Kita kehilangan pejuang toleransi yang militan, Bapak Djohan Effendy. Pak Djohan bersama Gus Dur dan tokoh-tokoh lintas agama mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), lembaga perdamaian lintas iman, pada tahun 2010. Di lembaga ini beliau mengaktualisasikan ide-ide kebebasan beragama, yang telah diperjuangkan semasa menjadi mahasiswa di Yogyakarta era 1960-an, bersama rekan-rekannya seperti Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan rekan-rekan HMI Yogyakarta.
Pertemuan pertama kali dengan Pak Djohan adalah ketika saya menginap di kantor ICRP. Keadaan sulit, mengharuskankami bekerja dan menginap sambil menyelesaikan naskah Majalah Majemuk. Pak Djohan datang pagi sekali. Saya kaget. Khawatir beliau akan marah. Kondisi kantor masih sangat berserakan. Namun sebaliknya, ternyata Pak Djohan sangat ramah dan lembut tutur katanya.
Beliau senang mengobrol dengan kami. Beliau sempat mengejek saya yang ketakutan karena diganggu makhluk halus di Kantor. Tidak pernah terlewat, membaca majalah dan koran. Paling lama satu jam, lalu beliau kembali pulang. Sementara, staf kantor belum pada datang. Kecintaan beliau terhadap lembaga ini sangat besar sekali. Bukan bangunan fisiknya, namun semangat, ide, dan perjuangan ICRP sudah mendarah daging dengan jiwa Pak Djohan. Bahkan beliau sempat berwasiat ingin disemayamkan di kantor yang sederhana ini.
Setelah selesai menjabat sebagai Mensesneg era Gus Dur, Pak Djohan, lama tinggal di Australia. Sesekali masih ke Indonesia dan berkunjung ke kantor ICRP. Sekitar 2015, beliau kemudian kembali ke Indonesia. Dengan kondisi yang tidak lagi bugar. Meskipun begitu, semangat intelektual beliau tidak pernah surut. Ingat betul, beliau pernah datang ke ICRP, meminta mencarikan satu artikel di internet, lalu dicetak. Beliau baca artikel sangat teliti dengan hanya satu tangan. Kondisi stroke membuat satu tangan lain tidak bisa digerakkan.
Semangat beliau masih sangat tinggi. Pada umur ke-73 beliau masih menerbitkan buku “Pesan-Pesan Al-Quran; Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci” karya penting dan tidak enteng.
Bersama murid-muridnya di Jakarta, beliau membuat diskusi Rabo-an. Kami berdatangan ke apartemen beliau di bilangan Senen, Jakarta Pusat. Berdesakan di Apartemen beliau, sangat sederhana. Beliau menikmati betul diskusi yang membahas soal toleransi, hubungan antar agama, teologi, perempuan, perkembangan advokasi hak beragama, dan sesekali selingan politik. Kami berhenti mengadakan diskusi Rabo-an ini semenjak Ibu Siti, istri Pak Djohan, sakit cukup parah.
Warisan Luhur
Dalam pengamatan saya, ada tiga ide besar yang diperjuangkan oleh Pak Djohan, yakni: Kebangsaan, Kebebasan, dan Kemajemukan. Dalam hal kebangsaan, Pak Djohan dari awal tegas mengenai posisi agama dan negara yakni pemisahan keduanya atau sekularisme. Budhy Munawar Rachman, murid Pak Djohan, menuturkan, sekularisme versi Djohan Effendy adalah sekularisme yang “bersahabat” dengan agama. Tidak seperti Perancis, Uni Soviet dan Cina. Namun sekularisme seperti Amerika Serikat dan Eropa dewasa ini. Di mana ada pemisahan jelas antara agama dan negara, namun beribadah dan berkeyakinan terjamin hak-haknya. Pak Djohan mendukung negara sekuler yang disebut “Negara Pancasila” yang menjamin aktualisasi agama.
Ide kebebasan yang dipromosikan Pak Djohan bukanlah ide kebebasan yang tanpa batas. Namun, kebebasan sipil: kebebasan berpikir, berpendapat, berkeyakinan dan beragama. Menurut Pak Djohan dalam liberalisme ada ruleoflaw. Dengan demikian, negara harus bertindak adil dan mengayomi seluruh warganya serta bersikap teguh dan tegar melindungi hak-hak sipil mereka.
Melihat realitas Indonesia yang begitu plural (majemuk), kita perlu bersikap pluralis, menerima dan menghargai realitas yang plural. Pesan pluralisme seperti ini, seperti dikatakan Pak Djohan, susah dimengerti oleh masyarakat di Indonesia, termasuk MUI. Karena keberagamaan umat Islam Indonesia yang Sunni lebih fiqhoriented dan mengutamakan pendekatan normatif, kurang filosofis.
Menurut Pak Djohan, Pluralisme berangkat dari keragaman dan keunikan agama-agama. Penerimaan MUI terhadap pluralitas dan mengharamkan pluralisme adalah sesuatu yang rancu. Karena penerimaan pluralitas hanya bisa dengan pluralisme. Pluralisme akan menimbulkan dinamika dan mendorong seseorang menyempurnakan kepercayaan masing-masing dengan mengambil kearifan dari pemeluk agama lain.
Perbedaan dianugerahkan Tuhan untuk bertukar nilai-nilai peradaban, saling memberi dan menerima keberbagaian. Inilah hakikat pluralisme yang diperjuangkan Pak Djohan semasa hidupnya, terutama membela kebebasan beragama.
Bagi kami, Pak Djohan adalah sosok guru teladan. Guru yang mengajari konsistensi dan keteguhan memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kesederhanaan.
Sampai menulis ini, saya begitu terharu melihat video wasiat beliau yang meminta dimakamkan di Australia, bukan di Indonesia. Beliau tidak mau merepotkan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Meskipun harus terpisah dengan Ibu Siti, istri setianya.
Selamat jalan Pak Djohan, terima kasih. []
Muhammad Mukhlisin adalah Mantan Koordinator Sekolah Agama ICRP, Kepala Sekolah Guru Kebinekaan