Tepat di malam Natal, saya dan teman-teman menghadiri diskusi yang diadakan kawan-kawan penggiat seni di Kalimantan Selatan. Diskusi tersebut mengambil tema “Seni & Agama: Terpisahkah?” yang dipantik oleh dua orang yang berkompeten dalam persoalan ini. Pemantik pertama berlatar ahli sejarah peradaban Islam, sedang pemantik kedua adalah pelaku seni rupa dan penggiat juga pelaku ilmu tasawuf.
Diskusi yang diadakan di kawasan Taman Budaya Kalimantan Selatan ini cukup mendapatkan antusias dari banyak orang, baik pelaku seni, guru seni hingga teman-teman yang selama ini bergerak dalam bidang keagamaan. Perbincangan yang dimulai dari pemantik pertama, yang menguraikan bagaimana seni dalam rentang sejarah Islam.
Sedangkan pemantik kedua, lebih banyak bicara teori dan aplikasi seni dalam kajian agama Islam. Di sinilah kekurangan pertama yang dirasakan pada saat diskusi ini dimulai, yaitu kedua pemantik dalam posisi yang sama yaitu seni dan agama Islam. Kalimantan Selatan yang disebut-sebut sebagai daerah relegius dengan penganut muslim mayoritas, mungkin kekurangan ini tidak menjadi masalah. Namun, kekurangan ini terasa sebab diskusi ini hanya akan berasa sangat “Islami”.
Yang saya pantau dalam diskusi ini, sebenarnya kekurangannya adalah masih berkutat “halal-haram”nya seni dalam Islam. Sedangkan, saya sangat menginginkan diskusi ini sudah membincangkan bagaimana narasi “seni Islam(i)” ini dibincangkan oleh para pelaku seni saat ini. Diskusi ini menjadi menarik minat saya disebabkan karena budaya pop saat ini menjadikan pertarungan seni yang beragama dengan yang tidak berkait dengan agama mendapatkan kesempatan yang berimbang.
Oleh sebab itu, diskusi soal “Seni & Agama” seharusnya tidak lagi atau cuma berbicara soal boleh-tidak, halal-haram, atau berfaidah-tidaknya seni tersebut. Sebab dalam masa sekarang, masing-masing aliran seni mencoba eksis dengan merebutkan atensi dari para penikmat seni tersebut.
Inilah yang saya ingin bincangkan dalam tulisan pendek saya ini, diksi “Seni Islam (i)” seharusnya bisa kita bincangkan dalam tataran yang lebih luas lagi. Sebab hasil penerokaan saya sementara, “seni Islam” ini sekarang hanya dikuasai oleh sebagian pihak yang sebenarnya belum bisa dikatakan mewakili umat muslim yang begitu banyak ini.
Perbincangan apa itu “Seni Islam” sebenarnya tidak lagi menarik, sebab jika kita melihat di dunia nyata perbincangan ini sudah lama ditinggalkan atau paling tidak diabaikan. Dikarenakan, seni dalam dunia nyata selalu menjadi pelengkap kehidupan manusia. Oleh karena itu, perbincangan saat ini sudah bagaimana mengemas sebuah karya seni dalam bingkai yang diinginkan oleh pembuatnya.
Film yang sedang booming dan banyak sekali menyedot penonton, Ayat-Ayat Cinta adalah sebuah contoh yang pas untuk melihat bagaimana narasi “seni Islam” bisa dibawakan dengan sangat apik dalam bingkai budaya pop. Film ini menjadi pengantar pesan yang sangat bahwa budaya pop pun menjangkit ke seni yang diklaim “islami”.
Budaya pop atau budaya populer sebenarnya bisa diidentifikasi melalui gagasan budaya massa. Lahirnya media massa dan meningkatnya komersialisasi budaya dan hiburan telah menimbulkan berbagai masalah, kepentingan, sekaligus perdebatan.
Gagasan budaya massa ini ada tiga tema dalam perbincangannya. Pertama, budaya massa adalah budaya yang lahir dari orang awam sendiri sebagai salah satu bentuk ekspresi mandiri atas kepentingan mereka dan berbagai bentuk pengalaman mereka. Sedangkan tema kedua, berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan indutrialisasi terhadap budaya populer. Tema ketiga, menyangkut peran ideologis budaya populer.
Dalam tema pertama, perbincangan ini bertaut pada persoalan klaim atau relasi kekuasaan pada sebuah kebudayaan. Apakah sebuah kebudayaan akan dipaksakan oleh mereka yang berkuasa sebagai kontrol sosial? Atau budaya massa ini hanyalah sebuah perlawanan dari relasi kekuasaan yang selama ini mengsubordinasi mereka dalam berbagai narasi, terutama kebudayaan. Budaya massa ini sekarang ini memang sulit didefenisikan namun secara mayoritas ini adalah alat perlawanan dari resistensi mereka terhadap perdebatan budaya tinggi dan budaya rendah, resmi-tidak resmi, atau islami-non islami.
Untuk persoalan ini, jika kita kaitkan dengan apa yang dibincang soal “seni Islam”. Maka sekilas bisa kita dapati bahwa mereka yang sekarang ini mengklaim diri sebagai penyuplai seni islami melawan seni tinggi yang selama ini mendominasi dan menjadi standar dalam kesenian. Misalnya film yang diklaim film Islami mungkin secara kualitas perfilman standar Barat akan dinilai rendah. Namun inilah bagian perlawanan narasi dalam menyuarakan bagaimana seni Islam itu sendiri.
Tema kedua dan ketiga sangat berkaitan, antara komersialisasi dan industrialisasi juga ideologi akan menjawab apakah klaim menyuarakan Islam yang selama ini tersubodinasi atau mereka cuma menjadikan Islam sebagai komoditas dagang mereka sehingga menghasilkan keuntungan yang menggiurkan bagi mereka.
“Seni Islam” menurut saya memang mengalami kemajuan yang cukup pesat setelah budaya pop ini mendapatkan “angin segar” pasca semakin terbukanya ruang publik di era media massa dan media sosial ini. Dari fashion hingga film, menjadi alat pelantang suara mereka dalam “menyuarakan” Islam. Namun pertanyaan muncul, suara Islam yang mana disuarakan? Apakah mereka menyuarakan masyarakat muslim yang selama ini tertindas oleh sistem otoriter? Atau apakah mereka mengambil keuntungan dari usaha “menyuarakan” ini?
Pertanyaan inilah sebenarnya masih kita perlu tanyakan kepada mereka dan kepada kita selama ini mengatakan memperjuangkan Islam. Narasi “seni Islam” selama ini selama pengamatan saya hanyalah berupa menyuarakan Islam kelas menengah yang sebenarnya ini hanyalah sebuah ilusi. Karena sebenarnya, masyarakat muslim yang selama ini tertindas jarang sekali mendapat suara bahkan dalam kesenian, padahal jika kita menyitir semboyan agung “suara rakyat adalah panglima”.
Maka kita seharusnya menjadikan seni Islam sebagai suara kebebasan dari berbagai penindasan bagi muslimin. Bukan malah menjadi penindas yang baru dalam bingkai agama.
Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin…