Ada banyak aspek keislaman yang didalami oleh ulama terdahulu secara serius. Di antaranya adalah aspek spiritual dan moral. Aspek ini dalam kenyataannya belum banyak mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Berbeda dengan masalah thaharah (bersuci) dan ibadah lain yang dibahas hingga menjadi banyak buku bahkan menjadi perdebatan.
Agama seseorang menjadi tidak sempurna jika kelembapan spiritualnya tidak disertai kecukupan ilmu dan kekuatan berpikir. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan. Di sisi lain, orang yang terlalu mengagungkan spiritualnya selalu berdalih dengan apa yang mereka anggap sebagai bukti kebenaran dan jalan keselamatan. Terkadang sampai lupa pada aspek muamalah sesama manusia.
Buku ini berikhtiar untuk mengembalikan Islam ke peran sejatinya, yakni ajaran Allah yang selalu dilibatkan dalam seluruh aktivitas manusia. Tidak hanya kesalehan individu, namun bagaimana seorang muslim bisa membawa Islam kembali kepada penguasa peradaban. Dalam kata lain menjadi khalifah yang merupakan tujuan utama manusia.
Mula-mula buku ini membahas tuntas mengenai makna Iman, Islam dan Ihsan sesuai dengan pemahaman penulisnya. Kemudian penulis menuntun pembaca untuk menyelami ajaran-ajaran keruhanian Islam lainnya yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah. Seperti bagaimana menghadapi gurita budaya materialisme dan menyelamatkan jiwa agar tetap tumbuh sehat dan mulia dalam panduan wahyu.
Terakhir, buku ini mengajak pembaca untuk memahami rambu-rambu perjalanan spiritual dalam Islam. Ditopang oleh penguasaan prima terhadap ilmu agama, kedalaman wawasan dan gelora seorang da’i, Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Di dalamnya, dikupas makna taubat, wara’, iffah, qana’ah, sabar, syukur, takut, berharap kepada Allah, tawakkal dan mencintai Allah.
Buku ini merupakan terjemahan dari karya Syaikh Muhammad al-Ghazali dengan judul al-Janib al-‘Athifi di al-Islam. Ada beberapa kritik terhadap pemahaman tasawuf yang dianggap keliru oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali. Kritikan tersebut adalah untuk memperkuat kajian dalam memahami tasawuf itu sendiri. Bukan untuk memperlemah pemahaman tasawuf oleh ulama terdahulu.
Sebagai ulama yang hidup pada abad ke-20 di negara Mesir, Syaikh Muhammad al-Ghazali, menyesuaikan tema dengan kondisi umat Islam saat ini. Namun demikian, buku ini tak bisa terlepas dari kritik. Di antaranya adalah sumber yang digunakan adalah ulama yang pendapatnya banyak ditolak oleh kalangan ulama ahlussunnah wal jamaah. Hal ini bisa dijumpai pada halaman 127, di mana penulis mengutip pendapat Nashiruddin al-Bani, ulama yang diidentikkan dengan aliran Salafi-Wahabi. Sekalipun bukan pada masalah yang penting.
Apa yang disampaikan oleh Syaikh Al-Ghazali layak untuk dikaji dan diamalkan. Walaupun ada beberapa hal yang barangkali bertolak belakang dengan pemahaman jumhur ulama tasawuf dari kalangan ahlussunnah waljamaah. Di luar itu, masih banyak ajaran iman, Islam dan ihsan menurut Syaikh Al-Ghazali dalam buku ini yang sangat sesuai dengan kebutuhan spiritual umat Islam masa kini baik dalam ranah individual maupun sosial[].
Info Buku:
Syaikh Muhammad al-Ghazali | Segarkan Imanmu | Penerbit Zaman, 2015, 292 hal
*Rizal Mubit, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Tulungagung ([email protected])