Salah satu sifat terpuji yang ditekankan ulama sufi adalah “al-wara’” (penjagaan diri dari perkara haram atau syubhat). Al-Imam al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi mendefinisikan al-wara’ dengan:
هُوَ عِبَارَةٌ عَنِ الْإِحْتِرَازِ عَنْ كُلِّ مَا فِيْهِ شَرٌّ وَانْحِرَافٌ شَرْعِيٌّ أَوْ شُبْهَةٌ مُضِرَّةٌ بِالْوُقُوْفِ عَلَى حَدِّ الْعِلْمِ مِنْ غَيْرِ تَأْوِيْلٍ
“al-Wara’ adalah menjaga diri dari setiap keburukan, penyelewengan dari ajaran agama atau penyesatan yang membahayakan, dengan tunduk atas batas-batas ilmu tanpa membuat takwil”.
Terkait pentingnya sifat wira’i, Nabi Saw berpesan kepada sahabat Abu Hurairah “Wahai Abu Hurairah, bersifat wira’i-lah kamu, niscaya engkau menjadi hamba yang paling menghamba”. (HR. Ibnu Majah).
Syaikh al-Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir berkata, “Wira’i adalah perkara yang sangat penting. Wira’i tidak hanya terbatas pada mu’amalah dan makanan saja. Namun berlaku untuk seluruh anggota tubuh manusia. Dianjurkan bagi seseorang untuk tidak melihat, mendengar dan melakukan perkara yang masih diperselisihkan keharaman atau kemakruhannya di kalangan ulama”.
Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitab al-Ghunyah, sifat wira’i tidaklah bisa sempurna kecuali dengan melakukan sepuluh hal sebagai berikut:
Pertama, menjaga lisan dari ghibah (menggunjing). Sebab Allah SWT berfirman “dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain” (QS. Al-Hujurat: 12).
Kedua, menjauhi dari berburuk sangka kepada orang lain. Allah Swt berfirman “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan perasangka (kecurigaan), karena sebagian dari perasangka itu dosa”. (QS. Al-Hujurat: 12).
Ketiga, menjauhi dari melakukan penghinaan terhadap orang lain. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain” (QS. Al-Hujurat: 11).
Keempat, memejamkan pandangan dari perkara haram. Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya” (QS. Al-Nur: 30).
Kelima, kejujuran dalam bertutur. Allah Swt berfirman, “Apabila kalian berkata, jujurlah”. (QS. Al-An’am: 152).
Keenam, menyadari anugerah yang diberikan Allah Swt, agar tidak ‘ujub (merasa bangga diri) dengan diri sendiri. Allah Swt berfirman, “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (QS. Al-Hujurat: 17).
Ketujuh, menagalokasikan harta untuk kebaikan, bukan untuk kebatilan. Allah Swt. Berfirman, “dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir”. (QS. Al-Furqan: 67). Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, maksud ayat tersebut adalah tidak membelanjakan harta untuk kemaksiatan dan tidak pula menahannya untuk kebaikan.
Kedelapan, tidak mencari kesombongan. Allah Swt berfirman “negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi”. (QS. Al-Qashsash: 83).
Kesembilan, menjaga salat lima waktu. Allah Swt berfirman, “peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu’”. (QS. Al-Baqarah: 238).
Kesepuluh, konsisten mengikuti ajaran ahlussunnah wal-jama’ah. Allah Swt berfirman, “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya”. (QS. Al-An’am: 153).
Demikianlah paparan sepuluh langkah yang harus ditempuh untuk menjadi hamba yang berkualitas.
(Sumber bacaan: al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj al-Sawi hal. 517 dan 534)
*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri