Ragam Perpustakaan dalam Sejarah Islam dan Nasibnya Kini

Ragam Perpustakaan dalam Sejarah Islam dan Nasibnya Kini

Ragam Perpustakaan dalam Sejarah Islam dan Nasibnya Kini
13th-century manuscript of Maqamat al-Hariri showing the public library of Hulwan in Baghdad.

Dari berbagai perpustakaan yang ada pada abad-abad permulaan Islam, sejarawan membaginya menjadi tiga jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum, semi umum dan pribadi. Perpustakaan umum biasanya berhubungan dengan sekolah, sekolah tinggi atau masjid. Perpustakaan semi umum, hanya terbuka untuk satu kelompok tertentu atau terpilih. Sedangkan perpustakaan pribadi, sebagaimana sebutannya, dimiliki oleh para cendekiawan untuk kebutuhan pribadinya. Tiga jenis perpustakaan tersebut banyak terdapat di seluruh penjuru dunia Islam.

Dalam History of Muslim Education, karya Syalaby yang dikutip Mehdi Nakosteen, memberikan suatu daftar sebagian dengan deskripsi-deskripsi yang memenuhi ketiga jenis perpustakaan-perpustakaan muslim tersebut. Perpustakaan umum yang didaftar ialah Baitul Hikmah, Perpustakaan Haidari di Najaf, Perpustakaan Khazanah Sabur Darul Sawwar di Basrah, lalu perpustakaan Darul ‘Ilm milik asy-Syarif ar-Radi, perpustakaan masjid az-Zaid, Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo, dan sejumlah perpustakaan-perpustakaan sekolah terkenal lainnya.

Kebesaran perpustakaan direkam dalam banyak catatan. Ibnu Sina (Avicenna, 980-1037) misalnya melaporkan bahwa perpustakaan kerajaan Sultan Nuh Ibnu Mansur bisa digunakan dengan bebas. Perpustakaan tersebut adalah salah satu dari banyak perpustakaan yang dibuka oleh khalifah-khalifah dan perdana menteri (wazir). Ibnu Sina menyebutkan,

“Saya menemukan di sana banyak ruang-ruang berisi buku-buku yang tersusun dalam kotak-kotak berjajar bersusun-susun. Satu ruang terbagi untuk karya-karya filologi dan puisi bahasa Arab, yang lain untuk karya-karya Fiqih dan demikian seterusnya. Buku-buku tentang suatu bidang ilmu pengetahuan memiliki satu ruang tersendiri. Saya memeriksa katalogus tentang penulis-penulis Yunani kuno beberapa orang dan nama-nama yang telah dikenal dan yang saya sendiri belum pernah melihat sebelumnya.”

Perpustakaan-perpustakaan besar itu memiliki katalogus koleksi-koleksi mereka. Perpustakaan as-Sahib dilaporkan memiliki katalogus terdiri dari 10.000 volume. Koleksi-koleksi itu bebas diakses oleh setiap orang. Penghormatan pemilik perpustakaan pada cendekiawan yang peduli untuk menggunakannya sangat jelas. Seperti Ibnu Abbad yang tidak saja mengijinkan secara bebas perpustakaannya yang terkenal, tetapi juga memberi 1.000 dirham dan seperangkat pakaian kepada setiap cendekiawan untuk menggiatkan pengetahuan dan kecendekiaan.

Perpustakaan Hamdaniyyah di Syria milik penyair Ibnu Hamdan, telah dibuka untuk semua mahasiswa dan kertas diberikan secara gratis kepada para cendekiawan yang miskin, demikian juga pada perpustakaan Adud ad-Dawlah di Basrah, telah dibuka untuk para cendekiawan dan orang-orang yang “membaca dan menulis” di sana, menerima beasiswa. Qadhi di Nishapur, Ibnu Hibban (wafat 965) mewariskan rumahnya di kota bersama-sama dengan sebuah perpustakaan dan tempat tinggal, untuk mahasiswa-mahasiswa asing dan menyediakan upah untuk perawatannya.

Di kota Marv, banyak perpustakaan amat murah meminjamkan buku-buku koleksinya. Ahli Geografi Yaqut al-Hamawi (1178-1229) menyatakan bahwa selama tiga tahun ia tinggal di Merv, rumahnya tidak pernah kosong dari 200 volume buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Buku-buku itu ia pinjam dengan tanpa tanggungan, walaupun buku-buku tersebut sampai bernilai 200 dinar.

Penagalaman itu ia catat dalam buku geografinya; “Sudah pasti saya tidak akan meninggalkan kota itu sampai mati karena banyak orang-orang, kebaikan hati, kedermawanan, dan kesetiakawanan orang-orangnya serta banyak buku-buku penting di sana. Karena apabila saya meninggalkannya, sama dengan saya meninggalkan sepuluh perpustakaan yang banyak membantu dengan memberikan sejumlah buku-buku, yang belum pernah lihat sebelumnya… ada dalam satu perpustakaan kira-kira dua belas ribu volume (buku-buku bersampul kulit).”

Merv menjadi kota yang memiliki perpustakaan-perpustakaan penting, seperti perpustakaan Kamiliyyah, Syaraful Mulk Mustawfi, Nizamul Mulk, Amiddiyah, Mydul Mulk, Khatuniyyah, dan perpustakaan biara Damir.

Di Kairo, perpustakaan al Hakim (“the House of Science”), perpustakaan yang dibangun untuk keperluan riset oleh Khalifah al-Hakim yang terletak di sekolah tinggi yang didirikannya pada tahun 1004, memiliki koleksi buku-buku yang banyak dengan satu perkiraan yang seperti dilebihkan, yakni 1.600.000 volume.

Al Hakim, memberikan hak masuk setiap orang, tanpa membedakan status sosialnya. Siapa saja ingin membaca boleh mengakses. Bahkan ada fasilitas khusus bagi mahasiswa-mahasiswa miskin, disuplai dengan seperangkat alat tulis dan kertas untuk mencatat atau menyalin buku-buku yang diinginkannya.

Khalifah al Hakim menyediakan anggaran lebih dari 200 dinar setiap tahun untuk perawatan perpustakaan tersebut; untuk biaya kertas untuk para penyalin, kertas, tinta dan pena untuk mahasiswa, memperbaiki kerusakan buku-buku, dan gaji para pegawai perpustakaan.

Sebenarnya masih banyak lagi catatan-catatan lain yang menggambarkan kemewahan, kemegahan perpustakaan-perpustakaan kuno yang terbentang dari Baghdad sampai Nishapur. Baghdad pada peralihan abad ke tiga belas dan dekade-dekade sebelum bangsa Mongol menghancurkan kota-kota besar itu beserta segala isi di dalamnya. Tercatat ada tiga puluh enam perpustakaan yang aktif pada saat itu, dengan fasilitas yang tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Di Spanyol dan Sisilia, terdapat lebih dari tujuh puluh perpustakaan dalam jenisnya masing-masing.

Di antara perpustakaan itu adalah, perpustakaan al-Fadhil didirikan Sultan Saladin, dipasrahkan pengelolaannya kepada seorang Qadi bernama al-Fadhil. Perpustakaan al-Ma’arif, didirikan oleh cendekiawan al-Ma’arif, berisi ribuan buku-buku dari setiap cabang ilmu pengetahuan, dengan kalimat-kalimat indah tertulis di sampul belakang tiap-tiap volume, tentang keadaan isinya dan pada setiap volume buku-buku ilmu kedokteran ditulis komentar dan penjelasan dari al-Ma’arif sendiri. Kemudian perpustakaan Baitul Hikmah (Rumah Pengetahuan) didirikan pada tahun 998, oleh Khalifah Fathimiyyah, al-Aziz (975-996), yang berisi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 al-Qur’an berhiaskan emas dan perak disimpan di ruang terpisah.

Di dalam perpustakaan itu diperkejakan banyak tenaga, untuk pustakawan, penyalin, dan penjilid yang bekerja di dalam Scriptorium, seperti pada perpustakaan Khalifah al-Hakim di Cordova yang berisi 600.000 volume buku. Beberapa perpustakaan sampai menghabiskan 1.000 dinar emas setiap bulan untuk dana bagi pustakawan, penjilid dan penyalin.

Masa-masa Penghancuran

Betapa berharganya perpustakaan-perpustakaan yang ada saat itu, sampai kemudian angkara murka dan peperangan melumat habis semuanya. Perpustakaan Islam di Tripoli dihancurkan oleh tentara perang Salib. Perpustakaan besar Sultan Nuh Ibnu Mansur dibakar seluruhnya, setelah sebelumnya Ibnu Sina (Avicenna) menyelesaikan penelitiannya di sana. Perpustakaan di Samarkand dan Bukhara juga menjemput takdir yang sama.

Perpustakaan al-Hakim dihancurkan oleh tentara Turki, setelah mereka menaklukkan penguasa setempat. Tentara Turki itu kemudian memisahkan sampul buku dengan isinya, lalu sampul buku yang terbuat dari kulit dengan kualitas yang baik itu mereka jadikan bahan untuk membuat sepatu-sepatu mereka. Isi buku yang ada itu mereka tumpuk dan lalu mereka bakar habis semuanya. Sekarang, lokasi tempat pembakaran gunungan buku itu dikenal dengan “Hill of the Books”.

Yang unik adalah catatan mengenai perpustakaan Pangeran Ben Fatiq, yang dimusnahkan oleh isterinya sendiri tak lama setelah kewafatannya, sebab dendam. Dibantu seorang budak, isteri mendiang Pangeran Ben Fatiq mencemplungkan semua buku ke dalam kolam besar. Di Spanyol, pada 1492 ribuan buku berbahasa Arab di Bakar, bersamaan dengan diusirnya bangsa Moor oleh Pangeran Kristen.

Sebagian buku-buku itu dibakar, sebagian lain dijarah. Seperti yang dilakukan oleh Philip II, yang menyimpan hasil jarahan manuskrip-manuskrip di dalam Escorial-nya yang terkenal itu. Buku-buku itu ia jarah dari perahu-perahu orang Maroko.

Dari perkiraan 8.000 buku yang ada, hanya tersisa 1.824 buku saja, sekarang disimpan dalam Escorial. Dan terakhr, peristiwa penghancuran buku yang paling sering dibicarakan, adalah pada saat sekelompok bangsa Mongol dan Tartar menyerang kota Baghdad, mereka membakar habis semua perpustakaan yang ada.

Penghancuran perpustakaan-perpustakaan utama Islam itu, dicatat sebagai penanda dari kerusakan permanen terhadap dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan di dunia. Tidak banyak yang tersisa setelahnya, jika dibandingkan dengan jumlah utuhnya. Dari yang sedikit itu, di antaranya berada dalam penguasaan perpustakaan-perpustakaan di Barat, dan beberapa salinannya diwarisi oleh perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah, dan pesantren-pesantren di Indonesia saat ini. Di pesantren, salinan-salinan kitab-kitab yang ada itu terus dikaji, dibicarakan, dihapal, dan dikomentari sampai hari ini, sebagai warisan peradaban besar Islam.

Butuh waktu untuk membangun lagi perpustakaan serupa perpustakaan kuno dalam sejarah Islam. Tapi asal ada niat, semua itu kan hanya soal waktu saja. (AN)

 

Baca juga tulisan lain tentang perpustakaan Islam.