Beberapa hari ini dunia Islam dibuat marah (lagi) oleh pernyataan “ngawur” Presiden Amerika Serikat, Donal Trump. Kali ini terkait pernyataan sepihaknya tentang posisi Yerusalem sebagai ibukota Israel. Sepertinya sikap orang ini dari dulu memang tidak ada baiknya sama sekali.
Kalau kita mau melihat lebih dalam lagi, sebenarnya tidak ada hal baru dari pernyataan Trump, karena memang dari dulu Amerika & Israel (Zionis) ingin menguasai Palestina. Akan tetapi, pernyataan sepihak dan terang-terangan ini sangat menciderai hukum Internasional, PBB dan khususnya rakyat Palestina. Amerika yg “katanya” menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, demokrasi, dalam realitanya selalu berbuat seenaknya sendiri. Itulah jumawanya negara yang “merasa” paling adikuasa.
Saya ingin memulai tulisan ringan ini dengan sejarah awal datangnya gerombolan orang Yahudi ke negara Palestina, supaya jelas runtutan kronoliginya bagaimana bisa muncul sebuah negara bernama Israel. Secara ringkas, peta sejarah kelam Palestina dimulai dengan munculnya surat deklarasi yg ditulis oleh James Balfour (Zionis) kepada Rothschild (pemimpin Yahudi Inggris) yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Balfour tahun 1917. Salah satu isinya tidak lain adalah usaha pendirian negara Yahudi di Palestina.
Munculnya deklarasi ini menjadi berkah bagi orang Yahudi di seluruh dunia untuk kemudian berbondong-bondong menuju Palestina (meskipun ada sejumlah kecil orang Yahudi tidak setuju karena merasa bahwa Yahudi itu agama, bukan negara). Setelah itu, jumlah penduduk Yahudi dari tahun ke tahun semakin bertambah dan pemerintah mereka di kemudian hari menamainya sebagai negara Israel, negara ilegal di tanah Palestina. Hal ini bisa terjadi lantaran bangsa Islam waktu itu memang sudah berada dalam posisi kalah—untuk tidak mengatakan terpuruk—dari berbagai sisi. Termasuk kesultanan Ustmaniah yang menjadi penjaga terakhir tanah Palestina, sebelum akhirnya menyerah dari kepungan Inggris.
Dalam konferensi Internasional memperingati “A Century of Balfour Injustice: Defending Palestinian Rights” di gedung MPR RI yang saya hadiri kemarin (07/11/2017), beberapa tokoh pejuang kemerdekaan Palestina dari berbagai negara secara bergantian memberikan uraiannya terkait kondisi Palestina sekarang. Salah satu hal yang disinggung adalah kita tidak boleh lupa bagaimana sikap Arab Saudi yang “pura-pura” menutup mata atas derita rakyat Palestina. Kenapa demikian? Karena Arab Saudi memiliki kepentingan dengan Amerika. Alih-alih memikirkan bagaimana caranya supaya Palestina segera merdeka, usaha membantu Palestina saja masih setengah hati. Itulah kenyataan negara yg mengaku paling berhak memegang kunci Makkah Madinah ini.
Di sisi lain, coba bayangkan betapa rendahnya “pandangan” mereka pada Iran, negara berpenduduk mayoritas Syi’ah yang paling lantang suaranya menentang Amerika dan membantu rakyat Palestina (yang mayoritas sunni). Inilah sisi buruk politik Saudi yang menempatkan posisi kekuasaan sebagai sesuatu yang paling utama, tidak peduli kamu agamanya apa, temanmu siapa dan dari mana asalmu.
Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia mempunyai posisi yang amat penting dalam “membangunkan” negara-negara muslim lain untuk bersama-sama membantu Palestina, bahkan tidak berlebihan bila bukan hanya negara muslim, akan tetapi seluruh negara di dunia yang masih menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan. Karena isu Palestina bukan hanya isu agama, tetapi isu kemanusiaan dan keadilan.
Maka, terlepas dari semua konspirasi Arab Saudi, Inggris, Amerika dan Israel. Yang terpenting sekarang adalah pencegahan pernyataan sepihak Trump tentang Yerusalem sebagai ibukota Israel. Sebaliknya, Yerusalem adalah ibukota Palestina dan selamanya menjadi ibukota Palestina. Di samping itu, ada hal yang lebih penting lagi untuk diperjuangkan, yakni kemerdekaan bangsa Palestina.
Zaimul Asroor, penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.