“Complaining to God is not difficult. The Challenge is eliciting a satisfactory response”
Ungkapan itu saya dapat ketika membaca buku Prof. Ingrid Mattson berjudul The Story of The Qur’an. Tentu saja ia punya konteks.
Diceritakan bahwa seorang sahabat perempuan mengadu kepada Nabi Muhammad SAW perihal urusan rumah tangga. Nama perempuan itu adalah Khawlah binti Tsa’labah.
Meski demikian, Khawlah tak kunjung mendapat jawaban dari Nabi Muhammad SAW. Bagi Nabi Muhammad, setiap sabda atau ketentuan—utamanya menyangkut aspek yuridis— haruslah menunggu wahyu dari Allah.
Di pihak lain, Khawlah tidak bisa menunggu terlalu lama. Perkaranya barangkali terlalu sulit sebab melibatkan otoritas adat yang dianggapnya tidak adil terhadap hak-hak perempuan.
Khawalah pun kini merasa jengah. Ia menerabas mekanisme umum, mengadukan sendiri persoalannya kepada Allah selepas sembahyang. Secara ajaib, Gusti Allah lalu menjawab doanya sebagaimana terekam dalam al-Quran surah Mujadilah ayat 1-2.
Jadi, seperti ungkapan di atas, “mengadu kepada Tuhan itu sungguhlah mudah. Masalahnya adalah bagaimana Tuhan menjawabnya!!”
Dalam buku lain yang baru saja saya baca, (Habib) Husein Ja’far Al-Hadar seolah melengkapi ungkapan tersebut.
Dengan “Seni Merayu Tuhan”, Habib Husein mendedah bagaimana agar umat Muslim mampu secara otonom mengakrabi Tuhan sepeninggal Nabi Muhammad SAW lima belas abad silam.
Misalnya adalah petuah-petuah yang kerap Habib Husein sematkan di banyak tempat di bukunya. Beberapa di antaranya adalah petuah satu tokoh sufi terkemuka, Hasan Al-Bashri, yang mengajarkan “kalau kau ingin Tuhan bicara denganmu, bacalah Al-Quran. Kalau kau ingin bicara dengan Tuhan, berdoalah.”
Doa barangkali merupakan diferensiasi paling dasar antara umat beriman dan yang tidak beriman. Dengan berdoa, manusia pada dasarnya memiliki harapan, kendatipun juga ekuivalen dengan kekecewaan. Yang terakhir ini sudah tentu bergantung pada bagaimana kita melihat dan memposisikan “doa”.
Biasanya mereka yang kecewa ketika Tuhan dianggap tidak mengabulkan doa-doanya adalah umat-umat ritualis yang—oleh Habib Husein disebut sebagai—kurang bersyukur di tengah samudra deposit nikmat Tuhan.
Contohnya di Indonesia adalah beberapa saudara seiman saya yang baru saja mengalami reislamisasi dalam udara dakwah dengan ciri hampir melulu peribadatan murni dan nyaris tidak menyentuh aspek kritik sosial-kemasyarakatan.
Biasanya perubahan ekstrem yang terjadi adalah di level visual, circle, dan memperpanjang bacaan surah pilihan kalau menjadi imam shalat maghrib di mushola/mesjid umum dengan angan-angan bahwa kadar keimanannya telah meloncat drastis laksana kualitas Khalid bin Walid ketika pertama kali menunggang kuda untuk barisan umat Muslim melawan serdadu Romawi.
Di sisi lain, jika seseorang terlalu mengarus-utamakan ibadah formal (mahdhah) berdasarkan matematika pahala, sambil meniscayai secara berlebih bahwa amal ibadahnya mampu menutupi segala lebam-lebam keimanan, maka ia termasuk jenis ritualis kedua. Demikian, misalnya, fenomena seorang koruptor naik haji atau membangun masjid megah di kota-kota besar. Hal ini lebih detail dibahas oleh Habib Husein dalam esai khusus berjudul “Rayuan untuk Tuhan”.
Kembali ke pasal doa. Ada yang lebih mendasar dari peristiwa doa. Alih-alih menautkan harapan, berdoa adalah sebuah kesemestian bagi umat Muslim (Q.S. al-Baqarah: 186). Istilah agak ilmiahnya adalah tindakan performatif.
Doa adalah penanda paling fundamental dari seberapa serius kualitas keimanan seseorang, sehingga bukan saja menyerahkan segala ketentuan kepada Tuhan, tetapi juga mendorong subjek yang berdoa untuk melakukan sebuah aksi yang dengannya sebuah doa layak untuk dikabulkan.
Mari kita ambil contoh dari Piala Dunia Qatar 2022 dengan Timnas Maroko sebagai kasus paling aktual dan mungkin relevan.
Sejak awal laga Timnas Maroko selalu melibatkan doa (ibu) yang dianggap memiliki peran penting di balik seluruh kemenangan yang diraihnya.
Meski demikian, yang lebih penting adalah mereka juga bersiap, bermain, dan berusaha sebaik yang mereka bisa. Maka ketika merayakan kemenangan demi kemenangan, Timnas Maroko tidak akan serta merta menganggap bahwa ini merupakan mukjizat Tuhan.
Sebaliknya, itu juga berarti kalau mereka kalah maka bukan Tuhan-lah penyebab tunggalnya. Buktinya adalah respons ketika Timnas Maroko pada akhirnya harus tersingkir setelah kebobolan dua gol tanpa balas dari Timnas Prancis di babak semi-final. Apakah doa mereka sia-sia?
Saya kira tidak. Dengan haqqul yaqin, segala doa-doa yang dilangitkan untuk dan oleh kesebelasan Maroko itu merupakan seni merayu Tuhan dan bukan untuk mendikte-Nya. Ini bisa kita terawang dengan sangat benderang lewat pernyataan Achraf Haikimi sejurus setelah kalah dari Timnas Prancis.
“… We have to be proud of what we have done. We fought until the last second and we leave with our heads held heigh. We will continue to try and give our all for this nation …,” ujarnya lewat akun instagram.
Kira-kira terjemahnya begini: Kita harus berbangga terhadap apa yang telah kita kerjakan. Kami berlaga hingga detik terakhir pertandingan dan meninggalkan lapangan dengan tegar. Kami akan terus berusaha memberi yang terbaik untuk bangsa ini…
Dari situ kita segera tahu bahwa sama sekali tidak ada kepongahan, atau penyesalan, atau upaya menyalahkan Tuhan. Yang ada justru letupan rasa syukur sekaligus pernyataan evaluatif agar tetap memantaskan diri untuk mempersiapkan sebaik mungkin pertandingan berikutnya.
Lagian, Tuhan barangkali akan segan juga memberi keajaiban bagi mereka yang tidak (mau) berusaha. Mau sengotot apapun antum melakukan istighosah, nomor punggung +62 sudah tentu mustahil jadi kampiun atau bahkan bermain di Piala Dunia kalau ia sendiri tidak mau berbenah.
Data Buku
Judul : Seni Merayu Tuhan
Penulis : Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit : Mizan Pustaka (2022)