Sebagai salah seorang sarjana Fakultas Tarbiyah (sekarang Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan), setidaknya telah mengalami berkali-kali pergantian kurikulum, mulai dari CBSA, KBK, KTSP, sampai Kurtilas, sejak menjadi siswa SD, SMP, MA, mahasiswa di Perguruan Tinggi sampai pernah menjadi guru honorer yang diamanahi sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.
Ada banyak hal yang paling mendasar sebelum mengeluh terhadap kurikulum yang selama ini tidak menentu alias berubah-ubah. Yakni problem guru itu sendiri.
Guru-guru di Indonesia merupakan produk-produk Perguruan Tinggi yang tidak melek literasi. Sistem pendidikan nasional kita khususnya yang menjadi kurikulum di Perguruan Tinggi menyebabkan produk guru-guru yang tidak berkualitas. Guru yang tidak mempunyai kebiasaan membaca dan menulis.
Oleh karena tidak bisa membaca dan menulis, maka guru-guru yang ada adalah mereka yang pragmatis dan miskin elaborasi-analisis. Padahal guru adalah teladan literasi bagi para peserta didiknya.
Tidak seimbangnya output sarjana Guru dengan ketersediaan lowongan pekerjaan. Tidak aneh jika kemudian banyak lulusan sarjana Keguruan yang terpaksa dan harus rela menjadi guru honorer yang gaji dan jam mengajarnya tidak jelas dan tidak masuk akal.
Sementara Guru dengan kualifikasi PNS/ASN atau PPPK begitu dimanjakan dengan gaji yang besar. Akibatnya, mental PNS/ASN/PPPK ini juga menjadi problem berikutnya, sampai kemudian gaji yang besar, masih tidak berkorelasi positif terhadap pendidikan yang berkualitas. Orientasinya gaji, bukan pengabdian pada pendidikan.
Bukan maksud men-generalisir, bahwa ada memang guru-guru yang melek literasi, baik telah menjadi PNS/ASN/PPPK atau belum. Ia yang sama sekali tidak merisaukan istilah kurikulum dan perubahan lainnya. Baginya menjadi guru adalah amanah yang harus ditunaikan secara baik dan tuntas dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki.
Toh pada setiap perubahan kurikulum akan terdapat tantangannya masing-masing.
Padahal kalau mau, pendidikan tidak perlu diribetkan dengan sejumlah istilah kurikulum. Pendidikan itu setidaknya mencakup 3 hal, literasi, entrepreneurship dan akhlakul karimah. Bagaimana guru dan peserta didik melek literasi bersama, tiada tanpa hari tanpa membaca buku, lalu berlatih menulis dan terus mengasah kemampuan analisis atau kontekstualisasi. Berikutnya menumbuhkan jiwa entrepreneurship, di dalamnya akan dikupas mengenai mental petarung dan berani mengambil risiko.
Ada ilmu marketing dan praktik di dalamnya yang diajarkan sedini mungkin. Entrepreneurship ini menjadi senjata ampuh bahwa sarjana Keguruan tidak mesti berebut menjadi guru PNS/ASN/PPPK.
Baru berikutnya adalah akhlakul karimah, termasuk di dalamnya pada upaya pembauran sosial antara pihak sekolah (guru dan peserta didik) bersama masyarakat.
Sehingga pendidikan itu fokusnya bukan di kelas, melainkan di alam sosial yang membebaskan. Bagaimana para peserta didik diajak untuk merasakan hidup yang nyata, selain juga untuk mengasah empati. Tanpa literasi, entrepreneurship dan akhlakul karimah, apapun istilah kurikulumnya, siapapun Presiden dan Menteri Pendidikannya, kualitas pendidikan kita akan terus jalan di tempat atau bahkan mundur.
Tidak ada pendidikan tanpa literasi. Tidak ada pendidikan tanpa entrepreneurship. Dan tidak ada pendidikan tanpa akhlakul karimah/pembauran sosial.
Tiga elemen dasar pendidikan ini harus ditanamkan kepada para peserta didik sedini mungkin. Tiga elemen dasar tersebut yang akan menjadi inspirasi dan motivasi peserta didik dalam menghadapi dinamika kehidupan yang begitu cepat.
Sehingga daripada itu, materi-materi pelajaran, Ujian Nasional dan segala pelengkap pendidikan lainnya boleh saja tetap diterapkan, asalkan porsinya tidak melebihi kepentingan kita terhadap prioritas tiga elemen dasar yang tadi telah disebutkan.
Kalau tidak segera dikembalikan pada ruhnya, pendidikan hanya akan menjadi alat untuk politisisasi dan pembodohan bagi bangsanya sendiri. Dan memang susah terbukti, setiap pergantian Menteri dan pergantian kurikulum, sama sekali tidak ada perubahan yang berarti.
Beri keadilan terhadap para guru, tidak ada lagi istilah guru honorer dan PNS/ASN/PPPK, setarakan semua gaji guru, jangan sampai ada kesenjangan yang terlalu jauh, sederhanakan segala bentuk pelatihan guru, dan kembalikan pendidikan kepada ruhnya: literasi, entrepreneurship dan akhlakul karimah.
Wallahu a’lam