Bersedekah itu keren. Saat ini, bersedekah sudah menjadi salah satu gaya hidup, apalagi menjamurnya lembaga atau komunitas berbagi (filantropi dan atau charity) menjadi salah satu pertanda bagaimana kedermawanan itu terus tumbuh terutama di negara-negara Muslim. Ada beragam motif di dalam praktik kedermawanan ini mulai dari agama, kepedulian terhadap sesama, sampai kepada motif ekonomi dan politik. Tapi, sebenarnya, ada sesuatu yang kita sebagai muslim belum banyak yang tahu.
Dalam konteks Indonesia, praktik kedermawanan sebagian besar digerakkan oleh motif keagamaan di mana sekitar 87% penduduk Indonesia beragama Islam dan menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia (PIRAC, 2002). Namun, bagaimana sih Islam memodifikasi praktik kedermawanan ini? Apa perbedaan antara praktik bersedekah era Jahiliyah dan setelah kedatangan Islam?
Sedekah pada era Jahiliyah
Kata sedekah di dalam bahasa Arab kemungkinan besar diserap dari bahasa ibrani yaitu zedaka yang dimaknai sebagai keadilan dan kebajikan. Praktik sedekah ini, sebelum datangnya agama-agama samawi seperti Islam, Yahudi, dan Kristen, lazimnya merujuk kepada praktik persembahan kepada dewa agar mendapatkan balasan yang setimpal dengan pengorbanan yang telah diberikan (Mauss, 1966).
Masyarakat Arab di kota Mekah sebelum kedatangan Islam dikenal sebagai masyarakat yang senang melakukan berbagai tindakan kedermawanan. Mereka, kaum Quraisyh, memiliki reputasi karena keramahannya yang senantiasa ditunjukkan terutama pada musim-musim haji. Mereka adalah masyarakat yang piawai dalam memuliakan para tamu dari berbagai penjuru jazirah Arab yang datang ke Mekah baik untuk mengunjungi Ka’bah atau dalam perjalanan dagang.
Di kalangan para pembesar kabilah, mereka saling berlomba untuk menunjukkan keramahtamahan mereka. Unta, selain berfungsi sebagai kendaraan atau alat transportasi, juga menjadi simbol kekayaan dan kemakmuran di mana hewan ini sering menjadi menu utama untuk menjamu para tamu. Seorang pemimpin kabilah, sebagai contoh, mengumpulkan klan mereka untuk berpesta dengan jamuan daging unta. Melihat hal ini, pemimpin kabilah lain akan menyainginya, dengan menyembelih unta lalu dagingnya didistribusikan kepada kaumnya.
Persaingan seperti ini terus berlanjut sehingga terdapat banyak unta yang disembelih hanya untuk menunjukkan kemurahan hati dan kebesaran sang pemimpin tersebut, meskipun daging unta yang tersedia melebihi daya konsumsi penduduk yang ada. Pemimpin kabilah yang kehabisan untanya atau menyerah dalam persaingan ini akan menanggung rasa malu. Praktik ini disebut dengan beragam istilah yang sering disebutkan dalam perlombaan syair masyarakat Mekah seperti tafakhur dan mufakhara (Bonner, 2003).
Salah satu pemimpin kabilah yang melegenda karena sifat kedermawanannya pada masa jahiliyah ini adalah Hatim Al-Tha’i. Hatim sang dermawan ini, di beberapa negara seperti India dan Iran, kemasyhurannya hampir sama dengan Aladdin, Sinbad atau Abu Nuwas. Namanya juga tertulis dalam salah satu bagian dari kisah Seribu Satu Malam.
suatu hari, kafilah dagang yang dipimpin oleh Al-Hakam bin Abi al-Ash dalam perjalanannya dari Hijaz menuju Hira melewati perkampungan Tha’i dan meminta perlindungan dari Hatim. Hatim pun menyetujuinya dan memberikan jamuan sebagai bentuk keramahtamahannya dengan menyembelih beberapa ekor unta. Hatim menyuruh seluruh kaumnya untuk memberikan perlindungan kepada Al-Hakam dan kemudian menantang Banu Lam, salah satu keturunan dari Bani Tha’i. Keduanya pun bersepakat untuk bersaing dalam memberikan jamuan yang akan diselenggarakan di pasar Hira. Pihak Banu Lam mengerahkan seluruh sumber daya untuk menjawab tantangan ini. Hatim mengajak kemenakan-kemenakannya dan sekutunya sehingga Banu Lam pun dengan terpaksa harus mengakui kekalahan mereka sebelum kompetisi perjamuan itu dimulai (Bonner, 2003). Dengan pengakuan tersebut, maka keunggulan atau harga diri Hatim sebagai pemimpin kabilah tetap terjaga sekaligus menjadi kabar baik bagi unta-unta lokal karena tidak akan terjadi penyembelihan yang lebih banyak untuk persaingan ini.
Demikianlah kira-kira praktik kedermawanan di era jahiliyah. Di satu sisi berhubungan dengan pengorbanan sekaligus berkaitan dengan masalah kepemimpinan. Dalam konteks yang lebih luas, kondisi ini menggambarkan bagaimana bobroknya solidaritas sosial masyarakat Mekah. Mereka terkungkung oleh fanatik buta terhadap suku masing-masing dan persaingan yang tidak sehat antar pemimpin kabilah dalam hal kekayaan dan kedermawanan sehingga mengikis rasa kepedulian sosial. Lebih lanjut, meskipun daging unta itu didistribusikan kepada para budak dan sekutu mereka, hal itu tidak dilandasi oleh semangat tolong-menolong melainkan dalam rangka melanggengkan status quo hubungan majikan-budak di antara mereka.
Kedermawanan pada masa Jahiliyah adalah simbol kesuksesan dan kebesaran. Setiap orang berusaha untuk mencapai posisi sebagaimana yang telah dicapai oleh Hatim al-Tha’i dan pemimpin kabilah lainnya. Untuk dihormati masyarakat di seluruh jazirah Arab, bahkan mungkin lebih luas lagi, seseorang mesti bermurah hati, memiliki keberanian, tepat janji, baik untuk persekutuan, perlindungan, jaminan maupun untuk tujuan lainnya. Dipuji karena berbagai kebaikan dalam hidup ini dan setelah mati, bagi mereka, adalah kehormatan dan keabadian yang memberikan makna hidup.
Itulah yang mereka cari sebagai ideal kehidupan ini. Bukan pahala di sisi Tuhan. Inilah yang menutup jiwa mereka dari seruan Muhammad di kemudian hari yang mengajarkan tentang kefanaan hidup duniawi beserta kesuksesan hidup yang mereka idam-idamkan (Ling, 92).
Kedermawanan pada Masa Islam
Dengan gambaran di atas, kita melihat bagaimana ajaran Islam tentang kedermawanan tidak hadir dari ruang kosong. Nabi Muhammad diutus untuk mempertahankan tradisi bersedekah yang dianggap baik, sembari meluruskannya berdasarkan semangat ketauhidan. Jika pada masa jahiliyah kedermawaan digunakan sebagai ajang untuk menunjukkan keunggulan pribadi di tengah kaumnya, Islam menggantinya dengan semangat tauhid di mana kedermawanan menjadi salah satu ibadah yang penting, bahkan inti dari ajaran Islam.
Sejumlah ayat Alquran menekankan tindakan kedermawanan dalam berbagai bentuk mulai dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf (QS. Al-Taubah: 34 dan 71; Q.S. Al-Baqarah: 2-3 dan 272; Q.S. Ali-Imran: 180).Zakat, misalnya, selain bertujuan untuk membersihkan harta benda, juga menjadi jembatan untuk membangun kesetaraan antara yang punya dan kaum papa. Jonathan Benthall (1999), seorang antropolog dari Inggris, menyebutnya sebagai “financial worship”, yaitu ibadah dalam bentuk harta benda yang salah satunya bertujuan untuk membangun solidaritas sosial, mengentas kemiskinan, dan menjaga keteraturan sosial.
Beragam bentuk praktik kedermawanan di dalam Islam mengandung dua sisi yang saling terkait: membersihkan jiwa dan harta dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan menebarkan kasih sayang kepada sesama dan membangun masyarakat berbasis semangat kesetaraan dan keadilan sosial.
Lalu, bagaimana dengan sedekah kita? Mari kita renungkan bersama!
Bacaan:
Jonathan Benthall “Financial Worship: The Quranic injunction to almsgiving “, The Journal of the Royal Anthropological Institute 5(1): 27-42. 1999.
Marcel Mauss, The Gift: The Form and Reason for Exchange in Archaic Societies (London: Cohen & West LTD, 1966 )
Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Mizan, 2018.
Michael Bonner, “Poverty and Charity in the Rise of Islam”dalam Poverty and Charity in Middle Eastern Contexts, hlm. 13-30. New York: State University of New York Press. 2003.
Public Interest Research and Advocacy (PIRAC) yang berjudul Investing in Ourselves: Giving and Fundraising in Indonesia (2002)