Seno Gumira Ajidarma (SGA) bagi saya adalah seorang guru yang telah mengajari banyak hal, walaupun tidak secara langsung. Perkenalan saya dengannya pertama kali melalui buku kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Masagung tahun 1988. Yaitu Manusia Kamar dan 14 cerpen lainnya. Lalu, bukunya masih saya simpan hingga hari ini adalah Penembak Misterius (Pustaka Grafiti 1993), Saksi Mata (Bentang 1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (Subentra Citra Pustaka 1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Gramedia 1996), dan Jazz, Parfum dan Insiden (Bentang 1996).
Tentu saja Manusia Kamar adalah yang paling mengesankan buat saya. “Pada usianya yang ke-20 ini, ia mulai memasuki periode sinis kepada dunia. Aku telah mengenalnya semenjak ia mulai mengenal dirinya sendiri. Ia muak melihat kepalsuan-kepalsuan di sekelilingnya. Aku bilang padanya, dalam kehidupan itu semua biasa. Ia bisa mengerti, tapi tak bisa menerima.” Itu adalah paragraf pembukanya.
Yang kemudian disambung, “Lima tahun yang lalu ia masih hidup dengan penuh harapan. Tapi yang penting mungkin bukan sekedar harapan. Yang penting adalah kenyataan, dan kenyataan telah membuatnya kecewa. Ia mulai jenuh dengan basa-basi. Sikapnya mulai kasar dan terang-terangan. Banyak kawan mulai sakit hati, dan akhirnya ia tersingkir.”
Cerita si aku terus mengalir, “Aku hanya sekali-sekali saja berjumpa dengannya karena kau tahu, kesibukan makin hari makin bertambah. Mungkin cuma aku yang mengerti persoalannya. Ia menghindari persahabatan, aku maklum, persahabatan terkadang bisa membunuh. Ia terasing dan kesepian. Tampaknya ia lebih suka demikian karena telah jadi pilihannya. Ia bahagia dalam ketidakbahagiaannya atau ia tidak bahagia dalam kebahagiaannya. Ia memang suka berfilsafat. Aku sering bingung mendengar kata-katanya, tapi tetap mencoba menanggapinya. Jika sudah kenal, berbicara dengan dia amat menyenangkan. Pengetahuannya luas dan apa yang dikatakannya sering tidak terbantah.”
Dan, begitulah seterusnya hingga sepanjang 11 halaman. Sebuah cerita pendek yang cukup panjang memang, namun SGA dengan lincahnya meramu pelbagai peristiwa yang dialami oleh sang tokoh dan si aku yang bercerita dengan sedemikian rupa, hingga memaku pembacanya karena terpukau. Ya, setidaknya begitulah yang saya alami saat membacanya pertamakali. Sebagai pembaca yang kala itu masih berusia belasan tahun, saya banyak menemukan pelajaran berharga dari kisah tentang Manusia Kamar itu.
Putra Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, yang lahir pada hari Kamis Kliwon 19 Juni 1958 di Boston ini adalah sosok pembangkang. Sewaktu SD, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong.
Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, SGA tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya.
Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, SGA pun pulang dan meneruskan sekolah.
Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA yang boleh tidak pakai seragam. Supaya ia bisa bercelana jins, dan tetap membiarkan rambutnya gondrong. Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro.
Walau tak mengerti tentang drama, dua tahun SGA ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N. Lalu dia melihat WS Rendra yang gondrong, yang kerap tidak pakai baju, tapi istrinya cantik (Sitoresmi). “Itu kayaknya dunia yang menyenangkan,” katanya.
Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, SGA pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar. Semua pada ngenyek SGA sebagai penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli.
SGA tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Tembus juga. Umurnya baru 17 tahun tetapi puisinya sudah masuk Horison. “Sejak itu aku merasa sudah jadi penyair,” kata SGA bangga. Sejak saat itu ia kemudian menulis cerpen dan esai tentang teater.
Jadi wartawan, awalnya karena menikah muda pada usia 19 tahun dan untuk itu ia butuh uang. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. “Nah, dari situ aku mulai belajar motret,” ujar pengagum pengarang R.A. Kosasih ini.
Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Tapi mau jadi seniman. Seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong.
“Tapi, kemudian karena seniman itu harus punya karya maka aku buat karya,” ujar SGA disusul tawa terkekeh.
Demikian profil singkat SGA yang saya kutip dari Pusat Data dan Analisis TEMPO.
Himbauan SGA untuk Nahdlatul Ulama
Dalam rangka harlah Nahdlatul Ulama ke-91 tahun ini, SGA diundang oleh Lesbumi untuk Ngaji Sejarah dan Sinema sebagai nara sumber bersama Dr. Hilmar Farid, KH Agus Sunyoto, dan Tino Saroenggallo. Di akhir acara diskusi yang dimoderatori oleh Noe Letto itulah SGA menyampaikan himbauannya untuk NU sebagai berikut.
“Saya kira, saya punya kesempatan untuk menghimbau NU ini sebetulnya. Dalam konteks media baru ini ya. Jadi kita tahulah, sekarang ini kita dalam periode sangat anu ya, satu krisis sebetulnya. Dimana Islam atau agama itu dimanipulasi untuk kepentingan politik, dengan niat yang jangan-jangan kurang baik.
Kata jangan-jangan terlalu halus kan? Saya itu menunggu-nunggu, mbok NU melawan itu. Kapan NU itu berbuat, bertindak? Kan, terandaikan dia secara tradisional itu paling tahu tentang Islam. Kapan dia membantai semua pemahaman radikal yang keliru itu?
Radikalisme itu kan baik-baik saja, tetapi bukan yang sektarian. Begitu kan? Tapi tidak semua orang dengan mudah mengerti ini, karena tidak punya kesempatan belajar. Nah, NU itu kan punya pengalaman bagus dengan dakwah, aktivitas mengajar, segala macam. Yang sekarang itu bisa dibergandakan dengan media baru, dibantu oleh teman-teman yang seideologilah. Apa ideologinya? Bahwa hoax itu merugikan, misalnya. Mengapa merugikan, karena kita tidak bisa membedakan yang benar dan yang salah, yang bohong dengan yang nyata.
Kapan itu? Saya kira kita tidak perlu menunggu belajar lama-lama lagi. Saya kira sudah waktunya. Agar banyak orang tidak lagi dibingungkan oleh begitu banyak—terpaksa dengan segala hormat saya sebut—nabi-nabi palsu. Yang dengan ilmu kethoprak berhasil memesona segala kalangan dan berbagai lapisan. Saya kira itu kerugian besar. Kenapa kita masih sebodoh itu?
Penggunaan media telah memperbodoh kita, dan itu bisa dilawan dengan sama besarnya. Bahkan bisa dilawan dengan lebih berganda, tapi harus dilakukan segera. Jadi ilmu sabarnya ditamatkan dulu, dan sudah waktunya berbuat. Sebelumnya tadi disinggung wayang dari zaman Ramayana, maka di sini saya mengutip Mahabarata. Dimana Yudhistira saja akhirnya memutuskan perang Baratayudha, dan kita pun harus! Mengapa tidak?” Teg