Semua (perempuan) yang hadir sempat berbisik-bisik, lalu terdiam sendiri.
Saya mengira mungkin mereka saling merenungkan apakah serupa pengalaman dalam berumah tangga masing-masing. Apakah perempuan perannya memang melayani saja, apakah tugas domestik memang kodratnya istri dan ibu, dll.
Isu kesetaraan gender, saya akui bukanlah topik yang sering dan umum dibicarakan di diskusi-diskusi Buddhisme yang saya ikuti sejak dulu. Walau pemahaman tentang setiap orang punya jiwa Buddha, setiap orang yang sadar bisa menjadi Buddha, setiap orang bisa mencapai kesadaran Buddha adalah hal prinsipil yang saya kenal, tahu dan pahami sejak kecil dan tak bisa ditawar.
“Hal ini dijelaskan dalam Bab Bodhisattva Sadaparibhuta, Bab 20 Saddharmapundarika-sutra, bahwa semua tak ada perbedaan, karena semua mempunyai potensi yang sama untuk mencapai kebuddhaan,” jelas Pandita Dhyana Dharmasurya dari MNSBDI (Majelis Niciren Shoshu Buddha Dharma Indonesia) menjawab pertanyaan saya di sebuah ruang percakapan.
Bodhisatva Sadaparibhuta, mendapatkan namanya karena bhiksu tersebut selalu menghormati dan menyanjung setiap orang yang ia lihat baik bhiksu, bhiksuni, upasaka dan upasika seraya berkata demikian. “Aku sungguh-sungguh menghormatimu. Aku tidak berani meremehkan dan merendahkanmu karena kalian semua berjalan didalam jalan kebodhisatvaan dan akan menjadi para Buddha.” Meski dicerca, dihina bahkan diperlakukan kurang baik, Sadaparibhuta selalu menganggap dan memperlakukan orang dengan baik.
Dhyana menanggapi kisah tersebut dengan menyatakan hal itu baru dijelaskan dalam Saddharmapundarika-sutra. Karena di masa permulaan pembabaran ajaran, Buddha Sakyamuni pernah menjelaskan bahwa terlahir sebagai wanita memang mempunyai karma buruk yang lebih tebal. Saat itu, pantangan untuk bhiksuni (bhiksu perempuan) ada 500 sila, sementara untuk bhiksu cuma 250 sila. Namun, di sisi lain wanita juga memiliki maitri karuna (rasa cinta kasih) yang luar biasa, karena bisa melahirkan manusia lain.
Tulisan Kesit Sartono, S.Ag – Penyuluh Agama Buddha Kab, Pesawaran, Provinsi Lampung pada laman Buddha Wacana – Kementerian Agama Republik Indonesia menunjukkan pendapat sendiri.
Agama Buddha lahir di tengah-tengah pandangan yang menganggap bahwa kaum perempuan diposisikan sebagai kaum “pelengkap” yang tidak memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal itu yang terjadi pada masa Pra Buddha, apalagi dengan paham patriarki selama masa penjajahan.
Peristiwa Mahapajapati Gotami memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi Bhikkhuni lalu ditolak menjadi penanda awal Agama Buddha mengangkat kedudukan wanita sama dengan pria.
Hal itu disebabkan karena Mahapajapati Gotami tidak menyerah. Dia berjuang dengan dukungan Bhikkhu Ananda beserta 500 wanita yang telah memakai jubah dan mencukur rambutnya. Mereka menghadap kembali kepada Sang Buddha untuk menerimanya menjadi Bhikkhuni. Akhirnya Sang Buddha mengabulkan permohonan tersebut. Namun, dia harus menjalankan syarat khusus (garudhamma) yang tidak dijalankan oleh Bhikkhu Sangha.
Dari penjelasan secara teori, perlakuan setara seperti bukan hal baru dalam Buddhisme, malah telah jelas tercantum di dalam ajaran. Namun, mengapa kisah-kisah perempuan di awal tulisan ini masih saja terjadi? Pemikiran saya, ajaran Buddhisme banyak yang terakulturasi dengan budaya tertentu, sehingga kesetaraan gender seolah-olah seperti tidak terjadi, tertutup oleh budaya yang sudah mengakar kuat tersebut.
Semisal di keluarga Chinese yang banyak diasosiasikan pasti beragama Buddha. Umum terjadi konsep patrilineal dengan isu patriarki cukup kuat, posisi bapak, suami, anak laki-laki, adik laki-laki, cucu laki-laki tetap nomor satu.
Dhyana memiliki pandangan berbeda tentang hal ini, meski tak sepenuhnya bisa menggambarkan bahwa patriarki sudah tak lagi menjadi paham gender pada umat. “Untuk zaman sekarang sudah ada pergeseran, tak kental lagi family sistem, dan sudah tidak ada lagi perang; yang menempatkan lelaki pada posisi utama. Malah, kini di masyarakat ada yang berpikir punya anak perempuan lebih berharga daripada anak lelaki. Banyak orang beranggapa; anak perempuan akan lebih care ke ortu, anak laki-laki akan “dikuasai” istrinya.”
Saya terdiam, ini bukanlah pretensi yang baik juga. Penghargaan kepada perempuan tetap tak melihat diri mereka sebagai subyek, yang bisa berdaya juga, tetapi menjadi pihak yang diandalkan untuk bertanggung jawab bakti kepada orang tua. Spontan saya berkomentar, “Tetap saja ajaran Buddhisme lagi-lagi tak menyentuh kesetaraan ini.”
“Sejujurnya saat ini revolusi mesti terjadi dalam diri para lelaki. Mereka manja terus, minta dilayani terus, sejujurnya karena takut nanti ditinggal sama istrinya. Kalau dulu perempuan takut ditinggalkan suami, sekarang tak takut bercerai karena punya penghasilan sendiri, dan lebih merdeka,” cetus Dhyana menyimpulkan dari beberapa kisah pengalaman umat yang didengarnya.
Fenomena yang diungkapkan Dhyana belum tuntas menjawab tentang kesetaraan itu. Karena kesetaraan bukan siapa menang siapa kalah. Kesetaraan adalah ketika kedua belah pihak, lelaki dan perempuan sama berhak sekaligus menunaikan kewajibannya.
Saya merenungkan lagi ajaran Buddha yang saya imani. Ajaran yang universal, untuk siapa pun, tanpa membedakan jenis kelamin, maupun status sosial. Kemuliaan Sang Buddha dalam tidak mendiskriminasi laki-laki dan perempuan, sekaligus menegaskan bahwa kualitas batin seseorang bukan berdasarkan jenis kelamin, kasta, kelahiran, maupun status sosial, melainkan karena sikap perilaku manusia itu sendiri.
Prinsip baik dan mulia tersebut bisa saja menjadi teori dan wacana semata, bila pada pelaksanaan sehari-hari, konsep itu tak kita aplikasikan. Contoh pada keluarga saya sendiri.
Mengimani Buddhisme tentang kesetaraan, perlu dengan menunjukkan kepada anak-anak. Bahwa saya (ibunya) memiliki posisi setara dengan ayahnya. Mereka melihat ibu dan ayah yang sama memasak, mencuci, menyapu, mengepel, termasuk bekerja dan berkarya untuk orang banyak. Bahwa, membangun keluarga adalah bekerjasama antara ibu ayah, perempuan dan lelaki.
Bagaimana bila kita memulainya dari situ?