Masjid merupakan tempat untuk beribadah umat Islam yang sekaligus dapat menjadi simbol yang menandai adanya proses keberagamaan umat islam.
Selain itu, Masjid juga dapat menjadi simbol yang menguatkan atau memberikan legitemasi pembenaran terhadap model keberagamaan yang disampaikan oleh beberapa tokoh dari agama Islam. Karenanya, jika Masjid dikelola oleh mereka yang secara simbolik menggunakan Islam, namun bertujuan untuk fasisme politik kekuasaan, maka yang terjadi justru akan merugikan Islam dan mengorbankan umat Islam untuk menghabiskan energi “yang sia sia” memperebutkan kekuasaan. Contoh energi yang sia sia memperebuatkan sistem kekuasaan ini, sebagaimana yang dilakukan HTI yang dengan terang terangan ingin mendirikan khilafah Islam.
Jadi, untuk menguatkan peran kemasjidan yang dapat menguatkan risalah kenabian, maka perlu mempercayakan pengelolaan Masjid kepada para Ulama dan aktifis gerakan Islam yang memiliki perspektif agama Islam sebagai agama yang menebarkan kasih sayang antar sesama umat manusia relasinya dengan Allah, risalah kenabian dan kesemestaan.
Ketika penulis bekerja di Jakarta, telah mnyaksikan fenomena penggunaan Masjid yntuk menanamkan benih konflik dan permusuhan antar mereka yang seagama dan dengan yang berbeda agama. Fenomena ini dilakukan kelompok intoleran dan radikal bersamaan dengan acara khatbah yang berlangsung di masjid yang berada di kampus perguruan tinggi umum dan di beberapa lingkungan mahasiswa Perguruan Tinggi Umum.
Hal yang sama, ketika penulis berada di kampus Perguruan Tinggi Umum (PTU) di Yogyakarta, Surabaya dan Malang, telah terjadi banyak khatbah yang berbeda dengan model khatbah yang saya temukan di perkampungan masyarakat desa dan dikebanyakan pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Sehubungan dengan fenomena ini, penulis juga sering mendapatkan pertanyaan, mengapa khatbah di kampus PTU dan di kota besar berbeda dengan kebanyakan khatbah di pesantren dan di masyarakat desa?
Model khatbah yang berlangsung di pesantren dan di lingkungan masyarakat nahdliyyin (NU) disampaikan dengan cara yang ramah dan menguatkan ajaran Islam yang ramah. Berbeda dengan model khotbah masuarakat NU, kelompok intoleran dan radikal berkhatbah dengan menekankan atau mengarah pada fasisme politik untuk memperebutkan sistem pemerintahan yang sah.
Akhir dari Khatbah yang didasarkan pada fasisme politik ini, jika telah mendapatkan kesempatan berkuasa akan merebut legitemasi politik kekuasaan dan agama kekuasaan. Kawasan suci yang rawan menjadi tempat persembunyian para pengikut fasisme politik atas nama Islam, adalah masjid. Karenanya, jangan sampai terjadi atau berlangsung sebuah khatbah yang menyerukan tentang kebencian dan menaburkan benih radikal di lingkungan umat Islam. Islam merupakan agama yang mengajarkan totalitas kepasrahan kepada Allah dan membangun istana kemanusiaan.
Visi Islam yang sebenarnya untuk menguatkan kewahyuan dan ajaran yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Cakupan makna Islam ini yang menjadi alasan walisongo bersikap hati hati membawa Islam, sehingga kehadiran Islam tidak membuat salah paham banyak pihak di tengah tradisi masyarakat lokal.
Sehubungan dengan kehati-hatian walisongo mengenalkan Agama Islam dan memberikan pendampingan kepada masyarakat dengan cara yang diajarkan Nabi Muhammad, justru mengundang simpati masyarakat lokal yang ingin berakulturasi dengan ajaran walisongo. Sebaliknya, para walisongo juga tidak merasakan resah dan khawatir terjadinya akulturasi. Misalnya, terjadinya ajaran agama Islam yang akan tumbuh bersama dan berkembang bersama di tanah jawa. Model pendampingan walisongo ini bisa berkembang dengan baik.
Model keeragamaan yang baik perspektif Walisongo ini, telah berubah setelah masuk kelompok kelompok Islam radikak, seperti HTI yang ingin menjadikan islam sebagai instrumen memperebutkan kehendak kuasa untuk membuat sistem pemerintahan khilafah.
Kelompok Intoleran Ingin Merebut Masjid
Bersamaan dengan aktifitas ritual yang dapat dikembangkan di masjid, kelompok intoleran telah melakukan sejumlah aksi yang justru merugikan umat Islam. Banyak pengalaman menunjukkan, misalnya, kondisi Timur tengah yang hancur yang disebabkan pasca gelombang arabian springs. Fenomen ini terjadi bermula dari khatbah intoleran dan radikal yang dikembangkan di masjid.
Khatbah para pengikut intoleran dan radikal berbeda dengan ajaran Islam yang disampaikan melalui mimbar khatbah Nabi Muhammad. Jika mengacu pada khatbah Nabi Muhammad saat berlangsung mimbar khatbah di Masjid, maka yang ditekankan berupa penegasan khatib terhadap implementasi takwa dalam konteks kehidupan sehari hari. Berbeda dengan khatbah Nabi Muhammad, kelompol intoleran lebih menekankan pada tema politik dan hasutan hasutan yang merusak citra pemimpin dan umat Islam yang ingin mengajarkan Islam rahmatan lil’alamiin. Contoh kerja kelompok intoleran dan radikal, misalnya, telah melakukan aksi atas nama bela Islam usai sholat Jum”at.
Pengalaman yang sangat memilukan akibat aksi intoleran dan radikal, telah terjadi di Syria. Fenomena ini terjadi, setelah masiid dikuasai kelompok Islam Radikal, masyarakat syiria kehilangan lebih enam juta warganya. Di antara warga syiria ini, ada ratusan ribu mati sia-sia. Sedangkan yang lain, telah mengungsi dan merasakan hidup tanpa visi dan misi hidup yang jelas.
Pengalaman ini jangan sampai terjadi di masjid Istiqlal. Namun demikian, jika tidak diwaspadai, maka bukan tidak mungkin peristiwa syiria akan bermula dari Masjid Istiqlal. Bukankah, sekarang ini Masjid Istiqlal sudah sering dipenuhi oleh beberapa komunitas yang menyerukan politisasi agama.
Selain di Masjid Istiqlal, telah bermunculan isu diskriminasi agama, menganggap pemerintah tidak berpihak kepada agama, isu penyesatan, sikap anti perbedaan, sekarang ini sudah menguasai mimbar jumat untuk menabur kebencian dan radikalisme.
Benih kebencian yang dilontarkan beberapa kelompok intoleran dan radikal ini, tidak bisa dipahami secara sederhana, karena kebencian yang dilatar belakangi radikalisme atas nama agama atau kesukuan akan menimbulkan sikap yang lebih mengerikan, sikap lebih kekanak kanakan, emosional, dan irasional. Secara psikologis, bahaya radikalisme atas nama agama bisa terjadi dikarenakan telah dikendalikan oleh jiwa kolektif atau jiwa massa. Misalnya, adanya sikap tidak toleran terhadap prinsip kebenaran dan hanya toleran kepada kelompok sendiri.
Jika fenomena ini tidak segera dicegah, maka akan menjadi perebutan kelompok radikal untuk menguasai Masjid yang akan berimplikasi menjadikan Islam sebagai agama kehendak kuasa.
Kelompok intoleran yang radikal ini, selalu bersikap mengikuti akar emosi dan permusuhan tanpa ada kata maaf bagi yang lain. Selain itu, kelompok intoleran dan radikal selalu lekat dengan sikap merusak dan menggunakan paksaan, bahkan kekerasan, kepada orang lain.
Jika dilihat secara kuantitas, jumlah umat Islam yang moderat jauh lebih besar, namun karena yang intoleran mempunyai militansi dan memiliki jaringan secara Internasional, maka terbaca di permukaan peran diskursus mereka tentang tema keberagamaan. Dengan demikian, bagi yang tidak memiliki basis pesantren, maka akan mudah terpengaruh oleh permainan kelompok intoleran di jejaring sosial media.
Kelompok intoleran atas nama Islam ini tidak bisa dijadikan acuan sebagai kelompok yang mewakili Islam versus Barat. Hal ini menunjukkan kesalahan ramalan tesis Samuel Huntington dan Fukuyama tentang kemungkinan terjadinya “clash of civilization”. Alasannya, Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semua alam tidak memiliki musuh, karena Islam adalah sebuah nilai yang harus dibedakan dengan kehendak kuasa yang bersifat subjektif dan sangat komunal.
Dalam konteks ini, justru Islam dapat menjadi agama yang mencerahkan umat manusia, baik yang berangkat dari basis keagamaan maupun yang berangkat dari basis gerakan politik dan sosial.
Sikap pemerintah membubarkan kelompok radikal dan intoleran, tidak perlu mengaitkannya dengan persoalan yang akan berhadapan dengan pengikut agama Islam. Bagi mereka yang beragama Islam, namun bersikap intoleran dan radikal, adalah bentuk dari sikap personal yang tidak mewakili agama Islam yang secara mendasar mengajarkan kasih sayang dan saling menghargai antar umat manusia.
Agama Islam tidak mengajarkan permusuhan, intimidasi, labelisasi sesat, munafik, dan melukai orang dan kelompok lain, baik sesama Muslim maupun umat beragama lain. Karenanya, Masjid bagi umat Islam berfungsi untuk menjaga kemurnian Islam rahmatan lil’alamiin, Hal ini didasarkan pada teks kewahyuan, “Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan perdebatan yang paling baik” (Surat al-Nahl:125).
Jadi, sebagai khatib mimbar Jumat harus menjaga masjid sebagai kawasan bersujud menguatkan ketauhidan dan sikap kemanusiaan antar sesama umat manusia. Dengan demikian, para khatib mimbar khatbah jumat harus menyelamatkan masjid dari kelompok intoleran yang ingin menjadikan Masjid sebagai instrumen gerakan merebut sistem kekuasaan. Para Khatib mimbar khatbah jumat tidak usah terpengaruh dengan adanya fenomena penghakiman yang menyebutkan istilah kafir, musyrik, munafik, bid’ah, sesat yang dialamatkan kepada sesama umat Islam dan yang lainnya.
Ubaidillah Achmad, penulis Suluk Kiai Cebolek, Islam Geger kendeng, khadim As Syuffah Pamotan Rembang Dan Dosen UIN Walisongo.