Sesaudara dalam Iman Atau Sesaudara Dalam Kemanusiaan (Bag. 2)

Sesaudara dalam Iman Atau Sesaudara Dalam Kemanusiaan (Bag. 2)

Sesaudara dalam Iman Atau Sesaudara Dalam Kemanusiaan (Bag. 2)
Pope Francis embraces Al-Azhar’s Grand Imam Ahmed al-Tayeb during a meeting at Cairo, Egypt April 28, 2017. REUTERS/Mohamed Abd El-Ghany

Seluruh pasal dalam Piagam Madinah itu mengatur sistem relasi yang majemuk dalam semangat keadilan dan kooperasi sebagai satu kesatuan masyarakat yang humanis (bisa saja kita sebut bangsa, negara, peradaban). Kaum mukmin, kaum Yahudi, dan kaum Nasrani dirangkul dalam satu kesatuan masyarakat yang berelasi secara adil dan kooperatif semata untuk mewujudkan harmoni sosial. Hak dan kewajiban semuanya dibuat seimbang dan adil. Di dalamnya, banyak poin-poin berjenis: “bahu-membahu (tolong-menolong) sesuai dengan kebiasaan (tradisi) masing-masing; saling memberikan pertolongan dan satunan; (semua) satu umat dengan kaum mukminin; bagi mereka agama mereka, bagi mukminin agama mereka.” Dan sebagainya. Tidak ada satu narasi pun yang mengarah kepada pengertian hegemonik, intimidatif, atau agitatif kepada kalangan selain mikminin.

Apakah kita masih punya nyali untuk berkata dan berbuat melampaui batas dari Sunnah Nabi Saw yang tertuang dalam Piagam Madinah itu, dikarenakan (misal) kita yang tentu saja meyakini secara rohani agama yang kita anut ini adalah agama yang benar dan selamat, sehingga kaum liyan harus dijadikan seiman, seumat, setradisi dengan kita dengan cara apa pun (termasuk memaksa dan mengintimidasi) agar mereka juga bisa benar dan selamat? Bukankah al-Qur’an telah mengingatkan: “Siapa yang taat kepada Rasul Saw maka ia telah taat pula kepada Allah Swt dan siapa yang melanggar Rasul Saw maka ia juga telah melanggar Allah Swt”, sehingga seluruh ucapan dan tindakan yang keluar dari sifat toleran, ngemong, ngopeni kepada liyan sebagaimana dikandung Piagam Madinah itu, yang beresensi pada hormat dan adil, dapat dipahami melanggar Sunnah Rasul Saw?

Jika masih saja ada orang Islam yang sanggup melakukan hal melampaui batas begitu, lalu mengatasnamakannya ejawantah ittiba’ al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, ayat al-Qur’an serta sunnah bagian manakah yang membuka pemahaman meyakinkan terhadap hal demikian?

Perintah bersikap adil kepada siapa pun, termasuk mereka yang berbeda iman, bahkan musyrik sekalipun, dapat dengan mudah ditemukan keterangannya dalam al-Qur’an –apalagi hadis Nabi Saw.

Saya akan tunjukkan sebagiannya saja.

Surat at-Taubah ayat 6:

Dan jika ada seorang musyrik meminta pertolongan (perlindungan) padamu, maka tolonglah (lindungilah) dia supaya (semoga) ia bisa mendengarkan ayat Allah Swt kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Itu (kemusyrikan mereka) dikarenakan mereka tergolong kaum yang tidak mengetahui (kebenaran ayat Allah Swt).

Lalu surat Al-Maidah ayat 8:

Dan janganlah ketidaksukaan kalian (kaum beriman) kepada suatu kaum (meliputi semua manusia) menjadikan kalian berbuat tidak adil kepada mereka. Berbuat adillah, itu (berbuat adil) lebih dekat kepada ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah Swt, sesungguhnya Allah Swt mengetahui apa yang kalian lakukan.

Lalu surat Al-Mumtahanah ayat 8:

Allah Swt tidak melarang kalian (kaum mukmin) untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang (siapa pun) yang tidak memerangi kalian dan tidak mengusir kalian dari tanah (rumah, kampung, negeri) kalian. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang berbuat adil.

Khusus ayat 8 ini, mesti dilanjutkan dengan ayat berikutnya, ayat 9:

Sesungguhnya Allah Swt melarang kalian (kaum mukmin) berkawan (bersekutu) dengan orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari tanah (rumah, kampung, negeri) kalian dan membantu (orang, kaum, lain) untuk mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka (yang berperilaku zalim begitu) kawan (sekutu), maka mereka itulah bagian dari golongan kaum yang zalim.

Sekadar tamsil bagi “ayat yang terkesan sebaliknya”, agar makin lengkap lanskap kajian ini, bisa jadi lahirnya paham yang membenarkan pandangan keras dan kasar kepada liyan, termasuk yang beda iman, seolah itu benar, merujuk pada (misal) ayat 123 dari at-Taubah ini:

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang menyakiti kalian, dan hendaklah mereka bisa melihat sikap keras darimu, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Swt bersama orang-orang yang bertakwa.

(Untuk ayat “asyidda-u ‘alal kuffar, bersikap keras kepada kaum kafir” dan “ka-annakum bunyanun marsus, kalian bagaikan bangunan yang kokoh (di hadapan musuh kafir)”, juga bisa didudukkan di titik ini.).

Benarkah ayat-ayat tersebut rujukan otoritatifnya?

Jawabannya: tidak.

Tepat pada konteks sejenis inilah, betapa sangat diperlukannya fondasi ilmu-ilmu tafsir, seperti ilmu Munasabah (ilmu tafsir dengan metode merelasikan ayat-ayat yang selingkup-setema, baik dalam satu lingkup surat (maudhi’i) maupun secara keseluruhan surat (maudhu’i)), agar kita bisa menggali lebih jauh untuk mendapatkan penyimpulan pemahaman yang lebih lengkap –tidak sepenggal-penggal, secutat-cutat.

Tidak ada satu pun ayat dalam al-Qur’an yang secara ilmu Munasabah meyakinkan untuk dipahami membenarkan bersikap keras dan kasar kepada liyan (termasuk kaum kafir dan musyrik –mari bedakan dengan ahlul kitab) –sebagaimana terkesan secara tekstual dari terjemahan ayat 123 at-Taubah di atas)—karena ayat 123 tersebut telah diberikan keterangan khususnya (al-tafsir al-takhsishi atau juga disebut tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an) oleh surat al-Mumtahanah ayat 8-9 itu, juga al-maidah 8 –dan masih banyak lainnya.

Kita bisa mengerti kini dengan berbekal contoh terapan ilmu Munasabah tersebut bahwa berlaku syarat khusus bagi kebolehan bersikap tegas dan keras kepada liyan (bukan hanya kepada kaum kafir dan musyrik, tapi juga termasuk orang yang seiman –cermatilah, ayat di atas tak memberikan batas golongan, hanya menyebut al-ladzina (orang-orang)), yakni tiga hal:

Pertama, mereka yang memerangimu karena agama.

Kedua, mereka yang mengusirmu dari tanahmu (hak milik).

Ketiga, mereka yang bersekutu dengan pihak/orang lain untuk  melakukan hal pertama atau kedua.

Itu saja syarat-syarat yang memungkinkan kita boleh bersikap keras dan tegas kepada pihak/orang lain.

Jika syarat tersebut tidak terpenuhi –sebagaimana kehidupan keagamaan dan sosial di negeri tercinta ini—otomatis pintu-pintu bersikap keras dan tegas kepada liyan itu tertutup penuh. Tidak boleh dilakukan. Yang lalu terbuka kini adalah pintu-pintu harmoni-kooperasi sebagaimana (ringkasnya) terkandung dalam sunnah Piagam Madinah itu.

Kepada seluruh ucapan dan tindakan kita, mari pikirkan selalu dengan terus-menerus menambah ilmu dan rasakan jernih dengan kedalaman rasa di hati –semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan Rahmat dan BerkahNya kepada kita semua. Bagaimana mungkin masuk akal bagi marwah kita sebagai mukmin dan muslim untuk masih saja mendaku ucapan dan tindakan kasar, keras, benci, memusuhi, apalagi mencaci, menghina, dan melaknat liyan (siapa pun) sebagai ekspresi cinta dan ittiba’ kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw padahal jelas-jelas terang lagi benderang betapa seluruh ayat dan sunnah Nabi Saw semata menyeru dan mengajarkan serta meneladankan kepada sikap hidup hormat-mengormati, kerjasama, tolong-menolong, kuat-menguatkan, dan keadilan kepada siapa pun (seiman atau tidak), sehingga di hadapan takdir kemajemukan dunia ini, termasuk kemajemukan agama, semestinya tiada sikap lain yang kita hamparkan kecuali selanskap toleransi, simpati, dan etika kemanusiaan seluasnya atau universal? Bukankah al-Qur’lan telah pula menyebutkan bahwa ciri dari orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan-kebaikan adalah penuh kasih sayang (wuddan) dan rendah hati (haunan)?

Sungguh benarlah nasihat lugas nan kaya makna Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini: “Kalian semua adalah sesaudara dalam iman; jikapun kalian tak sesaudara dalam iman, kalian adalah sesaudara dalam kemanusiaan.

Terakhir, saya ingin menukil sebuah surat perjanjian yang diberikan Kanjeng Nabi Saw kepada kaum Nasrani (Kristiani) dari Bani Najran –sebuah kota di barat daya Saudi Arabia dekat perbatasan Yaman—yang terjadi pada 25 Dzulhijjah tahun 9 H, 15 bulan sebelum wafat.

“Najran dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada dalam perlindungan Allah Swt dan Muhammad Rasulullah Saw menyangkut harta benda, jiwa, dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang gaib (tidak hadir). Termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan segala sesuatu yang berada dalam wewenang mereka, sedikit atau banyak.

Saya berjanji melindungi pihak mereka, dan membela mereka, gereja, dan tempat-tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta mereka, demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka di mana pun mereka berada sebagaimana pembelaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta orang-orang Islam yang seagama dengan saya, karena saya telah menyerahkan kepada mereka perjanjian yang dikukuhkan Allah Swt bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak kaum muslimin dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka. Kaum muslimin pun berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasar kewajiban memberikan perlindungan dan pembelaan kehormatan sehingga kaum muslimin berkwajiban melindungi mereka dari segala macam keburukan, dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan kaum muslimin menyangkut hak dan kewajiban.

Tidak boleh uskup dari keuskupan mereka diubah satu hak dari hak-hak mereka, tidak juga kekuasaan mereka, atau apa yang selama ini mereka miliki. Tidak boleh juga dituntut seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain sebagaimana tidak boleh memasukkan bangunan mereka ke bangunan musjid atau perumahan kaum muslimin. Juga tidak boleh mereka dibebani kazaliman menyangkut pernikahan yang mereka tidak setujui. Keluarga masyarakat perempuan Nasrani tidak boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum muslimin. Mereka tidak boleh disentuh oleh kemudaratan kalau mereka menolak lamaran atau enggan mengawinkan karena perkawinan tidak boleh terjadi kecuali dengan kerelaan hati. Apabila seorang perempuan Nasrani menjadi istri seorang muslim maka sang suami harus menerima baik keinginan istrinya untuk menetap dalam agamanya dan mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanakan tuntunan kepercayaannya. Tidak boleh hal ini dilanggar. Siapa yang melanggar dan memaksa istrinya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan urusan agamanya, maka dia telah melanggar perjanjian (yang dikukuhkan) Allah Swt dan mendurhakai janji RasulNya Saw dan dia tercatat di sisi Allah Swt sebagai salah seorang pembohong.

Bagi para penganut agama Nasrani, bila mereka memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka, atau satu kepentingan mereka dan agama mereka, bila mereka membutuhkan bantuan dari kaum muslimin, maka hendaklah mereka dibantu dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebakan kepada mereka, tetapi dukungan buat mereka demi kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad Saw) kepada mereka dan anugerah dari Allah Swt dan RasulNya Saw buat mereka. Tidak boleh seorang Nasrani dipaksa untuk memeluk agama Islam. “Janganlah mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui batas, dan katakan, ‘Kami percaya dengan apa yang diturunkan Allah Swt kepada kami (al-Qur’an), juga dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Taurat dan Injil).  Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu. Dan kami hanya tunduk kepadaNya semata.’” (QS. Al-Ankabut 46). Mereka hendaklah diberi perlindungan berdasar kasih sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan dan di mana pun.” (Bagian ini dikutip utuh dari Prof. Quraish Shihab, Islam dan Kebangsaan, hlm. 76-80).

Semoga kita semua senantiasa dihidayahiNya, dibimbingNya, untuk selalu tetap di jalanNya, dan dimasukkanNya ke dalam golongan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan-kebaikan, mereka itulah sebaik-baiknya makhlukNya.” (QS. Al-Bayyinah, 7). Amin ya Rabbal ‘alamin.

Wallahu a’lam bish shawab. Wa sallim ‘alaih wa alih.