Di era modern, salah satu tokoh yang banyak dikenal masyarakat Islam adalah sosok bernama Ahmad Deedat (1918-2005), seorang polemikus ulung dari Afrika Selatan. Dia mempopulerkan kembali tradisi apologetika yang sudah berkembang di era klasik Islam, dengan gaya yang sangat populer. Saya ingin menyebut, Deedat adalah apologet (ahli apologetika) Muslim terbesar dalam lima puluh tahun terakhir. Sosok ini sudah menjadi selebriti debat dengan fans berat yang jumlahnya jutaan di seluruh dunia.
Rekaman ceramah dan debatnya bertebaran di mana-mana (biasa dijual di lapak-lapak yang bermunculan di depan masjid kota-kota besar saat hari Jumat). Di Youtube banyak kita jumpai debat-debat Ahmad Deedat ini.
Zakir Naik hanyalah meneruskan tradisi apologetika yang dimulai oleh Ahmad Deedat ini. Tetapi Ahmad Deedat pun bukan Sang Pemula. Dia meneruskan tradisi serupa yang sudah berkembang dengan canggih di India jauh sebelumnya (Ingat, Ahmad Deedat berasal dari India). Juga meneruskan tradisi apologetika yang sudah mengakar dalam tradisi intelektual Islam klasik. (Baca catatan saya sebelumnya).
Studi khusus yang menarik tentang polemik Islam-Kristen di India ditulis oleh Avril Ann Powell, “Muslim and Missionaries in Pre-Mutiny India” (1993).
Yang menarik adalah meneliti asal-usul kenapa Ahmad Deedat menjadi seorang polemikus ulung melawan Kristen.
Seperti ia ceritakan sendiri dalam salah satu bukunya (saya sudah lupa judulnya; saya membacanya beberapa tahun lalu), Deedat sebetulnya tak punya niat sejak awal untuk menjadi seorang polemikus. Perubahan terjadi secara mendadak ketika dia mengalami peristiwa traumatis saat remaja, menghadapi para penginjil yang secara agresif menyerang Islam di kotanya sendiri, Dearbon, Afrika Selatan.
Menghadapi situasi itu, Deedat yang masih remaja dan “culun” tak bisa berbuat apa-apa. Dia tak tahu bagaimana menjawab serangan-serangan agresif dari para penginjil di Afsel atas Islam itu. Hingga pada satu titik dia tak sabar lagi menghadapi keadaan yg menjengkelkannya itu.
Dia kemudian memutuskan untuk belajar Kristologi dengan niat yg spesifik: hendak membalas serangan misionaris yang sangat agresif atas Islam. Demikianlah, Deedat kemudian membangun karir pelan-pelan sebagai polemikus ulung. Hingga akhir hayatnya, Deedat telah menjalani ratusan debat denfan pendeta Kristen, baik di Afsel sendiri, maupun di negeri-negeri lain.
Dengan kata lain, Ahmad Deedat lahir dari sejarah yang sangat khas, yaitu fase sejarah ketika misi Kristen menggunakan apologetika yang agresif sebagai senjata untuk mengkristenkan umat Islam. Era ini beriringan pula dengan sejarah kolonialisme Barat di dunia Islam. Ini adalah era ketika wacana dialog antar-agama dalam pengertian sekarang belum muncul. Ini adalah era pra-Vatikan II, juga sebelum munculnya sosok-sosok seperti John Hick, Raimundo Panikkar, Hans Küng, Paul Knitter, dll. yang mempromosikan wacana “inter-faith dialogue”.
Ini adalah era yang membentang antara abad ke-19 hingga awal paruh kedua abad ke-20.
Saya membaca Deedat sebagai gejala perjumpaan Islam-Kristen di era kolonial. Sementara Zakir Naik yang melanjutkan tradisi apologetika Deedat lahir di era yang lain — era meruyaknya politik identitas yang terjadi sejak dekade 80an.
Berikut ini ciri-ciri khas wacana apologetis-polemis ala Deedat dan Zakir Naik:
(1) Using Scripture against itself-technique. Yaitu menggunakan teknik “Kitab Suci melawan dirinya sendiri.” Teknik ini beroperasi dengan cara seperti ini: mencari ayat-ayat yang saling berkontradiksi dalam Kitab Suci agama lain untuk mencapai kesimpulan pokok: kontradiksi dalam Kitab Suci itu menunjukkan bahwa dia bukanlah Kitab yang otentik, melainkan Kitab yang telah terdistorsi (muharraf).
Teknik ini dipakai secara efektif oleh Deedat dan Zakir Naik untuk menunjukkan bahwa Bible adalah Kitab yang tak otentik lagi dari Tuhan, melainkan Kitab yang sudah “diintervensi” oleh tangan-tangan manusia.
Catatan: Deedat tak sadar bahwa kontradiksi antar ayat bukan saja ada dalam Bible, tetapi juga di dalam Quran. Para sarjana Muslim klasik banyak menulis karya mengenai ayat-ayat Quran yang saling kontradiktif ini. Mereka menyebut ayat-ayat demikian itu sebagai “mutasyabihul Quran” (متشابه القران).
Sarjana Muslim tentu saja mengembangkan teknik-teknik penafsiran (الاستيراتيجيات التأويلية) untuk menyelaraskan ayat-ayat yang kontradiktif agar tak lagi saling bertentangan.
Deedat dan Zakir Naik mungkin tak tahu bahwa sarjana Al-Kitab (biblical scholars) juga mengembangkan strategi-strategi tafsir serupa dalam memahami ayat-ayat yang pada permukaannya tampak kontradiktif dalam Bible.
(2) Menggunakan parameter rasionalitas untuk menghakimi Kitab Suci agama lain. Berdasarkan parameter ini para polemikus Muslim hendak menunjukkan bahwa agama lain (dhi. Kristen) mengandung ajaran-ajaran yang tak rasional. Seolah-olah Deedat dan Zakir Naik lupa bahwa dasar agama bukanlah sepenuhnya rasionalitas, tetapi iman.
(3) Supremasisme. Yakni, upaya menunjukkan bahwa agama sendiri unggul di atas agama lain dengan cara menunjukkan kelemahan agama lain itu. Dengan kata lain, kaum polemikus umumnya menggunakan teknik “menang karo ngasoraké”, menang dengan cara merendahkan agama lain.
Padahal filosofi Jawa menganjurkan cara lain: “menang tanpa ngasoraké,” menang dengan cara terhormat, tidak dengan cara merendahkan pihak “lawan”.
(4) Menggunakan teknik-teknik retoris yang kadang, atau bahkan kerap menyinggung perasaan umat lain. Polemik adalah praktek diskursif yang mirip dengan istilah yang populer di dunia socmed sekarang: “twitwar”. Suasananya panas, dan gampang menyulut emosi.
Orang-orang yang suka twitwar pada dasarnya, secara tak disadari, adalah reinkarnasi Zakir Naik dalam bentuk yang lain. ???
Itulah sebabnya kehadiran Deedat dan Zakir Naik sangat kontroversial di negeri-negeri Barat, karena retorikanya rawan menimbulkan ketersinggungan umat lain.
(5) Kecenderungan menyatakan menang secara sepihak. Dalam perdebatan yang sifatnya polemis, kadang kita susah menentukan siapa pemenang, siapa pecundang. Sebab, polemik-apologetis ini, jika ditelaah lebih dalam, mirip seperti debat kusir. Setiap argumen lawan bisa dijawab secara retoris oleh lawannya ad infinitum, secara tak berkesudahan.
Tetapi biasanya secara sepihak, seorang polemikus cenderung menyatakan memenangkan debat, guna memberikan rasa tenang dan “sense of vindication” kepada umat dan jemaatnya.
Wacana polemis ala Deedat dan Zakir Naik memang disukai oleh kalangan Islam supremasis yang hendak menekankan keunggulan Islam atas agama-agama lain (الاسلام يعلو ولا يعلى عليه). Tetapi wacana semacam ini kurang bermanfaat dalam kerangka dialog antar-iman.
Kelemahan mendasar Deedatisme ini adalah satu hal: menerapkan parameter rasional kepada agama lain; tetapi tidak mengarahkan parameter serupa pada Islam. Jika Islam dikuliti dengan cara “polemis” seperti yang dilakukan Deedat atas Kristen itu, tentu hasilnya bisa juga menjengkeljan bagi umat Islam.
Umat Islam bisa membaca Kristologi-terbalik pada buku-buku Islamofob yang populer di kalangan pembenci Islam (Islamofob) di Amerika saat ini, seperti Robert Spencer. Membaca buku-buku Spencer yang menyerang Islam dengan “ganas” dan brutal sama dengan membaca buku-buku Deedat yang secara brutal menguliti ajaran Kristen.
Bagi kaum Kristen evangelis yang supremasis, buku-buku Spencer tentu menyenangkan. Sebagaimana buku-buku Deedat sangat menyenangkan bagi kaum Muslim yang memiliki kecenderungan supremasis serupa.
Baik apologetika Robert Spencer, maupun Ahmad Deedat dan Zakir Naik, kurang kondusif bagi upaya membangun harmoni dan dialog antar-agama yang berbasis pada niat saling menghargai perbedaan tradisi agama, bukan menghakimi.
Sekian.
Baca tulisan tentang Zakir Naik lain:
Zakir Naik Membunuh Keislaman Muslim
Lembaga Zakir Naik Diduga Biayai Terorisme
Memilih Guru Agama dan Persoalan Zakir Naik