Ada 8 slide yang diunggah BEM UI di akun Instagramnya. Dua slide kover pembuka bergambar meme Pak Jokowi, empat slide hasil kajian soal daftar riwayat kontradiksi Pak Jokowi, dan dua slide penutup. Unggahan itu viral.
Di Twitter, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rohman mencuit, “segala aktivitas kemahasiswaan di Universitas Indonesia termasuk BEM UI menjadi tanggung jawab pimpinan Universitas Indonesia.”
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kedeputian Kantor Staf Presiden, Donny Gahral mengatakan, “itu ekspresi dari adik-adik mahasiswa dan tentu ekspresi itu harus mengandung data dan fakta yang harus direspon dengan data dan fakta juga.”
Segera setelah unggahan BEM UI menuai banyak perhatian di media sosial, sebagian staf BEM UI dipanggil rektorat.
Rektorat menyebut bahwa unggahan itu multi-tafsir dan dapat mengarah pada pelecehan lambang negara. Amelita Lusita, Kepala Kantor Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, menambahkan, “…mahasiswa diharapkan melakukan dengan dengan cara yang tidak melanggar peraturan, atau disampaikan dengan cara yang tidak merendahkan. Dengan cara yang santun atau dengan cara yang patut.”
Selasa, 29 Juni 2021. Presiden Jokowi memberikan pernyataan resmi, “ya saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi, jadi kritik itu ya boleh-boleh saja. Universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat, kita ini memiliki budaya tatakrama dan budaya sopan santun. Saya kira biasa saja, mereka sedang belajar mengekspresikan pendapat.”
Apa yang dialami oleh BEM UI adalah sengketa antara kebenaran normatif versus kebenaran faktual. Di kolom komentar, audiens terbelah. Ada yang fokus pada kover, juga ada yang fokus pada substansi.
Yang fokus pada kover, mengatakan bahwa unggahan ini tak pantas, terlepas dari muatan yang dibawa. Sebaliknya, yang fokus pada isi, mengatakan bahwa unggahan ini adalah kritik yang substantif, terlepas dari bentuk kovernya.
Mana yang menang? Yang menang adalah kebenaran yang berkuasa. Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, sebagaimana corak kutipan-kutipan pejabat yang telah disebutkan di awal, kebenaran normatif jauh lebih dominan dibanding kebenaran faktual.
Tak bisakah kedua jenis kebenaran ini saling melengkapi? Bisa, tapi sayangnya, di manapun, politik sering sinis terhadap kebenaran faktual. Fakta dipilah-pilih, dipenggal, direkayasa, atau bahkan dieliminasi sepenuhnya.
Unggahan BEM UI memuat hasil kajian soal isu sensitif mengenai inkonsistensi Jokowi dalam hal kebebasan berpendapat, UU ITE, isu pelemahan KPK, RUU Ciptakerja yang riwayat faktanya merentang ke 2-4 tahun terakhir dengan akar yang berserabut. Subtansi ini tidak muncul di komentar para elit.
Mereka tak memasuki wacana soal apa yang sedang dibicarakan BEM UI dan apa yang sebenarnya terjadi, tapi memasuki wacana soal bagaimana seharusnya berbicara. Dengan kata lain, fakta tidak dipilah-pilih, dipenggal, direkayasa, atau dieliminasi. Tapi fakta, tidak diakui keberadaannya. Oleh karena itu, satu-satunya yang bisa didisiplinkan kuasa adalah kover meme.
Meme jadi wahana perselisihan antar dua generasi yang berbeda, yang mewakili dua kelompok berbeda―mahasiswa dan elit. Sebagian ada yang memandang bahwa meme adalah sampah informasi, yang memuat tendensi merendahkan, dan tak layak digunakan dalam komunikasi formal-institusional. Sebagian lain ada yang memandang bahwa meme adalah hiburan, perangkum fakta tersimple, dan punya daya tarik kuat dalam menembus market of attention di dunia digital.
Ketika protes kena represi (September 2020) dan berpendapat kena ancam (Ravio Patra), meme dapat menjadi komunikasi alternatif nan murah, yang selain bisa mengantarkan gagasan pada viralitas, juga dapat menjadi ‘sanksi sosial’ atau ekspresi kemarahan terhadap figur yang dikritik namun tak kunjung mendengar―di samping juga mengingat mahalnya biaya kebebasan berpendapat yang sering kali berbalas sepatu lars, memar di pelipis dan peretasan akun.
Meme mungkin dapat dibenturkan pada masalah normativitas analog, budaya sopan santun atupun aturan undang-undang, namun itu tak sebanding dengan dampak kemanusiaan yang diakibatkan oleh lubang tambang, pembungkaman, pertasan dan pelanggaran HAM yang ditutup dengan eufimisme. Dan tepat di sinilah masalah demokrasi kita.
Simbolis jauh lebih diseriusi dibanding substansi. Banyak yang tak terima ketika ada yang melakukan kekerasan terhadap simbol, namun sedikit yang tak terima ketika ada yang melakukan kekerasan terhadap kebenaran.
Kurang lebih sepanjang tahun 2020, The Conversation Indonesia menerbitkan sekitar 16 kajian ilmiah berbahasa jurnalistik soal bahaya dan ketidak-idealan UU Cipta Kerja. Semua artikel itu ditulis oleh beberapa pakar di bidang spesifik yang berbeda-beda.
Akan tetapi, saat pidato resmi di bulan Oktober atas respon demonstrasi #TolakOmnibuslaw di bulan September 2020, Jokowi mengatakan “namun saya melihat unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi disinformasi mengenai substansi UU ini dan hoaks di media sosial.”
Kekerasan terhadap kebenaran―yang menihilkan kemampuan baca mahasiswa, ilmuan, rekomendasi aktivis dan saran beberapa tokoh masyarakat atas penolakan UU Cipta Kerja―terjadi. Ini tidak seperti post-truth ala Oxford English Dictionary yang modusnya bertopang pada aras: mana fakta dan mana emosi, mana pihak yang dianggap realistis dan mana pihak yang berhalusinasi.
Kasus BEM UI dan pidato UU Cipta Kerja adalah jenis post-truth lain yang modus kerjanya bertopang pada pembenturan kebenaran norma dan kebenaran santifik. Dikotomi yang muncul bukan tentang siapa yang realistis dan siapa yang berhalusinasi, tapi tentang siapa yang bermoral dan tidak.
Bagi sebuah negara demokrasi yang kultur hierarki, filial-piety, dan etikanya kuat, post-truth jenis ini adalah ‘teknik-serba-guna’ untuk mendistorsi batas kesopanan, batas kritis, batas moral dan batas sains jadi lebih kusut. Kebenaran pun akhirnya mudah dimonopoli dengan normatifitas.
Pembaca umum punya dimensi kesadaran yang berbeda dengan pembaca khusus. Ketika melihat unggahan BEM UI, pembaca khusus membayangkan desa, hutan, komunitas adat, kebebasan berpendapat, tenaga kerja dan sejenisnya yang terdampak oleh kebijakan pemerintah―di samping membayangkan jejaring kuasa beserta keberpihakan keuntungan di balik perumusan kebijakannya.
Kesadaran serupa belum tentu hadir di kalangan pembaca umum, sehingga menempatkan keyakinan bahwa ‘keberpihakan politik dan kebijakan pemerintah terhadap rakyat’ adalah sesuatu yang linear dan ideal apa adanya. Dari keyakinan tersebut, lahir respon normatif yang berpatok pada aspek-aspek simbolis dan kedisiplinan etika.
Titik perbedaan itu menjadi pintu masuk bagi praktik eksploitasi norma agar mendapat dukungan pembaca umum dalam meredam kontrol kritis masyarakat dan mahasiswa terhadap pemerintah. Mereka yang kritis akhirnya terjebak pada stigma negatif.
Dampaknya tidak hanya elit politik punya keleluasaan yang lebih luas untuk bersikap kontradiktif selama kulitnya tetap beretika, tapi juga mempertegas bahwa iklim pendidikan kita, meskipun akhir-akhir ini ramai jargon critical thinking untuk menghadapi era 4.0, namun masih takluk pada prinsip hierarki, ad populum, dan ad auctoritatis―di samping menguatnya belenggu rantai kuasa dalam institusi pendidikan melalui promosi jabatan ataupun hadiah gelar.
Situasi ini mengingatkan penulis pada apa yang Wakil Presiden Hatta sebut―dalam pidatonya di Hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Juni 1957―sebagai ‘anarki’, yakni ketika tanggung jawab kehidupan sosial dan komitmen terhadap kebenaran rusak tak tentu arah akibat semangat petualangan jabatan, politik berbasis kerabat, pragmatisme partai, konflik kepentingan, dan menempatkan orang pada jabatan yang tak sesuai kapasitasnya.
Unggahan BEM UI bersinonim sekaligus memperpanjang daftar kontradiksi yang tercatat dalam Man of Contradictions karya jurnalis Australia, Ben Bland. Di mata Bland, Jokowi adalah sosok tanpa visi politik yang perlu mengelilingi dirinya dengan figur-figur kuat (militer ataupun pengusaha) demi stabilitas masa jabatan, meski cara ini mengantarnya pada julukan ‘pencari friend with [economic] benefits’ dan ‘orang dari partai Soekarno yang berpikir layaknya Soeharto.’
Satu hal yang bisa ditarik dari kasus BEM UI: tanpa diisi oleh kebenaran faktual, kebenaran normatif bukan apa-apa selain lokus strategis yang rawan dieksploitasi. Hanya karena benar secara normatif, bukan berarti tak berbahaya. Titik ini harus ditembus agar kekusutan antara budaya dan politik tidak mendistorsi penjernih demokrasi: nalar kritis dan fakta.