Sejarah Perpustakaan Islam

Sejarah Perpustakaan Islam

Perpustakaan Islam dalam sejarah ulama Indonesia dan perpustakaan islam di Timur sedikit memiliki kesamaan.

Sejarah Perpustakaan Islam

Dalam masyarakat kitab seperti di pesantren, penggambaran kedekatan mereka terhadap buku atau kitab, mungkin bisa dipahami dalam ungkapan Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi dalam Mahadurat al Abrar, perpustakaan islam

“Siapa yang dapat memiliki tamu lain seperti itu yang boleh jadi singgah sebentar atau tinggal dengan Anda sebagaimana bayangan Anda sendiri atau bahkan sebagai anggota badan Anda?”.

Apa yang diungkapkan Ibnu Arabi di atas, tentang bagaimana buku digambarkan begitu dekat, yang diumpamakan seperti “bayangan”, atau “anggota badan” yang melekat pada manusia, mungkin sulit dibayangkan pada zaman sekarang, sampai kemudian pengajian-pengajian kitab Gus Baha menjadi viral.

Gus Baha dalam banyak kesempatan, kerap dengan fasih dan lengkap menyampaikan sumber rujukan sesuai teks aslinya. Salah satu kemewahan yang dimiliki dan terus dipertahankan oleh kelompok pesantren sampai hari ini.

Tentu capaian-capaian intelektual seperti itu tidak lahir dari ruang hampa. Lingkungan tempat mereka belajar dan tumbuh menjadi faktor utama. Sejak dulu pesantren dicatat sebagai basis ilmu pengetahuan. Kita bisa menilik catatan Peter Carey tentang Diponegoro muda dalam Takdir.

Diponegoro yang menghabiskan waktu mudanya untuk belajar di pesantren-pesantren atas arahan Ratu Ageng, neneknya. Atau kita bisa membaca catatan sejarah bagaimana pujangga Mataram, seperti Yosodipura, juga cucunya Raden Ngabehi Ronggowarsito, yang tekun menjalani pendidikan di pesantren sebelum masa pengabdiannya sebagai pujangga tiba. Sejak lama pesantren-pesantren menjadi tempat persemaian kaum terpelajar.

Perpusatakaan-perpustakaan yang ada di pesantren, atau koleksi kitab-kitab kiai yang melimpah, yang lalu dibacakan di depan para santri, menjadi penanda tradisi masyarakat kitab di Indonesia sejak masa-masa yang jauh. Cara menyimpan kitab dalam satu ruangan khusus yang lalu disebut perpustakaan ini, diwarisi turun-temurun dari tradisi perpustakaan dalam dunia Islam.

Pertama-tama tradisi ini dimulai dari sekolah tinggi Islam awal, seperti Akademia Baitul Hikmah, di Baghdad, yang semula adalah perpustakaan yang lalu berkembang menjadi perguruan tinggi. Syalaby seperti dikutip oleh Mehdi Nakosteen dalam History of Islamic Origins of Western Education, melaporkan; bahwa perpustakaan-perpustakaan semacam Khazanah al-Hikmah al-Munajjin dan perpustakaan lain di Mosul dan Basrah, telah didirikan pendidikan, terbuka untuk masyarakat dari jauh dan dekat. Ini persis dengan fungsi pesantren di Indonesia, yang menjadi tujuan belajar bagi santri-santri yang datang jauh dari luar daerah.

Fernão Mendes Pinto, seorang penjelajah Portugis melaporkan tentang kemegahan perpustakaan Islam abad pertengahan, ia menyatakan:

“…banyak ruangan-ruangan untuk kegunaan yang berbeda: galeri dengan rak-rak tempat menyimpan buku-buku, ruangan tempat pengunjung dapat membaca dan belajar, ruang yang diatur berpisahan itu untuk pembuatan salinan dari manuskrip-manuskrip, ruangan-ruangan yang disediakan untuk pertemuan-pertemuan sastra dan bahkan dalam beberapa hal ruangan-ruangan dipergunakan untuk pertunjukan musik. Semua ruangan dibuat sedemikian mewah dan menyenangkan . di atas lantai digelar karpet dan lapir-lapik (alas) tempat para pembaca dalam gaya Asia Timur, duduk bersila membaca bahkan menulis. Jendela-jendela dan pintu-pintu tertutup tirai, pintu masuk utama memiliki tirai dengan berat khusus agar bisa menghalangi masuknya udara dingin.”

Pinto juga menyampaikan suasana di perpustakaan lain, yaitu perpustakaan Adud ad-Dawlah di Shiraz, yang terdiri dari sebuah galeri yang panjang, dengan kamar-kamar penyimpanan di sebelahnya. Sepanjang dinding galeri dan kamar-kamar penyimpanan, buku-buku tersusun di atas rak-rak buku, dan untuk masing-masing cabang ilmu pengetahuan dikelompokkan secara terpisah.

Laporan-laporan yang ada menyebut, perpustakaan-perpustakaan besar itu sangat menarik dalam pengelolaannya. Tidak hanya para cendekiawan yang bisa dengan bebas menggunakan perpustakaan dan semua fasilitasnya untuk mengajar usaha-usaha ilmiah. Selain itu juga ada beberapa hal atau kegiatan lain, di antaranya makanan dan pemondokan, bahan-bahan untuk menulis, dan bantuan lain bagi siapa saja yang datang dari negeri yang jauh, dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan.

Keadaan ini tidak jauh beda dengan pesantren salaf tradisional tempo dulu di Indonesia, yang membebaskan siapa saja untuk datang belajar, membaur bersama santri lain dalam bimbingan seorang kiai.

Meski terkesan longgar, tapi ada aturan-aturan yang harus tetap dipatuhi oleh para pengunjung perpustakaan.

Di antara aturan itu adalah; dilarang menulis catatan pada pinggir halaman buku; dilarang meminjamkan lagi buku-buku yang dipinjam tersebut kepada peminjam lain. Dilarang meminjamkan buku-buku tersebut untuk jaminan bagi urusan (barang-barang) pribadi. Semua buku harus dikembalikan dengan segera atas permintaan perpustakaan atau atas permintaan pemilik. Semua buku dipinjam oleh para peminjam untuk satu waktur tertentu, buku-buku yang dikembalikan dikumpulkan dengan satu ucapan terimakasih atas penggunaannya. (AN)

 

Baca juga tulisan yang lain tentang perpustakaan Islam.