Pernyataan yang akhir-akhir ini sering muncul oleh generasi anak muda Indonesia, yaitu “self-healing”. Kegiatan yang biasanya diisi dengan berkunjung ke tempat wisata dengan tujuan menikmati keindahan alam yang ada, atau mengistirahatkan diri dari padatnya aktivitas, atau mungkin agar sejenak bisa melupakan segudang masalah yang sedang dialaminya saat ini. Kemudian, apa sebenarnya self-healing itu?
Self-healing merupakan metode penyembuhan penyakit bukan dengan obat, melainkan dengan menyembuhkan dan mengeluarkan perasaan dan emosi yang terpendam dalam tubuh. Self-healing juga disebut sebagai rangkaian latihan praktis yang dikerjakan secara mandiri sekitar 15 sampai dengan 20 menit dan sebaiknya dilakukan dua kali dalam sehari (Redho dkk, 2019). Perbaikan pada diri memiliki tujuan untuk mengeluarkan ekspresi yang terpendam, amarah yang tertunda, bahkan kenangan buruk yang sudah disimpan sejak lama yang mengganggu pikiran individu itu sendiri.
Kemampuan untuk menerapkan self-healing ini setiap orang berbeda-beda, tergantung dengan kecocokan model self-healing yang dilakukan. Dalam praktiknya, self-healing merupakan salah satu istilah yang menggunakan prinsip bahwa sebenarnya tubuh manusia mampu memperbaiki dan menyembuhkan diri melalui cara-cara tertentu secara alamiah.
Manusia seringkali merasa permasalahan yang dihadapi oleh dirinya sendiri tidak bisa tertangani, sehingga muncul perasaan pesimis, cemas, bingung, tidak mampu mengungkapkan, sampai ada masanya tidak mampu untuk bertindak lagi. Permasalahan-permasalahan yang terpendam dalam diri dan tidak terselesaikan dengan baik, menurut Ilmu Psikologi akan memunculkan gangguan menuju abnormalitas seperti depresi, halusinasi, delusi dan gangguan emosional.
Kesehatan mental manusia dapat terjaga dengan baik, kunci utamanya terdapat dalam diri sendiri (Self), sehingga diri sendiri juga mampu menjaga kesehatan mental sendiri. Self-healing memiliki banyak keunggulan, selain bisa dilakukan secara mandiri juga memiliki konsistensi pengulangan untuk mendapat hasil yang maksimal dalam mempertahankan dan memelihara kesehatan mental manusia. Karena kesehatan mental (keadaan psikologis) yang buruk akan mempengaruhi aspek-aspek yang dimiliki oleh manusia, yaitu aspek kognitif, perilaku dan juga aspek fisiologis.
Lalu, bagaimana Islam memandang self-healing itu? Sesuai dengan pengertian di atas, bisa disesuaikan dengan hadis yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, bagian 38, halaman 178, nomor 23088, hadis dari Waki’ dari Mis’ar dari ‘Amri bin Murroh dari Salim bin Abi al Jad, dari para pemeluk Islam, bahwa Nabi SAW berkata: “Yaa Bilal, istirahatkan kami dengan shalat”.
Pada waktu tersebut Rasulullah SAW sedang dalam peperangan atau dalam perjalanan yang jauh, maka Rasulullah saw memerintahkan kepada Bilal untuk beristirahat dengan shalat. Shalat dapat mengobati penyakit-penyakit, seperti persepsi yang salah terhadap diri sendiri maupun orang lain, mengobati kesedihan dan juga keputusasaan.
Hal itu terjadi karena ketika seseorang melaksanakan shalat, dia berdiri menghadap Allah SWT dengan penghayatan tunduk dan khusyu’ di hadapan Allah SWT yang menciptakan manusia dan alam semesta. Manusia dengan segala kelemahan dirinya berdiri menghadap Allah Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, yang memegang kendali atas seluruh makhluk dari yang paling besar fisiknya hingga yang paling kecil. Di tangan-Nya ada persoalan hidup dan mati.
Manusia yang berdiri di hadapan Allah dalam shalatnya dengan penghayatan seperti tadi, akan membuatnya mendapatkan energi yang melahirkan kebeningan rohani, ketenangan hati dan perasaan aman. Dengan shalat, lelah fisik, beban masalah, ketidakstabilan emosi dan berbagai permasalahan lainnya tidak akan menganggu kita lagi. Dengan catatan, kita sebisa melaksanakan shalat dengan khusyu’.
Shalat merupakan obat untuk berbagai penyakit sekaligus penolong bagi manusia. Sebagaimana Firman Allah swt yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqoroh : 153).
Dalam Tafsir Jalalain karya Al-Mahali dan As-Suyuti dijelaskan bahwa bagi orang-orang yang beriman, dianjurkan meminta pertolongan Allah untuk mencapai kebahagiaan akhirat dengan taat melakukan ibadah dan sabar menghadapi cobaaan, juga mengerjakan shalat, karena sesungguhnya Allah SWT selalu melimpahkan pertolongan-Nya kepada mereka.
Salah satu tujuan self-healing adalah tenteramnya hati, salah satunya dapat kita lakukan dengan berdzikir. Dengan menghadirkan Allah SWT disetiap hela nafas kita, dengan begitu hati kita akan menjadi tenang. Sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d : 28).
Selain dengan shalat dan berdzikir, self-healing dapat dilakukan dengan berserah diri terhadap segala pemberian Allah SWT. Dalam sebuah hadis diberitakan bahwa pada suatu ketika lampu Nabi SAW padam, kemudian beliau membaca kalimat istirja’ yaitu “Inna lillah, wa-inna ilaihi raji’un”, lalu kata Aisyah: “Bukankah ini hanya sebuah lampu!”, Nabi saw menjawab: “Setiap yang mengecewakan hati orang mukmin itu berarti musibah”.
Penyaluran self-healing tidak hanya dilakukan dengan jalan-jalan ke tempat wisata yang instagramable, tapi juga bisa dengan shalat, berdzikir dan berserah diri dengan tujuan agar kita dapat menerima hal yang menyakitkan, mendapatkan ketenteraman hati, berdamai dengan pikiran negatif, mengenal diri sendiri, mengenal Tuhan, sehingga ada proses penurunan therapeutic yang gunanya untuk mengembangkan pribadi kita. (AN)