Pilkada serentak 2024 telah usai, meskipun secara resmi akan menunggu hasil real count dari KPU. Baik Pilkada, maupun Pilpres kemarin, ada hikmah berharga yang mestinya bisa menjadi pegangan untuk kita agar tidak terjebak ranjau politik praktis.
Terutama bagi rakyat seperti saya dan umumnya yang lain.
Semata-mata agar sebelum maupun setelah Pilkada, ada atau tidak ada Pilkada, mental kita harus senantiasa sehat.
Penting dicatat, agar dari Pilkada ke Pilkada, Pilpres ke Pilpres, agar tidak terlalu berlebihan atau dalam istilah saya “petengtengan.”
Bagaimana realitas politik praktis Joko Widodo yang berbalik arah dan melakukan malpraktik bersama para politisi PSI dan membunuh komitmennya sendiri? Dan menelan ludahnya sendiri dengan mendukung Prabowo Subianto?
Sampai di Pilkada serentak 2024 ini, mereka, para politisi PSI malah mendukung Ridwan Kamil dan Suswono yang notabene musuh bebuyutan PSI, yakni PKS.
⁹Bagaimana para elit PSI kini memang mendapatkan jabatan prestisius sebagai gantinya, sampai-sampai saya tidak tega melihat potongan video Grace Natalie yang disuruh-suruh (tepatnya didorong-dorong) untuk membagikan hadiah saat kampanye RIDO dengan nuansa atribut berwarna oranye.
Di daerah tidak kurang-kurang, di Kabupaten Cirebon sendiri, yang namanya politik praktis memang demikian adanya. Para ulama/Kiai yang mendukung calonnya masing-masing, bahkan banyak di antara mereka yang juga off side dengan memprakarsai deklarasi atas Paslon tertentu, mengerahkan dalil-dalil agama sedemikian rupa, membawa-bawa organisasi keagamaan dalam kepentingan politik praktis.
Fatalnya, cara dukungan mereka dipertontonkan secara vulgar, hampir tidak ada bedanya dengan para simpatisan non agamis, yang tidak bawa-bawa dalil agama.
Sungguh, ini realitas yang sangat memprihatinkan.
Yang hilang dari kita, rakyat, adalah komitmen dalam menegakkan politik kebangsaan. Yang paling mencolok adalah nafsu politik praktis yang dilakukan oleh oknum-oknum Ormas keagamaan, tak terkecuali misalnya Muhammadiyah.
Padahal Ormas keagamaan adalah benteng terakhir pertahanan rakyat. Dan kini, diakui atau tidak, telah wafat riwayatnya karena terjebak pada lubang politik praktis yang sama.
Pasca Pilkada, juga tidak aneh lagi, apabila yang akan terjadi adalah bagi-bagi jabatan dan proyek.
Atas nama pribadi, Ormas keagamaan dan atas nama apapun. Yang bawa dalil agama ataupun yang tidak, parpol islamis atau parpol nasionalis, semuanya hampir tidak ada bedanya.
Saya sampai mentok pada kesimpulan, kalau Anda ingin dapat jabatan dan cepat kaya, masuklah ke dalam pusaran politik praktis, apakah secara individu, melalui jalur parpol, atau lewat Ormas keagamaan. Beda jalur dan wasilah, tetapi tujuannya sama. Dan syaratnya cuma satu: tidak punya malu.
Kehati-hatian dan segala bentuk idelalisme hidup hampir semuanya rontok karena godaan politik praktis. Benar-benar terjadi secara faktual, bahwa orang-orang seperti putus urat malunya. Mental penjilat ini, rentan merusak kesehatan mental banyak orang.
Catatan harian ini, tertuju untuk siapapun, terutama bagi yang mentalnya masih sehat. Jangan terjebak politik praktis, membela Paslon tertentu secara berlebihan, apalagi sampai saling menjatuhkan, dan mengerahkan dalil-dalil agama.
Pengalaman Pilpres dan Pilkada serentak 2024 ini betul-betul menyadarkan kita, bahwa terlalu banyak energi dan segala sumber daya yang dibuang percuma. Sementara Paslon manapun yang memenangkan (bahkan yang kalah pun) Pilpres dan Pilkada, tak terkecuali para penjilat (secara individu maupun yang mengatasnamakan kelompok tertentu) akan hidup sejahtera, berlimpah harta.
Kampanye yang semrawut, politik uang, berita bohong, dan segala bentuk kecurangan lainnya, sudah lazim terjadi. Mau calon dan pendukungnya Kiai atau bukan, parpol Islam atau bukan, didukung Ormas keagamaan atau tidak, calonnya dari kalangan santri atau dari kalangan apapun, tetap pada pendirian, jangan terjebak pada lubang politik praktis.
Kalau terpaksa masuk dalam pusaran politik praktis, berbuatlah tetap dalam koridor yang proporsional dan profesional.
Terakhir, mengapa politik praktis di negeri ini begitu sengkarut, ya inilah politik praktis, wong Ormas keagamaan pun dijalankan tidak ubahnya partai politik, mau berharap apa kita terhadap parpol dan Ormas keagamaan yang para elitnya telah terkontaminasi.
Yang ada di dalam pikiran dan tujuan mereka yang ada dalam pusaran politik praktis adalah yang penting menang, yang penting dapat japrem, proyek dan lain serupanya.
Masing-masing antar parpol dan Ormas keagamaan punya kartunya masing-masing, mereka yang berkelahi dalam pusaran politik praktis adalah mereka yang memang hidupnya dari situ.
Sebaiknya yang masih sehat mentalnya tidak perlu ikutan-ikutan. Bahkan orang-orang yang dikenal sebagai aktivis, tokoh agamis, dan sosok yang kritis, manakala disodorkan jabatan politik praktis, semuanya luluh dan hilang semua jiwa aktivis, agamis dan kritisnya.
Semoga kita termasuk hamba Allah yang dijaga kesehatan mentalnya, dilindungi keselamatannya dari jebakan politik praktis.
Wallahu a’lam