Penjajahan Israel atas Palestina yang sudah berusia 75 tahun lebih belum kunjung menunjukkan akhir. Bahkan, belakangan ini, dengan disponsori NATO dan Uni Eropa, Israel semakin getol melakukan genosida dengan membombardir satu dari dua wilayah yang tersisa dari Palestina, Jalur Gaza. Menurut Al-Jazeera, per 19 Oktober 2023, sudah 3.785 warga sipil tewas dalam serangkaian serangan udara ini. Jumlah ini mencakup 1.524 anak kecil, seribu wanita, dan sebelas jurnalis.
Penderitaan yang berkepanjangan tak membuat gairah sepakbola Palestina meredup. Sepakbola sudah menjadi alat perlawanan bangsa Palestina, bahkan sejak tahun 1920-an. Dewasa ini, Timnas Palestina tampil begitu bagus untuk sebuah timnas dari negara terjajah/ Timnas Palestina berhasil lolos ke putaran final AFC Asian Cup 2023 setelah memuncaki Grup B Kualifikasi putaran ke-3. Lebih hebatnya lagi, tim asuhan Makram Daboub berhasil mencatatkan kemenangan atas semua lawannya dengan catatan memasukkan 9 gol dan nirbobol. Palestina juga pernah menjuarai AFC Challenge Cup pada 2014.
Sejarah Sepakbola Palestina
Menurut Issam Khalidi dalam artikelnya, “Sports and Aspiration: Football in Palestine, 1900-1948”, sepakbola datang ke tanah Palestina kira-kira pada akhir Abad ke-19 hingga awal Abad ke-20. Sepakbola dikenalkan oleh sekolah-sekolah misionaris yang tersebar di Palestina. Beberapa sekolah yang memperkenalkan sepakbola adalah St. George’s School (berdiri sejak 1899), College des Fretes Yerusalem (berdiri sejak 1982), the Friends Boys School Ramallah (berdiri pada 1901), dan sekolah-sekolah Salesian School (berdiri pada 1891) yang tersebar di Bethlehem dan Haifa.
Sejak kedatangan Zionis pada 1920-an, mereka berupaya mengklaim diri sebagai representasi “Tanah Yang Dijanjikan”, termasuk dalam bidang olahraga. Maccabi melebur dengan klub olahraga Zionis lain, yakni Hapoel untuk mendirikan Asosiasi Sepakbola Palestina (PFA) pada 1928 dengan anggota mayoritas orang Yahudi-Zionis. PFA akhirnya diterima sebagai anggota penuh FIFA. Klub-Klub Arab-Palestina dianaktirikan dan kemudian mendirikan federasi sendiri bernama Arab-Palestinian Sports Federation (APSF) pada 1931.
Pada perjalanannya, kompetisi dan timnas yang dibentuk APSF menjadi wadah dalam menghimpun semangat nasionalisme. Pada pemberontakan Arab-Palestina pada 1936-1939, APSF dibekukan oleh Pemerintah Mandat karena hal tersebut. Klub-klubnya dipaksa melebur ke kompetisi PFA. Merasa semakin termarginalkan, klub-klub APSF kembali mendirikan federasi sendiri dengan nama baru, Palestine Sports Federation (PSF) pada 1944.
Pasca-Nakba (1948), PFA sudah tidak lagi tedeng aling-aling menamakan diri sebagai Israel Football Association (IFA). Wadah persepakbolaan Palestina kemudian menggunakan nama PFA. Dengan dukungan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), PFA akhirnya mendapat pengakuan penuh FIFA pada 1998.
Ketika diwawancara Guardian pada Juli 2022, Noureddine Ould Ali, manager Timnas Palestina, menuturkan bahwa ada tantangan tersendiri ketika menangani Timnas Palestina. Pasalnya, pemain-pemain yang terpilih mewakili timnas tidak bisa dengan bebas keluar dari Jalur Gaza ataupun Tepi Barat. Mereka harus menghadapi pemeriksaan di titik-tiitk pengecekan Israel. Tidak jarang mereka tidak mendapat izin keluar.
Pada November 2006, Timnas Palestina seharusnya bertandang ke Singapura untuk melakoni laga terakhir di Grup A Kualifikasi Piala Asia 2007. Namun, izin keluar skuad Palestina ditolak oleh pemerintahan Zionis. Alhasil skuad Palestina tidak bisa terbang ke Singapura dan mereka didiskualifikasi. Pada Oktober 2007, kejadian yang sama terulang. Skuad Palestina kembali tidak mendapat izin keluar ke Singapura, kali ini dalam leg ke-2 Kualifikasi Piala Dunia 2010. AFC menolak penjadwalan ulang dan mengganjar Singapura kemenangan WO 3-0.
Sepakbola di Tengah Konflik
Selain penolakan izin keluar, kematian pemain Timnas Palestina karena agresi Israel juga menjadi tantangan tersendiri. Mengutip harian Falistin, Issam Khalidi menyebut beberapa pemain sepakbola Palestina 40-an yang meregang nyawa karena agresi militer Israel, baik yang sipil, ataupun mereka yang merangkap sebagai kombatan.
Zaki al-Darhali, sayap kiri Timnas era PSF, dan Sa’id Shunayr, sekretaris PSF regional Jaffa, tewas karena serangan bom Israel di gedung pelayanan sosial Jaffa. ‘Arif al-Nu’man, pemain klub al-Ittihad al-Qurawi, tewas di Yerusalem karena luka yang didapat di peperangan. ISC Jaffa pernah kehilangan Muhammad al-Naqa. Pemain berusia 22 tahun ikut menjadi kombatan dalam pertempuran di Abu Kabir dan gugur di dalamnya.
Kendati proklamasi kemerdekaan Palestina sudah dideklarasikan sejak 1988, namun invasi Israel yang menyasar sipil terus berlangsung. Tariq al-Quto, Ayman Alkurd, Shadi Sbakh, dan Wajeh Moshtahe adalah sederet pemain Timnas Palestina yang menjadi korban infasi Israel periode 2007-2009.
Menjadi warga negara yang terjajah bisa jadi membuat para pemain Palestina merasa terpanggil untuk ikut angkat senjata. Bahkan, menurut Ibrahim Rabaia dalam memonya, “Beyond the Game: The Politics of Palestinian Football,” salah satu klub PSF, Islamic Sports Club Jaffa membentuk milisi El-Najada pada 1944 untuk menjaga keamanan kota dari serangan tentara Zionis. Beberapa pemain Timnas Palestina di era mutakhir diketahui punya ‘job-side’ sebagai kombatan, di antaranya Mahmoud Sarsak (Gerakan Jihad Islam Palestina), Abu Rwayyis dan Sameh Maraba (Hamas).
Karena penjajahan Israel bersifat ekspansif, tak jarang ada sebuah wilayah yang merupakan kandang klub Arab-Palestina harus jatuh ke tangan Israel. Salah satunya Kota Sakhnin, kandang klub Ihoud Bnei Sakhnin. Klub hasil merger Maccabi Sakhnin dan Hapoel Sakhnin ini, dengan dukungan finansial dari Qatar, menjadi klub Arab-Palestina tersukses di Liga Israel.
Selain cukup konsisten bertahan di kasta tertinggi liga, klub yang berdiri pada 1991 itu berhasil memenangkan piala liga musim 2003-2004 dan Piala Toto musim 2020-2021. Uniknya, ketika memenangkan piala liga, klub yang bermarkas di Doha Stadium mendapat ucapan selamat dari pihak Palestina yang diwakili Yasser Arafat dan juga pihak Israel yang diwakili Ariel Sharon.
Abbas Suan, pemain tengah Bnei Sakhnin berdarah Palestina, menjadi pahlawan Timnas Israel saat menghadapi Irlandia setelah mencetak gol penyeimbang di menit 90. Gol ini menjaga asa Israel untuk lolos Piala Dunia 2006. Meski dipuja publik Israel, Suan tetap konsisten menolak menyanyikan lagu kebangsaan Israel sebelum pertandingan.
Menurut Rebecca Alpert dalam artikelnya, “Religion, Sport, and Statehood on Public Stage: The Story of the Palestinian-Israeli Football Team,” momentum ini dimanfaatkan Israel sebagai propaganda bahwa dengan adanya integrasi pemain professional berdarah Palestina ke Timnas Israel, itu menandakan bahwa Israel adalah bangsa yang akomodatif terhadap minoritas.
Propaganda ini dengan sendirinya luntur dengan adanya La Familia, kelompok pendukung Beitar Jerusalem. Bagi representasi Partai Likud di kalangan fans sepakbola ini, penerimaan terhadap Sakhnin adalah sebuah pengkhianatan. Israel adalah tanah Yahudi dan orang non-Yahudi tidak berhak mewakilinya. Mereka juga tidak setuju jika ada pemain Arab atau Muslim bermain untuk klub mereka. Mereka juga beranggapan bahwa pertandingan Beitar Jerusalem versus tim-tim Arab-Palestina sebagai sebuah peperangan.
Bnei Sakhnin sendiri, awalnya hanya fokus pada pencapaian klub dan individu pemain. Namun, sejak 2011, Ultras Sakhnin 2003 (US03) mulai menyuarakan perlawanan lewat pengibaran bendera Palestina serta pemasangan baliho bernada protes atas penjajahan Israel. Tak sampai di situ, US03 juga menyebarkan gagasan Palestina merdeka lewat media sosial. Pertemuan dua tim ini begitu panas mengingat ideologi keduanya yang begitu bertentangan. [NH]
Baca Juga: Meluruskan Salah Kaprah tentang Israel dan Palestina