Belakangan ini, kata hijrah menjadi sebuah fenomena baru di tanah air yang seringkali dimaknai sebagai sebuah perubahan personal dalam meninggalkan segala hal yang buruk menuju perilaku dan praktik yang lebih baik menurut ajaran agama Islam. Namun apabila ditelusuri, akar kata hijrah adalah “hajar” bermakna bermigrasi – meninggalkan negara asal atau tanah air – sehingga arti hijrah secara harfiah adalah “berpindah tempat”.
Secara historis, kata hijrah merujuk pada peristiwa perpindahan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya dari Mekkah menuju Madinah, yang menjadi dasar dari penetapan penanggalan tahun baru Islam atau Hijriah.
Ketika itu, Rasulullah dan kaum Muslim kerap mengalami kekerasan dan persekusi oleh kaum Quraisy. Untuk melindungi pengikutnya, Rasulullah memutuskan untuk meninggalkan Mekkah dan mencari perlindungan di kota Yathrib atau Madinah. Di Madinah, Rasulullah dan para Muhajirin disambut baik oleh kaum Anshar (bermakna “penolong”), yang memberikan jaminan perlindungan dan keamanan.
Dengan kata lain, junjungan umat Islam Nabi Muhammad SAW adalah seorang pencari suaka dan refugee – pengungsi.
Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia
Beberapa waktu lalu masyarakat Jakarta Pusat dikejutkan oleh membludaknya puluhan hingga ratusan warga negara asing, termasuk perempuan dan anak-anak, yang mendirikan tenda-tenda dan tidur memenuhi jalanan utama. Jengah dengan situasi tersebut, pemerintah akhirnya memindahkan sekitar 1,000 pengungsi ke sebuah penampungan di daerah Kalideres, Jakarta Barat.
Siapakah sesungguhnya para “imigran asing” tersebut? Mereka merupakan pengungsi dan pencari suaka dari negara-negara konflik.
Secara umum, definisi pengungsi dan pencari suaka adalah mereka yang terpaksa melarikan diri dari negaranya dikarenakan persekusi, perang, atau konflik berdarah. Biasanya di negara transit para pencari suaka akan diverifikasi oleh UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi). Apabila klaim suaka mereka telah terverifikasi, maka mereka mendapatkan status pengungsi dan berhak difasilitasi UNHCR untuk mendapatkan suaka di negara penempatan, seperti Amerika Serikat, Australia, atau Kanada.
Namun, tidak ada jaminan bahwa para pengungsi akan mendapatkan kesempatan tersebut. Menurut data, kurang dari 1% pengungsi di seluruh dunia mendapatkan penempatan di negara ketiga.
Saat ini, terdapat sekitar 14.000 pengungsi yang tersebar di seluruh Indonesia, umumnya dari negara-negara konflik seperti Afghanistan, Sudan, dan Somalia – angka yang sebetulnya cukup kecil dibandingkan total pengungsi di Thailand yang berjumlah 95.000 orang, dan di Malaysia sebanyak 252.000 orang.
Baik Indonesia, Thailand, maupun Malaysia berstatus sebagai negara transit, namun akibat situasi politik global yang semakin tidak ramah terhadap imigran dan pengungsi asing, masa transit yang awalnya hanya sekitar 3-4 tahun menjadi belasan, bahkan puluhan tahun.
Islam Menjamin Hak Perlindungan Pencari Suaka
Bantuan yang diberikan pemerintah kepada para pengungsi di Kalideres menimbulkan berbagai pro dan kontra di masyarakat. Timbul kecemburuan sosial yang diperparah dengan ketidaktahuan masyarakat mengenai situasi para pengungsi, maupun pandangan bahwa masih banyak kaum dhuafa di Indonesia yang membutuhkan bantuan.
Permasalahannya adalah hukum Indonesia tidak memperbolehkan pencari suaka dan pengungsi untuk bekerja. Sekitar dua pertiga pengungsi di Indonesia mendapatkan bantuan oleh lembaga internasional, namun kira-kira 6.000 pengungsi harus bergantung pada tabungan yang terus menipis.
Pertanyaannya adalah, kenapa kita harus memilih siapa yang lebih “pantas” untuk diberikan bantuan?
Bagi umat Muslim, membantu para pengungsi dan pencari suaka yang “berhijrah” merupakan salah satu ajaran paling mendasar dari agama Islam. Hak mencari suaka sesuai dengan tiga prinsip ajaran Islam, yakni kewajiban melindungi kaum yang ditindas dan dipersekusi, anjuran berpindah ketika terdapat alasan dan penyebab yang kuat, serta larangan melanggar perlindungan atau suaka yang telah diberikan kepada para pengungsi (Abou-El-Wafa, 2009).
Dalam Alquran disebutkan bahwa barangsiapa yang memberikan shelter atau perlindungan bagi mereka yang mencari suaka maka merupakan golongan para Mu’minun. QS Al-Anfal ayat 72 menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi.”
Selanjutnya, pasal 12 dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam yang dirumuskan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990 menyatakan bahwa “setiap orang memiliki hak, menurut kerangka hukum Syari’ah, apabila dipersekusi, untuk mencari suaka di negara lain. Negara tempat para pencari suaka berada wajib memberikan perlindungan hingga mereka mendapatkan keamanan, kecuali pencarian suaka dilakukan karena alasan kejahatan berdasarkan hukum Syari’ah.”
Sedangkan para pencari suaka dan pengungsi merupakan korban kejahatan kemanusiaan yang mengungsi meninggalkan negara mereka dikarenakan perang dan persekusi.
Contohnya, para pengungsi Rohingya yang dipersekusi di Myanmar, ataupun para pengungsi Afghanistan yang menjadi target serangan dan pengeboman kelompok Taliban. Dikarenakan perang dan konflik yang berkecamuk, pulang ke negara asal bukan merupakan pilihan, meski itu berarti meninggalkan segala yang dimiliki, keluarga, dan orang-orang tersayang.
Bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Hijjriah 1440 yang tahun ini jatuh pada tanggal 31 Agustus 2019, ada baiknya kita meneladani semangat kaum Anshar dalam membuka diri dan menyambut hangat para pengungsi dan pencari suaka yang telah mengalami berbagai trauma dan penderitaan yang tak terbayangkan. Apabila kita mengaku sebagai umat Islam yang taat, tentu tidak ada alasan bagi kita untuk menolak mengulurkan tangan membantu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.