Lima tahun yang lalu, di tahun 2014, ketika KPU telah menetapkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pilpres mengalahkan pasangan Prabow-Hatta Rajasa, serta-merta publik terbelah menjadi dua kubu secara ekstrim. Kubu yang pro Prabowo dan kubu yang Pro Jokowi. Pembelahan dukungan selama kampanye yang sangat keras diteruskan paska penetapan KPU. Praktis, selama lima tahun, narasi politik Indonesia penuh sesak dengan saling caci masing-masing kubu.
Pembelahan yang berkepanjangan ini dipicu oleh “kurangnya” sikap negarawan dalam merespon hasil Pemilu. Masing-masing kubu saling jumawa.
Pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang tidak puas dengan hasil Pemilu terus-menerus mempraktekkan apa yang disebut oposisionalisme, yakni beroposisi dengan cara mencari-cari kesalahan dan terus menyerang pemerintah, sebuah praktik oposisi atas dasar kebencian.
Dalam demokrasi, praktik oposisi sangat penting untuk menjaga check and balance, menjaga agar pemerintah tidak terjebak dalam penyimpangan kekuasaan tetapi jika praktik oposisi ditujukan atas dasar kebencian niscaya oposisi itu hanya menjadi kegaduhan, tidak berguna dalam membangun demokrasi.
Oposisi yang bermartabat adalah oposisi yang membangun dialog untuk mencari titik temu setiap masalah kebangsaan, bukan oposisi yang terus-menerus mencari titik-tengkar. Selama lima tahun, publik akar rumput dipenuhi dengan drama pertengkaran dua kubu itu. Politik era 2014-2019 adalah sebuah teater pertengkaran yang tidak konstruktif.
Dan, pertengkaran dua kubu itu terus berlanjut pada pilpres 2019. Kampanye yang idealnya berisi adu gagasan dan mimpi besar tentang Indonesia berhenti hanya berupa saling menjatuhkan karakter masing-masing capres. Kampanye yang tidak sehat dari sebuah bangsa besar yang lahir atas dasar cita-cita.
Di masa lalu, kita disuguhi keteladanan, betapapun antara Sukarno dan Natsir terjadi perbedaan politik yang tajam, di antara kedua kubu itu tidak pernah sampai terjadi perang pembunuhan karakter. Keduanya menyajikan adu gagasan yang sehat dan mencerahkan, sampai-sampai terbit sebuah buku yang berisi ikhtisar perdebatan gagasan antara Sukarno dan Natsir.
Tapi, hari ini, kita disuguhi perdebatan yang remeh-temeh dari kedua kubu. Hikmah apa yang bisa dipetik dari perdebatan dengan tema “Prabowo Jomblo kesepian” dan “Jokowi wong ndeso plonga-plongo” ? apakah perdebatan semacam itu bermanfaat untuk demokrasi?, “tidak”… Tetapi, kita merayakan perdebatan seperti itu.
Terlepas dari krisis demokrasi yang sedang kita alami dan perdebatan irasional yang sedang kita rayakan, kita berharap Paska 17 April 2019 watak negarawan dan Demokrat muncul dari para elit politik nasional. Apapun hasil Pemilu diterima dengan lapang dada. Kubu yang memenangkan Pemilu tidak perlu jumawa dan euforia melampaui batas sampai mengolok-olok kubu yang kalah. Sebaliknya, kubu yang kalah layak menerima hasil dengan lapang dada, tidak perlu meluapkan kemarahan yang melampaui batas.
Pemilu dan hasilnya hanya bagian kecil dari demokrasi. Ada hal yang jauh lebih penting dari Pemilu, yakni membumikan nilai-nilai demokrasi seperti integritas, transparansi, partisipasi kewargaan, dan kesetaraan. Bertaruh memperjuangkan nilai-nilai demokrasi jauh lebih mulia daripada sekedar mempersoalkan kursi kekuasaan.
Kita berharap Paska 17 April 2019, praktik oposisi yang terbangun adalah oposisi yang memastikan pemerintah bekerja untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, bukan memperjuangkan oligarki. Pun, pemerintah perlu terus berbenah diri agar sesuai dengan tuntutan nilai-nilai demokrasi itu.
Pada akhirnya, semoga trayek demokrasi yang kita praktikkan semakin maju dan beradab. Kita tidak perlu mengulangi kesalahan dalam merespon hasil Pilpres 2014, yang berujung pada pertengkaran melelahkan.