Pertandingan sepakbola antara Inggris melawan Bulgaria beberapa hari yang lalu menyisakan sebuah pertanyaan besar. Apakah rasisme sudah begitu mengakar dalam kehidupan manusia?
Pada sebuah momen, Tyrone Mings, bek asal klub Aston Villa, berjalan menuju asisten wasit. Tampak ia merasa tidak nyaman dengan ungkapan rasisme yang diterimanya. Setiap kali pemain debutan tim nasional Inggris itu membawa bola, siulan menirukan suara monyet langsung bergema di stadion.
Mings menjawab ejekan itu dengan performa apik di lapangan. Ia membantu pertahanan Inggris untuk mencatatkan clean sheet bersama Harry Maguire. Inggris menyudahi laga denga skor sangat telak, 6-0. Namun kasus rasisme ini kembali menjadi perbincangan di dunia internasional.
Pasalnya kasus Mings bukanlah hal yang baru. Dalam kurun beberapa bulan terakhir, isu rasisme terjadi secara bergantian. Koulibaly, Lukaku, dan Paul Pogba adalah sebagian pemain yang mendapatkan perlakuan rasis, terutama ketika mereka bertanding dalam performa apik di kandang lawan. Kebanyakan nama-nama yang mendapat perlakuan rasis ini berkulit hitam. Padahal isu rasisme sudah menjadi perhatian FIFA. Say no to racism menjadi slogan FIFA setiap menyelenggarakan pertandingan.
Hal yang sama terjadi di negeri kita. Beberapa bulan terakhir isu rasisme membuat sebagian wilayah membara. Kasusnya sama. Orang berkulit hitam diidentikkan dengan kera atau monyet.
Kejadian di Bulgaria dan Indonesia menandakan rasis tidak mengenal latar belakang. Rasis adalah rasis. Ia lahir dari jiwa yang merasa kalah dan tidak bisa membalas dengan bahasa yang positif. Akhirnya, rasis diekspresikan sebagai bentuk kekalahan paling telak, dan sialnya rasis memiliki daya rusak sangat tinggi.
Kurang lebih setahun yang lalu, saya berkunjung ke benua Afrika, tepatnya negara Kenya. Ini pengalaman pertama saya menjadi minoritas di negeri orang. Kenya merupakan negara bekas jajahan Inggris yang mayoritas penduduknya berkulit hitam dan memeluk agama Kristen. Sedangkan saya memeluk agama Islam.
Isu rasisme ternyata juga terjadi di sana. Masyarakat Kenya kenyang dengan perlakuan rasis. Di tengah kota Mombasa misalnya terdapat lonceng besar yang dulunya digunakan sebagai tanda apabila ada pasukan kolonial datang untuk memburu warga. Ketika lonceng berbunyi, mereka akan bersembunyi. Memburu? Ya, memburu. Warga berkulit hitam dianggap sebagai gen budak yang bisa diperjualbelikan.
Momen paling menyedihkan ketika saya mengunjungi sebuah tempat bernama slave cave atau goa budak. Goa ini terletak di distrik pesisir (Coast). Di goa yang tidak begitu luas, dulunya warga yang ditangkap disimpan terlebih dahulu. “More than 500.000…” begitu sebut tour guide kepada rombongan kami.
Goa tersebut berada di tepi pantai. Pengap. Sumber cahaya hanya ada satu, yaitu lobang di atap goa selebar satu hingga dua meter. Di titik itulah saya merasakan betapa kejamnya rasisme.
“Who did this?” tanya saya. Betapa terkejutnya saya ketika tour guide menyebut nama kerajaan Inggris beserta kesultanan Tanzania berkongkalikong untuk menjual masyarakat Kenya sebagai budak. Saya buru-buru menyingkir dari kerumunan karena tidak tega dengan kisah pilu yang diceritakan. Seketika hati remuk rasanya, melihat manusia diperlakukan sedemikian rupa. Sebagai catatan, Mombasa yang tadi saya singgung merupakan salah satu kota dengan penduduk mayoritas Islam. Ternyata mereka turut dijual oleh kerajaan yang menyebut dirinya sebagai kerajaan Islam.
Sekali lagi, rasis adalah rasis. Ia tidak mengenal agama.
Bukankah perbudakan itu diakui? Tentu saja, jika kita membaca perbudakan sebagai sebuah cerita di literatur keagamaan. Namun jika kita melakukan kontekstualisasi, sebenarnya perbudakan adalah perilaku jahiliyah yang ingin dikikis oleh Islam sebagai agama kemanusiaan.
Nabi Muhammad adalah pelopor penghapusan perbudakan. Jauh sebelum Abraham Lincoln mendeklarasikan penghapusan perbudakan, Nabi memberikan tempat yang istimewa bagi seorang mantan budak untuk melafalkan azan kali pertama. Bilal bin Rabbah namanya. Lafal azan itu terus dikumandangkan untuk menandai masuknya waktu salat di seluruh dunia hingga hari ini. Hukum-hukum Islam banyak mensyarakatkan memerdekakan budak sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.
Bagaimana rasis bisa kita hilangkan dari kehidupan ini? Entahlah. Teori-teori sosial belum bisa menjawab persoalan laten ini. Pembentukan identitas pada satu orang berimplikasi pada terciptanya identitas bagi orang lain. The others. Liyan. ‘Ajam. Tidak semua orang mampu membaur dengan identitas yang disebut liyan itu.
Namun sebagai seorang muslim, kita bisa mengikuti petuah Nabi Muhammad ketika Haji Wada’. Nabi mengemukakan sebuah pesan yang universal, bahwa tidak ada orang yang derajatnya lebih tinggi. Baik orang Arab atau ‘Ajam (non-Arab) memiliki status sosial yang sama. Baik kulit merah atau kulit hitam memiliki drajat yang sama. Apa yang membedakan? Nabi menjawab: ketakwaan.
Takwa adalah model hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT. Hanya Allah pula yang bisa menilai siapa yang tinggi tingkat takwanya. Dalam hubungan horizontal, manusia diajarkan untuk memandang sama dengan manusia lainnya. Wallahua’lam.