Sebagai sebuah ibadah, haji memiliki keistimewaan tersendiri. Berbeda dengan salat dan puasa yang merupakan ibadah fisik atau zakat yang merupakan ibadah harta, haji adalah ibadah yang melibatkan dua hal tersebut. Istitha’ah atau mampu melakukan yang merupakan syarat wajib haji dilihat dari segi kemampuan baik secara fisik maupun secara finansial. Orang yang secara fisik masih kuat namun tidak memiliki harta tidak terbebani kewajiban haji. Sebaliknya, orang yang secara fisik tak mungkin melakukan ibadah haji sendiri namun memiliki keuangan yang cukup, maka ia wajib mewakilkan kepada orang lain. Di samping itu, dalam ibadah haji juga terkandung mujahadah (olah batin) berpisah dengan orang-orang dekat, harta benda yang dimiliki, rutinitas kerja yang dijalani. Ini menjadikan haji sebagai sebuah ibadah yang sangat agung. Karena itu, ada beberapa hal di samping persiapan fisik meliputi kebugaran tubuh dan perbekalan yang sangat dianjurkan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menuliskan setidaknya delapan hal yang perlu dilakukan menjelang dan selama perjalanan. sementara Imam Nawawi dalam Al-Idlah fi Manasik al-hajj wa al-umrah lebih memerinci lagi hingga mencapai dua puluh sembilan. berikut sebagian anjuran yang disampaikan oleh kedua ulama besar tersebut terutama yang terkait menjelang keberangkatan dan yang masih relevan dengan kondisi sekarang.
Pertama, bertaubat dari semua dosa dengan menyesali kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Termasuk cara taubat adalah mengqadla shalat dan puasa yang telah ditinggalkan. Begitu juga membebaskan diri dari kesalahan serta tanggungan yang terkait dengan orang lain dengan meminta maaf, mengganti dan mengembalikan harta orang lain yang ada pada kita tanpa hak, mengembalikan benda ttitipan, dan melunasi hutang-hutang sesuai kemampuan. Sangat penting juga meninggalkan harta yang cukup selama ditinggal pergi buat keluarga di rumah yang berada dalam tanggung jawabnya. Sebaiknya juga membuat surat wasiat karena kita tak tahu apakah masih bisa kembali ke tanah air atau tidak. Urusan terkait dengan orang lain ini perlu mendapat prioritas agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan khidmat tanpa terganggu pikiran tentang harta duniawi.
Kedua, meminta ridla (izin berangkat haji) kepada kedua orang tua dan orang-orang yang kita diperintahkan agama untuk mentaati dan berbuat baik kepadanya. Seorang istri yang berangkat tanpa bersama suami hendaklah meminta ridla kepada suaminya. Anak adalah buah hati orang tua dan istri adalah separuh nyawa suami. Perjalanan ibadah yang sangat agung ini jangan sampi kemudian justru mendatangkan kesusahan dan kegundahan bagi orang lain. Sebaiknya juga meminta ridla kepada para kerabat sanak saudara.
Ketiga, berusaha sedapat mungkin uang yang digunakan sebagai pembayaran haji dan bekal adalah uang yang halal. Hindari memakai uang syubhat (tidak jelas halal haramnya) apalagi haram agar tak menghalangi mendapatkan haji mabrur.
Keempat, membawa perbekalan yang cukup sebagai persiapan untuk kebutuhan diri dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Ketika menyiapkan bekal, kita tak hanya memikirkan kebutuhan pribadi namun juga menyiapkan diri untuk menolong orang lain barangkali ketika di tanah suci ada yang kehilangan atau membutuhkan sehingga kita bisa bergegas melkukan kebaikan dengan menolongnya. Begitu juga sebelum berangkat dianjurkan untuk bersedekah.
Kelima, mempelajari dan memahami betul tata cara ibadah haji setidaknya mengerti hal-hal yang dapat mengesahkan ibadah haji, mengesahkan rukun-rukunnya serta hal-hal yang dapat merusaknya. Ini perlu dilakukan sebelum berangkat agar ketika di tanah suci tidak kebingungan dan bisa langsung beribadah. Sebaiknya buku panduan haji selalu dibawa dan dipelajari serta tak segan untuk bertanya ketika ada yang tak dimengerti.
Keenam,tidak membawa barang untuk diperjualbelikan agar tak menggangu kekhusyuan beribadah. Berbisnis bisa dilakukan di lain waktu. Sediakanlah waktu hampir dua bulan ini murni untuk beribadah dan mendekat kepada-Nya. Lebih-lebih sebagian ulama mengatakan, ibadah yang dibarengi dengan niat duniawi bisa tidak mendapatkan pahala.
Ketujuh, melakukan shalat sunnat dua rakaat di rumah menjelang berangkat. Shalat ini dikenal dengan shalat sunat safar. Pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah membaca surat Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlas. Kemudian setelah shalat membaca ayat kursi dan surat Quraisy dilanjutkan dengan berdoa agar diberi kemudahan oleh Allah dalam perjalanan dan pelaksanaan haji serta agar keluarga yang ditinggal di rumah selalu dalam penjagaan Allah. Shalat sebelum keberangkatan ini dapat mendatangkan keberkahan bagi keluarga dan tempat yang ditinggalkan. Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang tidak meninggalkan bagi keluarganya perkara yang lebih utama dari pada shalat dua rakaat yang dilakukan di sisi mereka ketika hendak bepergian.” Menurut keterangan Ibnu Hajar Al-Haitami, shalat ini juga dianjurkan ketika kita hendak meninggalkan persinggahan dalam perjalanan seperti ketika hendak meninggalkan asrama haji.
Delapan, berpamitan kepada keluarga, para tetangga dan para sahabat serta meminta doa dari mereka. Allah menjadikan kebaikan dalam doa orang yang dipamiti.
Sembilan, membaca doa khususnya ketika meninggalkan rumah dan ketika hendak naik kendaraan. Begitu juga selama perjalanan sebaiknya memperbanyak mendoakan dirinya, orang tua, orang-orang dekat, para pemimpin dan seluruh orang Islam karena doa orang yang sedang bepergian termasuk mustajab. Rasulullah Saw. bersabda, “Ada tiga doa yang mustajab tanpa diragukan lagi; doa orang yang dianiaya, doa musafir, dan doa orang tua atas anaknya.” (HR. Abu dawud, Tirmidzi dan lainnya).
Demikian sebagian dari beberapa hal yang dianjurkan menjelang keberangkatan haji. Dengan melakukan hal-hal ini diharapkan jemaah haji lebih khusyu’ dalam beribadah serta siap dengan segala kemungkinan. Lepaskanlah segala urusan dan mantapkan hati untuk mendekat kepada-Nya. Selama perjalanan dan pelaksanaan haji sedapat mungkin berusaha selalu melakukan kewajiban dan memperbanyak melakukan kesunahan. Begitu juga berusaha untuk menjaga diri dari perbuatan dosa terutama dari menyakiti orang lain meski demi ibadah kita sendiri agar haji yang dilakukan bisa menjadi haji mabrur yaitu haji yang mulai awa hingga akhir tidak terkotori dengan dosa.
*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren, tinggal di Magelang