Felix Siauw, Ustadz Muallaf keturunan Tionghoa yang juga aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hari-hari ini mereguk popularitas sekaligus kontroversi. Namanya setara dengan Ustadz-Ustadz beken tanah air seperti Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Maulana, dll.
Kontroversi dari Felx Siauw terutama berkaitan tentang isu-isu politik kebangsaan. Felix Siauw adalah corong dari HTI yang sangat intens mengkampanyekan Kekhilafahan dan anti pada nasionalisme.
Melalui blog pribadi Felixsiauw.com, Felix menulis sebuah artikel berjudul “Talak Tiga Nasionalisme, Now”. Artikel ini diposting pada tanggal 23 Juni 2013.
Dari judul yang dipilih jelas tampak bahwa Felix mengharamkan nasionalisme. Talak tiga dalam kinstruksi hukum Islam adalah perceraian mutlak yang tak bisa rujuk kembali (kecuali ada syarat syar’i yang memungkinkannya). Felix, mewakili HTI, terang benderang menyatakan cerai dengan nasionalisme. Lebih lanjut, dalam blog itu, Felix menulis :
“Memang belum banyak aktivis Islam yang paham tentang sekulerisme dan kroco-nya walau mereka mengutuk sekulerisme sampai 7 turunan. Termasuk ‘anak hasil di luar nikahnya”, yang bernama nasionalisme. Sebuah perasaan semu, persatuan maya yang dibangun atas kesamaan suku bangsa ditambah dengan rendahnya cara mikir”
Dari pernyataan di atas, Felix membuat definisi secara keliru bahwa nasionalisme adalah persatuan maya yang dibangun atas kesamaan suku bangsa. Secara keliru, Felix menyamakan nasionalisme dengan tribalisme atau kesukuan. Felix gagal paham bahwa Indonesia bukan satu suku bangsa melainkan banyak suku bangsa yang mengikatkan diri pada satu nasionalisme bernama bangsa Indonesia. Felix gagal paham bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh di dalam taman sari Internasionalisme – meminjam Istilah Bung Karno – yakni, Nasionalisme yang merayakan persaudaraan bangsa-bangsa dengan teguh pada nilai-nilai peri-kemanusiaan.
Artinya, nasionalisme yang dipahami Felix Siauw adalah cara pandang Eropa Abad 19, terutama paska revolusi Perancis, yang melekatkan nasionalisme pada kesamaan suku bangsa, nation-state, satu negara satu (suku) bangsa. Cara pandang seperti ini merupakan nasionalisme purba yang sudah direvisi oleh Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Nasionalisme modern tidak lagi melekatkan dirinya pada kesamaan suku bangsa melainkan pada kesamaan karakter. “die au seiner Schicksalsgemeinschaft”, komunitas karakter yang berkembang dari komunitas pengalaman bersama, ujar Otto Bauer.
Bung Karno, bapak nasionalisme Indonesia, menegaskan :
“bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah satu golongan orang yang hidup dengan ‘le desire d’etre ensemble” di atas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis; tetapi Bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah swt tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara sumatera sampai ke Irian, seluruhya..!!”
Singkatnya, menyamakan nasionalisme dengan tribalisme adalah tabiat sesat pikir, kurang baca buku, kurang belajar, dan yang lebih penting, tidak paham Bagaimana konstruksi nasionalisme Indonesia dibangun.
Kepada ustadz Felix Siauw dan kawan-kawan HTI saya sarankan untuk membaca dengan jernih dan meninjau ulang gagasan nasionalisme Bung Karno. Di sana niscaya akan ditemui mutiara keindahan nasionalisme Indonesia.