Kisah Banser Riyanto yang Layak Kita Ingat

Kisah Banser Riyanto yang Layak Kita Ingat

Kisah Banser Riyanto yang Layak Kita Ingat
ilustrasi: alwi / @artsagav

Konon, ada satu hal yang jauh lebih kuat ketimbang uang dalam hal menyatukan orang. Ya, satu hal itu adalah cerita. Dengan cerita, orang jadi punya rujukan. Dengan cerita, imajinasi kita jadi hidup. Dan dengan cerita, kita bisa mengambil hikmah dari masa lalu.

Salah satu cerita yang layak kita ingat setiap memasuki penghujung tahun adalah anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU, Riyanto. Secara sadar, Riyanto menjaga gereja pada perayaan Natal 19 tahun lalu di Mojokerto, padahal dia adalah seorang umat Muslim.

Tentu saja, Riyanto tidak sedang menggadaikan iman. Sebaliknya, apa yang dia lakukan itu justru merupakan bentuk dari kesadaran berketuhanan yang paling paripurna.

Ya, Riyanto berhasil mendedikasikan dirinya sebagai khalifatu fil ardh, yaitu dengan menjadi martir kemanusiaan di 10 hari terakhir bulan Ramadhan tahun 2000.

Awalnya, Riyanto sempat bertanya soal bagaimana jika seorang Muslim meninggal sewaktu menjaga ibadah umat agama lain. Ini dituturkan oleh Amir, rekan sesama Banser yang mengaku kaget dengan pertanyaan yang diajukan saat berbuka puasa dengan sebotol air mineral yang dibeli Riyanto.

“Dik Riyanto itu aneh tanyanya, dia bilang ‘Pak Bowo, kalau aku jaga gereja begini bagaimana kalau mati?’. Ya Pak Bowo jawab ‘alhamdulillah mati syahid dik, membela persatuan kesatuan’. Sudah itu dia enggak tanya-tanya lagi, diam, seperti berpikir,” ujar Amir, dikutip CNNIndonesia.

Untuk diketahui, Riyanto meninggal saat terjadi serangan teror bom di Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Bersama Amir, Riyanto bergegas menuju gereja, tempat dirinya dan rekan-rekan Banser lainnya bertugas.

Sekitar pukul 19.45 WIB, demikian Amir, salah seorang jemaat memberitahu ada tas yang tergeletak di bawah telepon umum, di depan gereja. Amir pun mengecek keberadaan tas yang tergeletak itu.

Sejurus kemudian, Riyanto menghampirinya. Mereka kaget, dalam tas terdapat rangkaian kabel dan paku. Salah seorang polisi yang juga melihat tas itu lalu sadar itu adalah bom sehingga refleks berteriak, “Tiarap!”.

“Belum sempat masuk selokan, [tas] yang dilempar Dik Riyanto ternyata meledak, jalan jadi gelap, keadaan sudah kacau, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi,” kata Amir.

Hari ini, siluet gambar Riyanto, berikut keterangan yang menyertainya, nyaris membanjiri lini masa media sosial kita. Di Google Trends, kata kunci “Banser Riyanto” juga menunjukkan grafik meningkat dalam tujuh hari terakhir. Ini menunjukkan bahwa mendiang Riyanto memang telah benar-benar layak dikenang, tidak saja dalam memori, tetapi juga dalam keabadian itu sendiri.