Seorang penceramah dengan sangat yakin menjelaskan makna “terselubung” di balik lagu Balonku yang sangat terkenal itu. Terhijab oleh lirik yang riang, lagu anak tersebut dinilai oleh si penceramah sebagai menyimpan ideologi yang merugikan umat Islam. Ia mempertanyakan, mengapa yang meletus warna hijau?
“Lho, Islam bikin kacau saja,” ujarnya.
Ruwet kalau sudah sampai kubu sono~ pic.twitter.com/putwYicJMN
— Rumail Abbas (@Stakof) June 11, 2020
Sang penceramah melanjutkan tentang lagu yang ‘membenarkan’ umat Kristiani, yaitu naik-naik ke puncak gunung. Lirik ‘puncak’ dan ‘kiri kanan’ ia praktikkan seolah membentuk ‘tanda salib’, sebuah gerakan yang biasa dilakukan oleh sebagian umat Kristiani. Ia lalu membubuhinya dengan pohon cemara sebagai simbol ideologis
“Kenapa cemara? Kenapa tidak pohon yang lain. Padahal di Sumatera banyaknya pohon sawit,” katanya. Sementara di Jawa, semestinya pohon pisang. Tetapi mengapa yang dipakai adalah pohon cemara, pohon impor yang identik dengan natal?
Unik memang. Pohon cemara bagi sebagian umat Islam dianggap sebagai pohon Kristen. Padahal kalau mau fair dan ditarik sejarah lebih jauh, justru kurma seharusnya jadi pohon Kristen karena sebagian riwayat menceritakan Isa Al-Masih dilahirkan di bawah pohon kurma. Ntah kenapa sebagian umat kok hobi mengkristenkan benda-benda dibanding umat Kristen sendiri.
Saya tidak mau gegabah untuk ikut marah-marah dengan potongan ceramah itu. Apakah itu hanya lelucon atau memang pernyataan serius? Tentu video tersebut harus ditonton full terlebih dahulu untuk memahami konteks ceramahnya. Apalagi jemaah yang menyimaknya tertawa, entah karena materinya lucu, atau memang mereka menganggap pernyataan sang penceramah sebagai bahan candaan belaka.
Mula-mula, sang penceramah menyinggung Darwinisme. Lha kok ujug-ujug ndlewer bahas lagu anak sampai segitunya.
Meski demikian, saya terpacu untuk mencari informasi mengenai lagu anak-anak yang sering saya nyanyikan saat kecil tersebut. Saya sendiri tidak pernah tahu siapa si empunya lagu. Benarkah kedua lagu favorit anak 90-an itu anti-Islam sebagaimana disinggung oleh sang penceramah?
Dari penelusuran singkat melalui mesin pencarian Google, dapat ditemukan bahwa pencipta lagu ‘Balonku’ adalah Abdullah Totong Mahmud alias A.T. Mahmud. Ia lahir pada tahun 1930 dan wafat pada tahun 2010.
Masyhur sebagai seorang seniman pencipta lagu anak, beberapa lagu terkenal seperti ‘Ambilkan Bulanku’, ‘Aku Anak Indonesia’, ‘Libur Telah Tiba’, dan ‘Anak Gembala’ adalah beberapa di antara ciptaannya.
Seiring berjalannya waktu, A.T. Mahmud diminta untuk menciptakan lagu-lagu anak bernuansa islami. Sebuah penerbit kemudian membukukan lagu-lagunya dengan judul Mustiqa Dzikir Nyanyian Islami Berdasarkan Hadis Rasulullah.
Sampai di sini, logika saya tidak sampai apabila seniman yang mendapat banyak penghargaan itu punya agenda menjerumuskan umat Islam dengan lagu-lagunya.
Lalu, bagaimana dengan nasib lagu ‘naik-naik ke puncak gunung’?
Ternyata lagu ini diciptakan oleh komposionis pencipta lagu legendaris bernama Saridjah Niung alias Ibu Sud. Ya, benar, ia juga yang menciptakan ‘Berkibarlah Benderaku’, ‘Burung Kutilang’, ‘Himne Kemerdekaan’, ‘Naik Delman’, ‘Tik Tik Bunyi Hujan’, dan tentu saja lirik syahdu ini:
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biar pun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Lahir pada tahun 1908, ia mengalami masa-masa sulit era penjajahan di negara ini. Meski demikian, Ibu Sud adalah seorang muslimah yang memiliki pencapaian gemilang. Salah satu yang dicatat sejarah ialah ketika dirinya mengiringi W.R Supratman menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ untuk pertama kali pada tahun 1928 dengan biolanya.
Ibu Sud sempat menjadi pengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, lembaga pendidikan kalangan ningrat. Di akhir usianya, Ibu Sud terus berupaya mencipta lagu dan melestarikan seni batik. Ia meninggal pada tahun 1993. Dengan portofolio demikian, apakah Anda akan percaya dengan tuduhan Ibu Sud bermaksud buruk terhadap Islam?
Di Balik Lagu Anak
Saya sangat bersepakat bahwa di balik sebuah produksi budaya—termasuk lagu—tersimpan sebuah ideologi. Namun perlu dipahami bahwa ideologi tidak bisa dilihat sekenanya. Harus ada penelusuran terkait konteks bagaimana sebuah produksi budaya itu dilakukan. Tanpa memahami hal tersebut, yang terjadi hanyalah tuduhan fiktif, tidak valid, dan secara akademik akan otomatis tertolak.
Tentu saja, berpendapat tanpa melakukan telaah bukanlah budaya Islam yang berjasa karena tradisi keilmuannya. Semestinya, sebelum melemparkan pernyataan lagu itu, sang penceramah harus mengawali dari fenomena. Benarkan anak-anak yang dibesarkan oleh ‘Balonku’ dan ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’ menjadi orang yang sangat membenci Islam?
Saya membandingkan dengan temuan seorang peneliti yang pernah mencoba menggunakan ‘Balonku’ sebagai media menyampaikan materi. Keceriaan dan antusiasme diperlihatkan oleh siswa saat diajak bernyanyi bersama. Dampaknya, mereka bisa lebih mudah dalam memahami materi.
Sebagai generasi yang dibesarkan oleh ‘Balonku’, saya sendiri tidak merasa lagu tersebut membawa efek negatif, apalagi sampai membenci Islam. Pun dengan ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’, saya menikmatinya layaknya menyanyikan lagu anak lain yang diciptakan dengan sepenuh hati di masanya.
Bahkan, untuk kepentingan persuasif kepada anak-anak, ketika dulu belajar di madrasah diniyah, ustad dan ustadzah saya menggunakan gubahan lagu ‘Balonku’ yang liriknya diganti dengan rukun Islam.
Rukun Islam yang lima
Syahadat, shalat, puasa
Zakat untuk si papa
Haji bagi yang kuasa
Siapa tidak shalat? Hoy!
Siapa tidak zakat
Merugi di akhirat
Nanti Allah melaknat
Lagu ini juga berjasa dalam memudahkan saya menghafal nama-nama 25 Nabi dan Rasul yang wajib diketahui umat Islam.
Terbukti, dengan menggunakan media lagu, materi tersebut terngiang hingga hari ini. Ketika tak sengaja lewat di depan segerombol anak-anak yang menyanyikan lagu itu pun ingatan saya langsung menuju masa kecil belasan tahun silam.
Para audiens penceramah pun—sebelum mendengarkan pemaparannya—bisa jadi sama seperti saya. Setelah mendengarkan isi ceramah itu, justru bibit kebencian mulai muncul. Pertama, sebagian orang akan menuruti pendapat si penceramah dan mulai membenci lagunya. Kedua, orang-orang yang menganggap penceramah ngawur dan kemudian menghujatnya habis-habisan.
Lagu anak memang mengandung daya ‘magis’ yang hebat. Untuk itu, sebagai umat Islam, kita semestinya beruntung memiliki tokoh sekaliber A.T. Mahmud dan Ibu Sud yang mengabdikan hidupnya untuk menciptakan lagu-lagu yang menemani masa kecil kita.
Di titik ini saya setuju dengan Twit Habib Husein Jafar. Jika enggan mengirimkan hadiah Al-Fatihah, lebih baik kita tidak berupaya memfitnah. Untuk kedua pencipta lagu tersebut, lahumal fatihah….
BACA JUGA Fenomena Ustaz Malpraktik yang Menyebut Lagu Balonku Sebagai Ajaran untuk Benci Islam Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya Di Sini