Setiap agama memiliki ajaran yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Ajaran sebuah agama ini biasanya berasal dari atau melanjutkan terhadap agama lain, terutama agama yang datang lebih dahulu melalui modifikasi hingga menjadi “berbeda” meski esensinya sama.
Salah satu ajaran dalam Islam yang diadopsi dari agama-agama yang berkembang di dalam masyarakat Arab pra Islam yaitu “puasa” (Arab: “ash-shiyâm” atau “ash-shaum”). Sejarawan kelahiran Irak, Jawwâd ‘Ali (w. 1987), dalam bukunya, Al-Mufashshal fî Târîkh al-‘Arab Qabla al-Islâm, menceritakan bahwa masyarakat Arab sebelum masa Nabi Muhammad sudah banyak yang menjalankan puasa.
Arti ash-shaum sendiri secara etimologi yaitu menahan diri dari aktivitas tertentu atau meninggalkannya. Orang yang berpuasa atau dalam bahasa Arab disebut “ash-shâ`im” berarti orang yang menahan diri dari aktivitas makan, minum, dan bersetubuh. Kata “ash-shaum” juga digunakan untuk menyebut menahan diri dari aktivitas berbicara (diam) seperti dalam QS. Maryam 26.
Pengertian puasa dari sisi kebahasaan ini menjadi poin penting untuk mengetahui puasa yang dilakukan masyarakat Arab pra Islam. Puasa pada masa pra Islam menjadi salah satu identitas Yahudi dan Nashrani. Masyarakat Arab di Yatsrib atau Madinah mengenal ritual puasa dari orang-orang Yahudi, sedangkan Arab Irak dan Syam mengetahuinya dari Nashrani. (Jawwâd ‘Ali, 1993: VI, 339).
Perjumpaan antara Yahudi dengan masyarakat Arab sendiri telah berlangsung lama, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Al-Ashbihânî dalam karyanya, Al-Aghânî, menceritakan imigrasi Yahudi ke jazirah Arab dalam dua fase, yaitu 1) ketika Musa mengirim pasukan untuk menumpas raja-raja yang lalim, dan 2) imigrasi sebab serangan militer Romawi terhadap Syâm.
Sejarawan Arab tidak memberikan tahun yang pasti terkait waktu permulaan imigrasi Yahudi ke jazirah Arab. Menurut Wolfensohn, penulis buku Târîkh al-Yahûd fî Bilâdi al-‘Arab, imigrasi tersebut diperkirakan terjadi sekitar 12 SM, tapi tahun ini masih diragukan. Tahun imigrasi yang dapat diterima dan masuk akal yaitu pada abad 1 M, yakni ketika Romawi menyerang dan menghancurkan Palestina.
Imigrasi Yahudi ke jazirah Arab ini mengambil tempat tinggal di Madinah dengan alasan tanahnya subur sehingga bisa bercocok tanam, membuka industri, dan yang lainnya. Pembahasan tentang ini dalam bahasa Indonesia, silakan baca buku saya, Bintang Daud di Jazirah Arab (eLSA Press, 2017).
Yahudi di Jazirah Arab adalah masyarakat yang memiliki peradaban, sedangkan masyarakat Arab saat itu masih terbelakang. Karena itu dalam berbudaya, masyarakat Arab banyak menyerap tradisi-tradisi Yahudi, baik berkaitan dengan sosial, ekonomi, politik, maupun keagamaan.
Selain melalui penyerapan kebudayaan, perjumpaan masyarakat Arab dengan Yahudi juga mengantarkan pada pengetahuan akan kebiasaan Yahudi yang salah satunya menjalankan “puasa”.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang